Membanjirnya gula merah ternyata membuat sejumlah perajin gula kelapa sedikit mengeluh. Alasannya tentu saja karena pengrajin gula kelapa kalah bersaing dengan gula merah. Neng pasaran wis angel membedakan antara gula merah dengan gula kelapa. Sedangkan penampilan gula merah lebih menarik dibandingkan dengan gula kelapa yang lebih banyak dibuat secara tradisional.
Cen bener, bahan baku untuk kedua gula tersebut sama, terbuat dari nira. Bisa nira kelapa opo nira aren atau kawung. Sing gawe bedha nyoto-nyoto ki gula kelapa murni hanya dibuat dari nira, sedangkan gula merah bahan bakunya nira dicampur dengan gula pasir atau gula rafinasi. Bila diamati dengan seksama, gula merah cetakannya lebih rapi dibandingkan gula kelapa yang dibuat secara tradisional. Gula merah lebih keras dibandingkan gula kelapa asli.
Nah pada saat Exploring Pilangrejo 2018, acara yang cetar membahana hasil olah pikir dan daya upaya poro senior Gunungkidul Photography salah satunya mengulik tentang gula kelapa ini. Mengagendakan motrek dengan obyek untuk difoto adalah cara pembuatan gula kelapa secara tradisionil.
Jiaaannn lagi-lagi aku ki bodo banget yak, kelawat cuek bebek gitu deh, kok yo iso-isone aku ora takon asmane ibu sing duwe omah tempat pembuatan gula kelapa tersebut. Jadi ketika menulis kisah ini isone gur menyebut Ibu anu atau Ibu yang punya rumah, ha rak ora jelas to kalau gini…, wong ndak bisa menuliskan namanya, harap maklum ya sodara-sodari…..
Teko jluk, tekan omah tempat pembuatan gula, kami disambut dengan suguhan dawet nganyong. Wow, tidak mekakat dan tidak umum to, dawet dari nganyong. Dengan lahap koyo wong wis ra mangan telung dino, dawet nganyong aku lahap dengan cepat. Haus tidak haus pokokke pangan hehehehe… Padahal saat itu gerimis rintik-rintik sehabis hujan lebat yang mengguyur daerah Pilangrejo, namun lagi-lagi ra urus ngelak ra ngelak dawet nganyong bablas pindah ke perut dari mangkoknya.
Pembuatan gulo kelapa skala rumahan, hanya untuk tambah tambah membantu bapaknya, begitu ibu ini mulai bercerita tentang gulo kelapa yang dibuatnya. Apakah grogi atau gimana ceritane ibu ini dalam memasak gulo kelapa, mungkin juga ndredeg atau apalah namanya yang jelas ibu ini harus memasak dengan disorot oleh puluhan kamera para photographer.
Singkat cerita, gulo kelapa yang dibikin ibu ini kemumbrusen, sehingga gulo kelapa yang dimasak menjadi gagal. Gula kelapa ini tidak layak untuk dijual. Selain rugi karena sangat ringan timbangannya, kemumbrusen ini juga menghasilkan gula kelapa yang sering disebut orang dengan nama gula semut gitu.
Gayane aku simpati dengan kegagalan tersebut, mungkin karena kami -kami yang kurang subo sito dalam menggambil gambar, sehingga ibu dalam memasak gula kelapa menjadi gagal, maka dengan senang hati aku pasang muka tok-tokmen memelas memohon untuk hasil olahan yang gagal tadi bisa aku beli semua.
Sekarang tinggalah aku sendiri, duduk di teras rumah tanah rantau ini, menikmati sisa-sisa matahari sore yang sebentar lagi akan masuk dalam peraduan. Aku kembali mengenang canda tawa rekan-rekan photographer pada saat itu, secangkir kopi hitam Gayo Aceh dan gula semut oleh-oleh dari Exploring Pilangrejo menemani aku mewarnai soreku yang indah.
Daaannnn mak pyaaarrrrr nyruput kopi dengan gula semut, ternyata woowww rasanya waarrrbiasyah enak buanget, lebih enak dari yang enak, mau cobaaaa….? Sebuah paduan yang pas gulo semut tadi dengan kopi Gayo Aceh rasanya wooww…. hueeennakk bikin lali ro bojo…eehhh.
Dah gitu aja.
Tertanda: Penggemar Tongseng Pasar Argosari.