Kisah Mbah Guru Satimin Menjadi Sukarelawan Dwikora di Kalimantan

Mbah Guru Satimin dari Nglipar, veteran sukarelawan Dwikora. Dok: KH Files.

SEPUTARGK.ID – Sukarelawan DWIKORA adalah sebutan bagi para tenaga sukarela yang pernah dikirim Pemerintah Indonesia ke wilayah perbatasan dengan Malaysia sebagai akibat pergolakan politik antara Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1963-1966 silam. Indonesia pada waktu itu mengambil sikap menolak pembentukan negara Federasi Malaysia yang dianggap hanya sebagai “boneka” imperialisme Inggris.

Dalam pandangan Indonesia saat itu, pembentukan Federasi Malaysia (penyatuan Semenanjung Malaysia, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah adalah bentuk neokolonialisme yang ingin kembali bercokol di Asia. Kondisi ini dipandang bakal mengancam Indonesia.

Bacaan Lainnya

Para sukarelawan yang dikirim ke wilayah perbatasan berasal dari berbagai latar belakang, seperti: guru, dokter, tenaga kesehatan, dan tentara. Pengiriman sukarelawan pada waktu itu dimaksudkan untuk membendung pengaruh neokolonialisme di wilayah perbatasan sekaligus mendukung upaya rakyat Kalimantan Utara (Serawak, Sabah, Brunei) yang sedang berjuang untuk dapat menentukan nasibnya sendiri.

Karena bertugas di daerah rawan konflik, maka para sukarelawan non militer dibekali latihan dasar kemiliteran dan pemantapan tugas pokok sebelum mereka dikirim ke wilayah perbatasan yang terbagi di Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur bagian utara.

Mbah Satimin (77), guru dari Nglipar Gunungkidul ini menjadi salah satu dari sukarelawan Dwikora. Ia pernah ditugaskan ke perbatasan Kalimantan Barat pada tahun 1963-1966. Mbah Satimin mengenang, ada 15 sukarelawan guru dari Gunungkidul yang bergabung dengan sekitar 100 sukarelawan dari wilayah Yogyakarta. Di wilayah perbatasan itulah ia dan rekan-rekannya bertugas menjadi guru bagi masyarakat setempat.

Penugasannya sebagai guru bukan seperti di sekolah-sekolah di Jawa pada waktu itu sudah mengenal model pendidikan di kelas-kelas sekolah. Ia tinggal dari kampung ke kampung, mengumpulkan anak-anak dan warga untuk belajar berbagai hal. Tidak hanya mengajar membaca dan menulis, Mbah Satimin dan para sukarelawan lainnya mengajarkan berbagai hal lainnya, seperti pengetahuan umum, budi pekerti, bercocok tanam, kesehatan, nasionalisme, dan lain-lainnya.

Posisi guru memang sangat sentral, sehingga para sukarelawan seperti Mbah Satimin ini diterima oleh masyarakat dan mampu menjadi penggerak masyarakat. Ketika situasi pergolakan di wilayah perbatasan semakin memanas, para sukarelawan mampu menjadi penghubung yang efektif antara masyarakat dan tentara tempur yang bertugas. Para sukarelawan berperan besar dalam memobilisasi masyarakat setempat dalam konfrontasi bahkan dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi.

Sepulang dari penugasan menjadi sukarelawan Dwikora, Mbah Satimin kembali ke kampung halamannya di Wotgaleh Nglipar. Ia kembali bertugas sebagai guru PNS sekolah dasar di desanya sampai pensiun pada tahun 2000 lalu.

Atas jerih juangnya sebagai sukarelawan Dwikora, Mbah Satimin juga diangkat menjadi anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia). Ia sangat bangga diangkat menjadi anggota LVRI.

Mbah Satimin memahami bahwa makna penting menjadi anggota LVRI adalah adalah menjadi pejuang sepanjang hayat melalui pekerjaan yang dicintai dan ditekuninya. Karena itu, ia selalu mengajak generasi muda untuk melanjutkan perjuangan generasi terdahulu.

Pengen mengetahui obrolan lengkap Mbah Satimin, guru yang pernah menjadi sukarelawan Dwikora ini? Simak Dipodjok – Special Space of KH Files.

Facebook Comments Box

Pos terkait