Media massa sedang ramai dibicarakan mengenai RUU Ketahanan Keluarga yang menuai kontroversi karena ada beberapa pasal yang mengatur ranah privat seseorang dalam hubungan berkeluarga. RUU ini diusulkan oleh lima orang anggota DPR dari empat fraksi yang berbeda. Namun walaupun begitu ada alasan yang mendasari munculnya usulan RUU ini, yaitu adanya angka perceraian yang tinggi.
Fakta sosial menunjukkan betapa banyaknya permasalahan yang dihadapi keluarga yang banyak berakhir dengan perceraian. Atau keluarga-keluarga menjadi berantakan.
Hal ini pula yang menjadi keprihatinan kalangan Gereja Katolik. Banyak pasangan yang perkawinannya tidak sesuai harapan dan janji yang telah mereka ikrarkan di depan altar Gereja saat menikah dahulu. Banyak faktor yang mempengaruhi, namun dengan kondisi akhir yang hampir sama : keluarga terbelah dan berangtakan, suami istri berpisah.
Gereja Katolik sudah lama menyadari situasi ini sehingga sudah sejak lama diadakan Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) yang wajib diikuti oleh calon pasangan yang mau menikah secara gerejani. Langkah lain ditempuh dengan membentuk tim pendamping keluarga dari tingkat lingkungan (semacam lingkup desa) dan berjenjang ke tingkat paroki (setingkat kabupaten) sampai dengan lingkup Kevikepan (setingkat propinsi).
Hari Minggu 1 Maret 2020 ini para pendamping keluarga dari 3 paroki Gereja Katolik di Gunungkidul berkumpul untuk meneguhkan kembali pelayanan mereka dalam meningkatkan ketahanan keluarga.
Acara ini dihadiri oleh Romo Andre MSF sebagai ketua Tim Pendamping Keluarga Kevikepan DIY dan Romo JB Clay SJ, Romo paroki Santo Petrus Kanisius Wonosari. Romo Andri dalam sambutannya mengapreasiasi antuasiasme tim yang hadir.
“ Dua minggu lalu kami kunjungan ke kota (Jogja-) yang hadir hanya lima belas. Tujuh orang dari tuan rumah, dan delapan dari tim kevikepan”.
Siang ini aula gereja Katolik Wonosari memang diramaikan oleh 47 orang dari Paroki Kelor, Paroki Bandung dan Paroki Wonosari. Beberapa keluarga mengajak anak-anak mereka, sehingga suasana tambah meriah.
Romo Andre MSF menandaskan agar tiap Paroki mengadakan kunjungan keluarga. Yang harus dipelopori oleh romo parokinya. Sebagai contoh di Paroki Minomartani, Sleman yang memiliki 750 KK, keluarga yang sudah dikunjungi sudah 400KK. Romo paroki memang dituntut komitmen yang tinggi, karena harus menyediakan waktu yang longgar untuk kunjungan ini.Namun manfaatnya akan besar, karena keluarga-keluarga akan merasakan sapaan gembalanya, dan jika ada permasalahan romo paroki akan dapat melihat dan merasakan langsung
Romo Clay Pareira SJ dari Paroki Wonosari menyambut gembira kegiatan ini. Dan mengapresiasi kerelaan para pendamping keluarga yang berusaha melayani dengan sepenuh hati.
Bu Bekti dari Paroki Wonosari melaporkan bahwa sudah ada kegiatan rutin yang diadakan di Wonosari. Setiap bulan Gereja meneguhkan pasangan suami istri yang berulang tahun perkawinan. Gereja Wonosari juga sudah memiliki tim Kursus Persiapan Perkawinan yang secara rutin mengadakan bimbingan persiapan perkawinan setiap dua bulan sekali. Tim ini pun sudah melakukan regenerasi dengan merekrut para pasutri muda.
Kegiatan wedangan bareng juga rutin diadakan untuk meneguhkan dan berbagi cerita diantara keluarga-keluarga. Sehingga dari kegiatan sederhana tersebut ada inspirasi yang bisa diambil dari setiap keluarga untuk memperkuat ketahanan keluarganya masing-masing.
Suatu masyarakat dan bangsa yang kuat selalu diawali dari cinta yang tumbuh di dalam sebuah keluarga. Usaha yang konsisten dan ulet ini dilakukan oleh para relawan pendamping keluarga yang tersebar di Wonosari, Bandung dan Kelor. Semoga berbuah kebaikan.(Heru Tricahyanto)