Untuk sebagian besar keluarga di Gunungkidul, perkakas yang terbuat dari tanah liat ini adalah bagian vital dalam kehidupan rumah tangga. Adalah gentong air yang terbuat dari tanah liat dan model serta bentuk tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Fungsi dan kegunaannya jelas untuk tandon air guna keperluan masak air atau untuk asah-asah perkakas dapur.
Untuk keluarga jaman dulu atau jaman kecilnya aku, gentong seperti ini biasanya di tempatkan di pojok pawon. Dulu Mbah Uti malah punya 2 gentong yang di tempatkan di pojok pawon. Kenapa ditempatkan di pojok pawon karena di pojok bagian luar ada sumur timba yang lokasinya dekat dan hampir nempel dengan bangunan pawon. Jadi kalau ngisi gentongnya tinggal nimba di sumur dan langsung dimasukkan ke gentong air dengan cara memasang talang air. Talang air dipasang dengan melobangi diding gedhek, yang mana ujung talang akan mengarah tepat di bibir gentong air.
Nah, tugas untuk memenuhi 2 gentong itulah jadi tugas aku tiap sorenya. Maka, nggak heran kalau aku jadi cucu kesayangan…. Hehehehehe.
Beda lagi cerita gentong air yang ada di rumah aku. Sesuai amanat dari ibu, gentong air yang ada di pojokan pawon nggak boleh kosong atau lokak. Harus selalu penuh demikian amanat almarhumah ibuku. Katanya, beliau juga hanya meneruskan amanat tadi dari amanat almarhum bapak yang lebih dulu berpulang. Gentong air yang diamanatkan ibu kini sudah nggak terpakai lagi, karena kami biasanya langsung menggambil dari kran untuk keperluan asah-asah atau sekedar cuci piring dan perabot dapur. Namun demikian, amanat ibu tetap kami jalankan untuk selalu memenuhi gentong air tersebut agar tidak lokak dan kosong.
Gentong air warisan orang tua aku ini mungkin umurnya lebih tua dariku. Sebelum aku lahir, gentong air ini sudah ada. Gentong air ini bukanlah istimewa karena warisan tersebut, namun sejarah yang menyertainya serasa amat sangat istimewa. Gentong air yang terbuat dari tanah tersebut, oleh bapakku dilapisi dengan semen sehingga menjadi kuat dan awet sampai saat ini.
Aku masih ingat, ada hal lucu dan sangat menggelikan. Gentong air tersebut jadi tempat aku memanggil ibu jika ibu pulangnya agak lama dari usaha taker-taker di pasar. Waktu itu aku baru kelas 1 SD, jika pulang dari sekolah kadang-kala ibu belum pulang dari pasar, sering sekali merasakan perut yang lapar dan juga membayangkan oleh-oleh apabila ibu pulang dari pasar.
Ternyata ibu belum pulang, maka aku melakukan hal yang aku rasa ndak masuk akal. Lha wong aku menghampiri gentong air, dan tepat di bibir gentong air itu aku dekatkan wajahku dan mulai memanggil manggil ibu untuk cepet pulang. Jaman dulu kan belum ada HP seperti jaman sekarang. Jadi dengan cara seperti itu aku serasa sudah menghubungi ibu. Tapi entah mengapa, kadang ada perasaan nyambungnya. Ibu aku suka bilang, tadi di pasar seperti ada yang memanggil-manggil untuk segera pulang. Nah, percaya nggak percaya, teknologi gentong air itu canggih ternyata… Hehehehe.
Kini baik bapak maupun ibu sampun kundur dateng alam kelanggengan. Gentong air beserta amanatnya masih aku laksanakan dengan baik saat pulang kampung.
Tanpa sadar, aku mendekatkan wajahku ke bibir gentong air. Lalu aku mulai berguman, “Bapak, Ibu aku kangen.”
Diam dalam hening dan sangat sunyi. Yang terasa cairan hangat yang meleleh di kedua pipiku. Menetes pelan pelan-pelan seperti mengitung waktu.
Dah gitu dulu ya……
***
Tertanda: Penggemar Tongseng Pasar Argosari