Sebagai wong Gunungkidul, maka menjadi perantau itu hal lumrah yang dijumpai di setiap sudut perdesaan. Saya bersyukur dan bangga menjadi bagian dari ribuan perantau yang pernah ceker-ceker ngupaya rejeki dan mencecap manis-pahitnya kehidupan di seputar Jakarta.
Satu hal yang paling saya kenang menjadi perantau adalah ketika naik bis untuk berangkat atau mudik ke kampung halaman. Naik bis atau nitih bis adalah pilihan yang paling populer bagi kaum beboro seperti saya. Mengapa? Naik kereta api kudu naik bis atau kol dulu ke Yogya Kota, jadi memang agak repot, belum biayanya nambah. Numpak montor mabur jelas gak kuat tumbas tiketnya. Lagian, bagi kelas pekerja seperti saya ya jelas ingah-ingih dan kancilen untuk bisa ngikuti gaya orang yang biasa naik pesawat udara.
Karena itu, numpak bis jelas menjadi pilihan paling pas dan paling tepat dan paling efisien. Apalagi bis-bis jurusan ibukota sudah masuk ke Wonosari Gunungkidul sejak era 70-an. Bis masuk Wonosari tepatnya di Stamplat Baleharjo waktu itu. Kemudian bis-bis itu masih melaju menuju kandangnya di Ponjong, Semin, atau di Ngawen. Jadi sebagai wong Gunungkidul bagian tengah dan utara memang diuntungkan. Saya bisa nyegat bis di poros jalan propinsi di Bendungan atau Wiladeg setelah jalan kaki 3,5 km dari rumah di kampung halaman.
Saya masih ingat, awal merantau ke Jakarta pertama kali numpak Bis Santoso. Turun di Mampang, kemudian lanjut naik Metromini 604 ke Pasar Minggu, menuju ke rumah Pakde untuk numpang hidup sebelum bisa mandiri ngekos. Beberapa kali kalo pulang dan balik lagi ya numpak bis Santoso. Bis Santoso ini boleh dibilang bis klasik, tapi saya suka banternya itu, sehingga jarang telat sampai Jakarta. Istilahnya sebelum srengenge mlethek wis tekan kos-kosan.
Ketika pindah kerja dan tinggal di sekitar Cilandak, saya terbiasa numpak bis Maju Lancar, “bisnya wong Gunungkidul”. Ikut bis Maju Lancar ya karena di Terminal Lebakbulus kayaknya lebih populer Maju Lancar daripada bis Santoso. Terminal Bis Lebak Bulus sekarang tinggal kenangan, karena sudah jadi stasiun dan depo MRT.
Sesudah menikah, saya menjadi kontraktor, maksudnya mengontrak rumah di seputar Karawaci Tangerang. Lagi-lagi, saya sekeluarga kalau mudik kembali lagi pake Santoso. Nggak ada alasan khusus karena pandemen Santoso apa apa gitu. Alasannya karena bis ini lebih mudah dijangkau dari Jatiuwung atau kadangkala di Gerendeng Kota Tangerang. Naik angkot dari rumah kontrakan sudah bisa sampai pool bis. Tinggal naik bis sudah bisa sampe Wonosari. Waktu itu bis Maju Lancar juga sudah masuk Terminal Kalideres, kemudian biasanya lanjut ke Tangerang. Namun kendalanya kadang jadwal masuk kadang tidak. Itu saja masalahnya.
Setelah puas menjadi kontraktor tadi, pada akhirnya bisa kebeli rumah, bergeser ke Tangerang Selatan. Waktu itu bis asal Solo Rosalia Indah sudah buka trayek Wonosari – Jakarta. Apalagi ada agen besar di jalan raya Serpong. Akhirnya terbiasa naik bis Rosalia Indah.
Bagi saya, numpak bis itu lebih banyak senangnya. Karena bisa menikmati situasi kota di sepanjang perjalanan. Bisa ngobrol dengan sesama penumpang. Bisa menikmati jajanan ketika di perhentian untuk istirahat makan atau sekedar untuk buang air.
Namun demikian, sedihnya numpak bis juga pernah saya alami. Pernah sewaktu balik Jakarta, ibu saya mendadak pengen ikut nengok cucunya. Karena beli tiket dadakan, maka dapetnya tempat duduk paling belakang dan bis ekonomi pula. Tambah sedihnya ketika bis mengalami kerusakan di Ajibarang. Semua penumpang kemudian dioper, dinunutkan di bis belakangnya. Jelas berdesak-desakan akhirnya.
Pernah pula sewaktu mudik lebaran tahun 1999, kami sudah tidak kumanan tiket bis Gunungkidulan. Agen tiket langganan nawari bis charteran ke arah Jogja. Ternyata bis yang dipakai bis Cirebonan, kalo gak keliru bis JS Bersaudara non AC, trayek charternya hanya sampai di Terminal Jogja pula. Malam takbiran bis berangkat. Wahhh… ini perjalanan macet di mana-mana, belum lagi semua penumpang adus kringet ora karuan ambune….. Ini benar-benar perjalanan paling oke yang pernah saya alami…
Wis, pokoknya senengnya komplit. Macem-macem bis nJakartanan sudah pernah ngicipi numpak. Sebagaimana para perantau mengalami perbaikan nasib, saya tidak akan pernah bisa melupakan, bahwa suka-duka berikut perbaikan taraf kehidupan setiap perantau juga didukung oleh bis-bis yang setia melayani para perantau Gunungkidul.
Adakah pengalaman menarik sedulur-sedulur sewaktu numpak bis atau kereta atau kapal atau montor mabur? Silakan berbagi pengalaman di sini ….