Membaca Perubahan Jaman Melalui Lebaran

Wisata gerobag sapi di Jodogkarta. Dok: tvonenews.

“Bali Jodog!” Jawabanku setiap ditanya orang ke mana pulang kampung halaman. Memang rumah tabon kami ada di sebelah barat sekitar 100 meter dari Pasar Jodog. Pasar yang populer ini merupakan pasar tradisional yang terletak di Kapanewon Pandak Kabupaten Bantul.

Benar saja, kemarin, lebaran hari kedua aku mudik “bali Jodog” bersama istri dan putri semata wayangku Kidung. Dengan kerinduan hati, kami melangkahkan kaki pulang kampung halaman, tanah kelahiran di Jodog, Bantul.

Ya, seperti manusia umumnya, berkumpul dan bertemu di rumah tabon yang ditempati mbakyu dan kakang ipe merupakan kebahagiaan tersendiri. Setidaknya kami agendakan setahun dua kali, setiap natal dan lebaran. Apalagi tahun ini keponakan serta suaminya dan “putuku” datang dari Malang.

Sebenarnya bukan kampung halaman sih, karena tanah kelahiranku bukan di Jodog. Tanah dan rumah kelahiranku di kampung bernama Balekambang, Pandak, sebelah selatan pasar. Namun apa daya, rumah itu sudah disita pihak berwajib dan dilelang, hehehe, ini akibat pinjaman di bank yang macet angsurannya.

Bacaan Lainnya

Kejadian agak tragis ini terjadi pada 96’an. Maka pindahlah keluarga kami ke rumah bagian swargi ibuk di kampung sebelah yang bernama Nopaten, tepatnya samping barat Pasar Jodog. Meski namanya Nopaten tetap saja dikenal dengan nama Jodog. Jodog thok.

Begitu cerita awalnya.

Lalu perubahannya di mana? Oh, gini. Jodog thok itu rupanya berubah. Setidaknya pas kami jajan mie ayam di situ, kompleks lapangan Jodog kini ada komplek kuliner yang dibranding dengan nama Jodogkarta. Komplek lapangan Jodog jadi Jodogkarta. Tak banyak informasi kudapat, paling tidak tempat itu dibangun dengan dukungan dana keistimewaan. Oh, gitu ya.

Sebenarnya ndak terlalu menarik, natural dan umum saja. Namun jadi menariknya karena ternyata perjalan mudik kami diwarnai dengan nama-nama tempat yang berubah dan berbenangmerah. Siyono menjadi Siyonoboro. Eh, sampai rumah pun lokasinya di depan kecamatan yang kini namanya menjadi kapanewon.

Ya, uwis. Gini aja, kalau ada yang berubah ya jangan kagetan dan gumunan, gitu aja. Di sisi lain ya itu bukan yang natural dan terberi begitu saja. Kata yang berubah itu bisa dibaca dikonstruksi untuk menyuntikkan ideologi. Lalu kamu bagaimana? Ya, jadilah warga negara yang baik dan tetap jadi subjek yang bisa membaca teks, sebab kamu bukan benda.

Pokoknya kamu istimewa. Aku juga hahaha.

Facebook Comments Box

Pos terkait