Ketika Definisi Normal Tidak Penting Lagi

Lukisan kehidupan pada pada jaman prasejarah. Dok: Wikipedia.

Kejutan demi kejutan terjadi belakangan ini. Beragam istilah diperkenalkan mulai lockdown, social distancing sampai new normal. Siapapun boleh mendefinisikan istilah new normal, tapi yang jelas sesuatu disebut normal karena ada yang dianggap tidak normal. Tetapi ternyata normal bukan sesuatu yang baku bahkan bisa berubah seiring perjalanan waktu. Untuk memahami tentang kenormalan, mari kita berimajinasi pada jaman pra sejarah.

Saat itu alam begitu keras, musim dingin bisa panjang, manusia harus berburu, berperang, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, kadang juga harus sembunyi di goa dan mungkin ada yang diam di suatu tempat untuk berkontemplasi. Hal ini dilakukan untuk bisa bertahan hidup.

Bacaan Lainnya

Karena itu Yang Kuasa melengkapi manusia dengan beragam model gen. Ada gen pemburu yang harus bergerak cepat, ada gen “raja tega” karena harus berperang dan punya nyali membunuh tanpa merasa bersalah, ada gen pendiam karena untuk bertahan hidup mungkin harus menyendiri di goa dan tempat yang sepi. Ada gen seniman pemahat untuk membuat benda benda pemujaan. Bahkan ada gen diabetes melitus dan gen hiperkolesterol karena musim dingin begitu panjang dan tubuh butuh cadangan gula dan lemak untuk bertahan hidup.

Mungkin pada masa itu semua “tampak normal”. Apakah gen gen tersebut tetap ada? Ya mereka yang lolos dari seleksi alam akan tetap bertahan dan gen tersebut diwariskan ke generasi berikutnya mungkin juga bermutasi. Di sinilah masalahnya, jaman berubah, tatanan nilai berubah, gaya hidup berubah, lingkungan sosial berubah dan alampun berubah.

Sekolah mensyaratkan muridnya duduk manis mereka yang hiperaktif dianggap tidak normal. Norma umum menghendaki sosialisasi, mereka yang pendiam dan suka menyendiri dianggap anti sosial. Mereka yang nyeni dan nyentrik dianggap aneh, orang yang asyik dengan dunianya dianggap autis. Begitupun mereka yang punya gen diabetes dan hiperkotlesterol. Pada masa itu mungkin menguntungkan dan tidak berpotensi menjadi penyakit karena alam menyediakan makanan sehat dan memaksa seseorang untuk terus bergerak.

Ya, itulah kehidupan standar normal bisa berubah seiring dengan situasi dan kondisi. New normal kembali mengobrak-abrik definisi normal. New normal merujuk Lexico, situs di bawah pantauan Oxford, dijelaskan sebagai keadaan yang sebelumnya tidak biasa atau familiar yang kemudian dijadikan standar, kebiasaan atau ekspektasi.

Contoh kecilnya adalah manusia ‘dipaksa’ untuk beralih bekerja dan belajar melalui internet, atau penggunaan masker serta belanja serba online. Setiap perubahan tentu membutuhkan penyesuaian bahkan berisiko menimbulkan gangguan psikologis yang disebut gangguan penyesuaian.

ICD-10 dan DSM-IV mendefinisikan gangguan penyesuaian sebagai keadaan sementara yang ditandai dengan munculnya gejala dan terganggunya fungsi seseorang akibat tekanan pada emosi dan psikis, yang muncul sebagai bagian adaptasi terhadap perubahan hidup yang signifikan, kejadian hidup yang penuh tekanan, penyakit fisik yang serius, atau kemungkinan adanya penyakit yang serius.

Apakah gangguan penyesuaian bisa berkembang menjadi depresi? Bagaimana mengenali dan mengelolanya? Ikuti kelanjutannya di artikel berikutnya: Menaklukkan Gangguan Penyesuaian di Era New Normal.

****

31 Mei 2020, Ditulis oleh Ida Rochmawati. Psikiater RSUD Wonosari dan RS PKU Muhammadiyah Wonosari. Aktivis LSM Imaji Gunungkidul Yogyakarta.

Facebook Comments Box

Pos terkait