Ki Ageng Suryomentaram, Pengembang Ilmu Psikologi Jawa

Ki Ageng Suryomentaram bertemu dengan Presiden Soekarno di istana Jakarta 24 Januari 1957. Dok: kpkj.salatiga.biz

Semua manusia ingin hidup bahagia. Pada dasarnya tidak ada seorang manusia yang menginginkan hidupnya kacau, penuh kekecewaan, penuh penderitaan. Karena itu, para pemikir, mulai dari bidang filsafat, kebudayaan, psikologi, kedokteran, ekonomi, teknokrasi, dan lain-lainya mencoba merumuskan bagaimana manusia bisa merasa bahagia.

Namun, yang mungkin tidak banyak orang tahu, di Jawa ada tokoh, pemikir, dah ahli kebatinan yang telah mengajarkan ilmu bahagia. Dialah Ki Ageng Suryomentaram, yang ajarannya oleh berbagai kalangan akademisi diharapkan menjadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal (psikologi Jawa), atau nantinya bisa berkembang menjadi psikologi Nusantara.

Tapi siapakah sesungguhnya Ki Ageng Suryomentaram ini? Lahir pada 20 Mei 1892, ia adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan garwa ampil (selir) Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ia memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji. Setelah umur 18 tahun, ia diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram.

Awalnya ia bergelar Pangeran Surya Mataram, tetapi di kemudian waktu, ia menanggalkan gelar kebangsawanan dengan segala hak yang melekatnya itu. Ia menjadi rakyat biasa, menjadi petani, menjadi pedagang, dan menyebut diri sebagai Ki Ageng Suryomentaram.

Hal ini bermula ketika ia pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta. Dalam perjalanan dengan kereta api, ia melihat petani yang sedang bekerja di sawah. Hal ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani itu. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya.

Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.

Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.

Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain.

Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Ia sempat berguru kepada KH Ahmad Dahlan. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian juga dipelajari agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.

Salah satu ajaran moral Ilmu Begja yang sangat populer adalah sebagaimana ajaran yang telah disampaikan Kiai Semar Badranaya, yaitu Ojo Dumeh, yang artinya jangan sok, jangan menyombongkan diri, dan jangan membusungkan dada. Jangan mengecilkan orang lain hanya karena merasa diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa, atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.

Pemahaman Ki Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap dirinya sendiri. Ia menggunakan metode empiris, yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri. Dengan cara merasakan, menggagas, dan menginginkan sesuatu, ia menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia.

Ki Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia, yang dilihatnya sebagai sumber penentu perilaku manusia dalam hidupnya. Ia juga menunjukkan dasar bagi perilaku manusia dalam dunianya, sehingga antara diri dengan dunia yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan.

Meski memiliki wawasan agama yang luas karena gemar membaca, Ki Suryomentaram tidak pernah berpuas diri, sampai ia memilih keluar dari Keraton dengan menjadi petani di Desa Bringin Salatiga. Sepanjang hidupnya, ia mencurahkan perhatian terhadap masalah kejiwaan. Ki Suryomentaram melakukan perjalanan spiritualitas dengan pencarian jati diri, untuk mengetahui makna bahagia. Menurutnya, bahagia itu bukan karena mendapat untung, prestasi, atau pengakuan, tapi karena bejo (beruntung).

Ki Suryomentaram juga memberikan pengajaran tentang bagaimana memaknai rasa senang dan tidak senang. Menurutnya, senang atau tidak senang itu bukan fakta, tetapi reaksi kita atas fakta. Manusia itu makhluk dengan rasa. Walaupun ada bermacam rasa, tapi dapat diringkas menjadi dua: rasa enak dan tidak enak. Dalam pergaulan, seseorang harus mengerti rasa dari yang lain. Ketidakmengertian akan menimbulkan rasa yang tidak enak dan akhirnya timbul perselisihan. Karenanya untuk mengerti rasa orang lain, ia harus mengerti rasa diri yang menghalanginya.

Sepanjang hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan. Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku, karangan, atau ceramah. Pengajaran Ki Suryomentaram biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas, yakni dengan duduk di lantai (lesehan).

Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulisnya dalam bahasa Jawa, antara lain: Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, dan Aku Iki Wong Apa?

Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram juga menampakkan kesederhanaan, dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya, dan memakai kaos. Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup, serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas.

