Dosa Jariah

Tradisi bercerita. Dok: ist.

“Jatuh hati pada pandangan pertama”, itulah yang saya rasakan. Saat pertama kulihat fotonya di Facebook, aku merasa seolah ada kutub magnet yang menarik jempolku untuk “like”. Di matanya aku lihat sebuah ketulusan, senyumnya begitu “fun”, sehingga membuatku merajuk pada salah satu teman untuk mengantarkanku menghadap padanya.

Setelah bertemu beliau, aku mendapatkan sebuah pencerahan atau solusi yang “luar biasa” atas masalahku yang kuanggap sebagai sebuah “dosa jariah”. Aku pun “curhat” pada pak Adnan.

“Dulu ketika anakku berumur 3 tahunan, aku bercerita tentang anak ayam yang hanyut dan terpisah dengan ibunya,” kataku membuka kisah.

“Ia tidak bertemu ibunya lagi?” tanya pak Adnan.

“Iya, dan di akhir cerita itu si ibu ayam menangis sepanjang hari, hu…hu…., anakku, anakku sayang, di mana kau? hu…hu…hu…” jawabku.

“Ternyata akhir cerita yang begitu membuat anakku menangis sejadi-jadinya sambil memelukku erat. Erat sekali. Ia membandingkan si anak ayam dengan dirinya yang setiap hari kutinggal bekerja sampai sore dan hanya diasuh oleh “pamongnya”. Sejak saat itu, dia tidak pernah mau mendengarkan cerita apapun dariku.” Jelasku panjang lebar.

Seperti tanpa berpikir, pak Adnan langsung menjawa, “Ya wajar bu, kalau anaknya trauma. Sebab ibu memberi kesan akhir tragis pada anak ibu.”

Aku tercengang, seperti tersadar dari tidur panjang. Selanjutnya Pak Adnan memberikan masukan untuk mengubah cerita itu jadi lebih bermanfaat. Dan kini semuanya berubah setelah aku bertemu dan menerima sarannya.

Oleh beliau aku disarankan untuk melanjutkan ceritaku yang terdahulu. Akhirnya lahirlah cerita “Si Putih yang bandel”. Cerita ini saya tulis tangan dalam waktu kurang lebih 2 jam.

Saat selesai pengetikan dan pembenahan di rumah, aku meminta anakku untuk membacanya dan memberikan pendapatnya. Awalnya ia menolak dengan berbagai alasan. Berbagai upaya kulakukan, aku terus membujuknya dengan semangat 45.

Kemarin, akhirnya anakku melambaikan bendera putih. Ia duduk dan membacanya dari awal hingga akhir. Bahkan bersedia berpendapat dengan menunjukkan beberapa paragraf di akhir cerita yang menurutnya janggal.

“Jusst, berhasil!, memang itulah sasaran utamaku. Beberapa paragraf akhir itulah yang merupakan lanjutan ceritaku dahulu yang terputus dan membuatnya menangis histeris kala itu.

Alhamdulillah, pagi tadi, saat dia merapikan baju putih abunya sebelum kami sekolah, aku sempat bertanya, “apa Dik inti cerita Si Putih?”

“Tidak boleh bandel jika dinasehati, patuh, nurut, harus selalu ingat pesan ibu di mana pun berada”. Jawabnya sambil tersenyum penuh arti. Seolah membandingkan dengan dirinya sendiri. Melihat senyum mengembang di bibirnya aku merasa bersyukur sekali.

Terimakasih ya Allah, engkau telah memberikan rizkimu yaitu mempertemukanku dengan Pak Adnan, seorang penulis yang luar biasa. Beliau bisa memberikan solusi, arahan dan menunjukkan titik-titik kelemahanku dalam menulis cerita secara detail, sehingga aku lebih bersemangat untuk menulis dan menulis cerita lagi.

Terimakasih Pak Adnan, semoga Allah selalu memberikan kemudahan dalam segala urusanmu, barokah. Semoga pula semua ini adalah sodaqoh jariahmu berupa ilmu yang bermanfaat bagi kami semua.

Facebook Comments Box

Pos terkait