SEPUTARGK.ID – “Sekarang kalian dijajah, enak, bisa berjuang mengusir penjajah, lha, kalau sudah merdeka mau mengusir siapa? Paling juga mengusir pedagang kaki-lima!”
Kalimat nylekit ini adalah celoteh ringan dari Cak Lontong, tukang mbanyol kelas elite di Indonesia. Saya, kemarin, menjadi penonton ke-32.692 lawakannya di Youtube yang diunggah sejak 24 Desember 2020 itu. Sang Stand-up Comedy-an itu tampil berbaju putih-putih dengan topi polka, pura-pura sebagai sinyo-sinyo Belanda.
Ceritanya, pelawak bertubuh jangkung itu berdialog tentang kemerdekaan dengan almarhum Gareng Rakasiwi, pelawak Jogja yang berperan sebagai pemuda pejuang. Deretan kata-kata sangat serius sinyo Belanda itu bermaksud menjinakkan niat merdeka yang tengah berkobar dari pemuda pejuang.
“Apa yang nanti dilakukan setelah kalian merdeka, mengisi kemerdekaan ngapain? Pikir dulu sebelum merdeka. Mikirr!” Lanjutan kalimatnya semakin nylekit. Dan sepenggal lelucon Cak Lontong ini ternyata tak hanya memaksa melebarkan bibirku saja namun juga menghunjam ke hati. Rupanya ia mengajak berefleksi mendalam tentang kemerdekaan. Hmmmm… oh, iya, ya… “mau mengusir siapa?” atau versi tafsiranku, kira-kira siapa yang menjadi musuh bersama setelah 76 tahun merdeka?
Bagi saya, pada ‘Bulan Kebangsaan’ ini, frase “mengusir siapa?” itu sangat mengena. Setidaknya hal itu bisa menyegarkan fokus perjuangan mengisi kemerdekaan saat ini. Iseng-iseng saya pun melontarkan pertanyaan itu di status FB, lalu seorang teman merespon dengan jawaban sangat lugas, “Virus Corona!” Tentu saja saya menganggukkan kepala. Sebut saja musuh bersama kita yang sudah 76 tahun merdeka ini adalah Virus Corona. Kita akan melihat warna-warni upaya mengatasi musuh itu.
Satu warna upaya itu, misalnya, doa. Ada upaya bersama lewat lantunan doa-doa dari berbagai umat agama, kolaborasi atau lintas agama, atau karya doa panyuwunan kesarasan yang datang dari para seniman. Bahkan ada yang spektakuler dengan berdoa bersama sampai mencapai rekor MURI segala, “Berdoa bagi Negeri, Raih Rekor MURI.” Upaya satu warna ini saja kompak dan hebat kan?
Itu tadi baru satu warna. Belum lagi warna-warna lain upaya yang dikerjakan baik Negara, lembaga keagamaan, perseorangan, mulai dari sosialisasi prokes 3 M, 5 M, vaksinasi, PPKM Darurat, PPKM Level 1-4, dan lain sebagainya.
Tentu saja saya juga ikut serta berkonsentrasi mengusir virus corona. Satu keyakinan saya bahwa dengan memahami musuh bersama itu, semua komponen bisa fokus energinya ke musuh bersama bernama Virus Corona. Barangkali kalau digambarkan dalam sinetron Ikatan Cinta, mungkin Virus Corona itu seperti Elsa yang menjadi musuh bersama ibu-ibu garis keras.
Tapi, betulkah?
Saya bukan hendak menyepelekan banyak langkah besar dan kompak semua unsur bangsa ini dalam memerangi musuh bersama itu. Namun jangan-jangan lelucon Cak Lontong benar juga. Kita masih labil dan tak fokus dalam mendudukan Virus Corona sebagai musuh bersama. Lihat saja betapa bertebaran kelucuan-kelucuan yang menunjukkan betapa tidak fokusnya perjuangan mengisi kemerdekaan. Hebohnya korupsi bansos dengan slogan “ini ada sedikit rejeki untuk rakyat, yang banyak untuk saya”. Atau anggaran baju dinas DPRD Tangerang yang katanya bernilai milyaran. Atau lihat saja baliho bernada kampanye yang juga tersebar di pinggir jalan raya Negeri Kahyangan, besar dan slogannya juga sangar.
Lho, bukankah sekarang kita sedang ada dalam kondisi bencana non alam? Hampir dua tahun masih kurangkah mendudukkan kondisi ini? Sepertinya ada banyak praktik yang menjadikan kebimbangan dalam mendudukkan musuh bersama. Atau jangan-jangan semua itu tak perlu diusir atau dijadikan musuh sebab kita memegang kuat-kuat slogan adiluhung, “seribu teman kurang, satu musuh kelebihan”?
Tapi rasanya kok masih sedikit labil ya? Hmm, lha wong labil kok cuma sedikit!
***