Kebersahajaan ini tetap ditunjukkan manakala Ki Ageng Suryomentaram menghadap Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada 24 Januari 1957. Presiden mengundang dan mengajak Ki Ageng Suryomentaram berdiskusi tentang berbagai masalah kebangsaan yang dihadapi pada waktu itu.

Ada kisah menarik menyangkut masa pencerahan yang dialami Ki Suryomentaram dan kemudian diceritakannya kepada istrinya. Pada suatu malam di tahun 1927, ia membangunkan isterinya, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, “Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!”

Sebelum istrinya sempat bertanya, Ki Suryomentaram melanjutkan, “Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi.”

Sejak itu Ki Suryomentaram kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang – bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang – bertemu diri sendiri masing-masing. Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan “rasa bahagia”, bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan. Pada tahun 1928 semua hasil “mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri” itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul “Uran-uran Beja”.

Kisah-kisah tentang laku Ki Suryomentaram yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali, di antaranya kisah perjalanan ke Parangtritis sebagai berikut. Suatu hari Ki Suryomentaram akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkannya agar tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, dirinya nekad menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.

Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, “Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam.”

Ki Prawirowiworo menjawab, “Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Suryomentaram adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja.”

Ki Suryomentaram menjawab, “Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu.”

Dalam beberapa tahun terakhir, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tengah mencoba mengembangkan teori psikologi dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Berlatar belakang budaya Jawa, ajaran Ki Suryomentaram diharapkan jadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal. Ki Suryomentaram menciptakan teori psikologi Jawa karena ia orang Jawa. Tapi ajarannya bisa relevan, tidak terbatas bagi orang Jawa saja, karena teori psikologi sebenarnya tidak terbatas pada kewarganegaraan dan letak geografis, apalagi etnisitas.

Tidak mudah mengembangkan ajaran Ki Ageng Suryomentaram untuk menjadi teori psikologi, agar bisa diajarkan di perguruan tinggi. Namun, usaha untuk terus mengembangkan teori psikologi lokal ini layak diapresiasi. Pasalnya, sebagian besar teori psikologi yang diajarkan saat ini di Indonesia masih berkiblat pada teori-teori psikologi Barat.

Psikolog dan budayawan senior Universitas Diponegoro Darmanto Jatman merupakan salah satu tokoh yang aktif mengembangkan psikologi Jawa Ki Suryomentaram ini. Beberapa pemikir muda Indonesia juga sedang giat meneruskan pengembangan psikologi Jawa ini. Sudah ada beberapa buku yang menyoroti dan membahas gagasan-gagasan psikologi Suryomentaram, seperti: Ryan Sugiarto dengan buku Psikologi Raos, Abdul Kholik dengan Psikoterapi Jawa, Ratih Sarwiyono dengan Ki Ageng Suryomenatram: Sang Plato dari Jawa, Sri Teddy Rusdy dengan Epistemologi Ki Ageng Suryomentaram, dan beberapa penulis lainnya yang mengungkap psikologi Jawa Ki Suryomentaram ini.

Pada waktu jaman pergerakan nasional, Ki Ageng Suryomentaram juga turut berkiprah dalam perjuangan melalui jalur pendidikan dan pengembangan karakter bangsa. Ia aktif dalam pertemuan-pertemuan ceramah rutin para tokoh pergerakan di Yogyakarta. Pertemuan itu diberi nama pertemuan Sarasehan Selasa Kliwonan. Ketika Ki Hadjar Dewantara berjuang melalui pendidikan Tamansiswa, Ki Ageng Suryomentaram juga diberi kepercayaan untuk menggembleng pendidikan para kaum dewasa.

Pada jaman pendudukan Jepang, bersama Ki Hadjar Dewantara dan para tokoh nasional lainnya, Ki Suryomentaram turut aktif dalam pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Pada waktu perang gerilya mempertahankan kemerdekaan, Ki Suryomentaram sempat memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata. Daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI waktu itu di Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Suryomentaram bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunungkidul. Di tempat pengungsian, ia masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.

Ki Ageng Suryomentaram wafat tanggal 18 Maret 1962 pada umur 69 tahun. Warisan besar yang ditinggalkan adalah ilmu kejiwaan Kawruh Begja dan Kawruh Begja yang fenomenal itu.

*****

Referensi: Ryan Sugiarto (Psikologi Raos), Abdul Kholik (Psikoterapi Jawa: Pendekatan Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram), web islamindonesia.id, web kilasbaliknusantara.

 

Facebook Comments Box

Pos terkait