Rawit Mulyo dan Mobilitas Orang Gunungkidul

Rawit Mulyo AB 7397 CD di jalur Piyungan bersiap munggah gunung. (2015). | JJW

Siapa yang nggak kenal RAWIT MULYO? Rasa-rasanya, saben orang dari Gunungkidul yang jaman dulu belum punya montor atau mobil (saya termasuk di dalamnya), mesti sudah pernah numpak bus tua (bangka) ini. Kalo nggak naik Rawit, ya naik Djangkar Bumi, Asri, Wolu, bis lainnya, atau anak-bis (kol diesel) untuk keperluan bepergian Wonosari-Jogja.

Setiap pagi atau siang, bersamaan waktu mengantar atau menjemput anak saya sekolah, sering kali saya menjumpai bis Rawit atau bis-bis jurusan Wonosari yang ngetem di bangjo prapatan Ketandan Banguntapan Ringroad Timur. Bis Rawit Mulyo yang bodynya terlihat sudah “reot” ini nampaknya tetap setia melayani warga yang bepergian di jalur Wonosari – Jogja atau sebaliknya Jogja – Wonosari.

Bacaan Lainnya

Pernah suatu kali dalam perjalanan ke Wonosari saya mbuntuti di belakang bis ini sampai pertigaan Gading. Saya sengaja mbuntuti agar mengetahui adakah tambahan penumpang yang naik, dan seberapa penumpang yang turun. Ternyata tambahan penumpang yang naik hanya sedikit sekali, sehingga masih terlihat ada banyak kursi penumpang yang kosong melompong, karena sejak dari bangjo Ketandan pun tampak jumlah penumpangnya tidak sampai separuh kapasitas bis. Sementara ada penumpang yang turun di prapatan Patuk, di Sambipitu, dan di pertigaan Gading.

Saya pernah meminta teman jurnalis di Wonosari untuk melacak bagaimana sesungguhnya “uripe” angkutan bis Rawit Mulyo, Djangkar Bumi, dan kawan-kawannya itu. Ternyata nasib mereka semua rata-rata “ngenes“. Boleh dikatakan hidup segan mati ogah. Ya, dalam satu hari mereka tetap bisa jalan 2-3 tangkep (rit) di jalur Wonosari-Jogja. Tetapi perolehan duitnya tetap tidak menggembirakan karena semakin sedikitnya warga yang mempergunakan angkutan umum untuk bepergian.

Kru bis rata-rata lemas apabila ditanya perolehan hasil nariknya. Kru bis berujar, hasil narik yang penting bisa untuk beli solar, karena ketika masuk kandang, solar harus diisi sebagaimana kondisi keluar kandang. Sisanya dibagi untuk pengemudi dan kernet/kondekturnya. Sisa yang dibagi itu berapa? Mereka mengaku bervariasi antara 100 ribu – 150 ribu rupiah.

Ya, dalam kenyataan saat ini memang semakin banyak warga yang menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi untuk keperluan bepergian Wonosari – Jogja atau sebaliknya. Itu dilihat dan dirasakan oleh para pengusaha angkutan umum sebagai penyebab menurunnya jumlah penumpang usaha angkutan umum yang dijalankan. Para pengusaha angkutan umum menyadari usaha mereka kini semakin sulit. Tampaknya karena rasa solidaritas terhadap para sopir dan kru bus lainnya, mereka rela melepas armadanya untuk tetap bisa beroperasi setiap hari. Itu karena nyopir-ngodektur-ngernet menjadi tumpuan para kru bis untuk menopang keluarganya masing-masing.

Para pengusaha dan para kru angkutan umum di Wonosari mengisahkan, mereka bisa bernafas lega adalah pada musim hari raya lebaran dan musim liburan akhir tahun. Di musim-musim itulah mereka mendapatkan pendapatan lebih.

Benar memang, Rawit Mulyo, Djangkar Bumi, Asri Jaya Sehati, Birowo, Siswantoro, dan lain-lainnya tampaknya kini sedang dalam proses bertransformasi. Namun sayang, transformasi itu tampaknya ke arah yang menyedihkan. Mereka saat ini tetap berjalan, namun perjalanan yang tampaknya “menuju kepunahan”, karena semakin sedikitnya warga yang mempergunakan angkutan umum.

Di sisi lain, mobilitas warga sejatinya semakin meningkat. Kebutuhan mereka untuk berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain semakin meningkat volumenya seiring dengan beragam aktivitas berbagai sektor yang dikerjakan. Sejatinya kebutuhan perangkutan warga semakin meningkat, entah itu buat sekolah, buat menjual hasil pertaniannya, entah buat bekerja, entah buat berbelanja, entah buat berkunjung ke sanak saudara, atau bezoek saudara yang lagi dirawat di Sardjito, PKU, Bethesda, atau Pantirapih, atau entah untuk berwisata atau plesiran, dan lain-lainnya.

Rawit Mulyo, Djangkar Bumi, Birowo, dan teman-temannya semakin lama memang semakin “reot”, kalau jalan makin kerasa “ograk-ogrek” dengan asap yang makin ngebul saat pak sopir menginjak pedal gasnya. Tetapi di balik makin “reot”-nya mereka itu, sejatinya Rawit, Djangkar dan kawan-kawannya itu juga telah mengantar mobilitas kita semua warga Gunungkidul bisa merangkak naik semakin berkualitas. Mereka telah turut mengantarkan anak-anak Gunungkidul tuntas dalam bersekolah dengan baik dan menjadikan anak-anak muda terserap dalam dunia kerja atau berkarya secara mandiri. Mereka telah setia mengantarkan para aparatur pemerintahan mampu menjalankan tugas dengan baik, bisa naik pangkat, kesejahteraan meningkat. Mereka juga telah mengantarkan petani, bakul pasar, blantik, pamong desa, guru, dukun bayi, perawat, bidan, dan lain menjadi meningkat mobilitas sosio-ekonomi dan kulturalnya.

Nah, apabila saat ini kita bersama-sama menemui atau menjumpai anak muda masa kini justru malah “bangga” bisa numpak montor atau mobil kebut-kebutan, saya kok berpikir mereka itu karena belum merasakan asyiknya generasi dulu yang pas-pasan ekonominya itu berdesak-desakan numpak bis Rawit Mulyo atau Djangkar Bumi agar bisa paripurna bersekolah. Ya, nampaknya anak muda kekinian itu sudah ogah atau tidak jamannya lagi “berdesak-desakan” di bis atau angkutan umum.

Yang jelas, saya tetap akan berterima kasih kepada Rawit Mulyo, Djangkar Bumi, Asri, dan kawan-kawannya itu. Saya boleh diberi tumpangan dan berdesak-desakan di bis itu yang memungkinkan saya tetap bisa hidup, bisa bekerja, bisa berkeluarga, dan memperoleh berkah rejeki hingga hari ini.

Facebook Comments Box

Pos terkait