Mangunwijaya menuliskan, hati akan dengan mudah berdendang bersama-sama dengan kicau riang burung-burung di pagi hari yang cemerlang. Sebaliknya anak kecil dapat menangis takut disuruh ke dalam kamar yang gelap dan sempit. Mengapa bisa seperti itu? Karena langsunglah situasi fisik akan diterjemahkan dan dirasakan selaku keadaan batin.
Menjadi dapat dimengerti ketika seseorang berada di suatu fasilitas publik (misalnya: rumah sakit, mall, plaza, terminal, bandara, dll) yang sempit, pengap, terkesan gelap, cari parkir saja susah, dan lain-lain sebisa mungkin akan berusaha cepat-cepat meninggalkannya.
Sebaliknya, manusia akan menjadi kerasan dan pengen berlama-lama bila berada di fasilitas publik yang lapang, terang, sirkulasi lancar, dan dengan segala kemudahan-kemudahan lainnya.
Memang benar, segala suka-duka dan getaran perasaan maupun proses pemikiran yang terjadi dalam diri manusia tidak dapat lepas, bahkan mengandalkan persatuan yang erat dengan perwujudan benda-benda maupun makhluk-makhluk di seluruh alam raya.
Masih menurut Mangunwijaya, ada kata-kata dari filsuf Perancis A Merleau Ponty, yang dapat menjadi jembatan penghubung yang baik untuk mengerti tentang arti sejati tubuh manusia:
“Tubuh adalah kendaraan kehadiran kita di dunia. Untuk makhluk yang hidup, memiliki tubuh berarti bergumul di dalam suatu lingkungan tertentu, berhadapan dengan hal-hal tertentu dan melibatkan diri dengan tanpa henti….
Tubuh dalam arti mulia adalah ruang yang mengungkapkan diri”.
****
Referensi: Wastu Citra: Pengantar Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, YB Mangunwijaya, Gramedia Pustaka Utama.