
Sekelompok anak-anak muda Gunungkidul, sejak Rabu siang (29/11/17) secara senyap bergerak berbagi nasi bungkus dan logistik ke beberapa titik lokasi terdampak banjir. Mereka adalah sebagian dari anggota komunitas Ikaragil Korwil Yogyakarta, Info Cegatan Gunungkidul, dan Gunungkidul Photography.
“Nggak tahu bagaimana, saat kondisi darurat seperti ini, kami ngobrol mengalir saja di antara teman-teman, dan akhirnya kami semua sepakat untuk membuat dapur umum dan membuat nasi bungkus untuk dibagikan ke saudara-saudara kami yang kesusahan karena rumahnya terkena banjir,” ujar Nanik Tri Rahayu, salah satu anggota Ikaragil yang menyediakan warungnya di samping GOR Siyono sebagai dapur umum dan pos darurat komunitas Ikaragil, ICG, dan GP kepada Swara, Kamis (30/11/17).
“Kemarin kami mengirim 100 nasi bungkus ke Kwangen Semanu, 160 bungkus plus mie instan dan air mineral ke Banyusoco, mie instan dan air mineral ke Karangmojo Paliyan, 55 bungkus nasi dan air mineral buat para relawan di Getas Playen, dan 150 nasi bungkus plus mie instan dan air mineral ke Klayar Nglipar. Kemarin kita juga menyalurkan pakaian layak pakai melalui PMI Gunungkidul” ungkap Nanik.
“Untuk hari ini, rencana kami mau distribusi sembako ke Ngawen, Patuk dan belum tahu lagi ke mana lainnya. Kita belum sempat koordinasi sama teman-teman, soalnya semalam teman-teman sudah pada kecapekan. Hari ini kita sudah tidak masak lagi, karena saudara-saudara kita di lokasi terkena bencana kayaknya sudah memungkinkan bisa memasak sendiri,” sambung Nanik.
Salah satu anggota Gunungkidul Photography, Basuki Rahmanto mengungkapkan, bahwa apa yang dilakukan anggota ketiga komunitas tersebut adalah inisiatif spontan dari beberapa warga. “Bahan makanan dan logistik yang dimasak dan dibagikan ya apa yang berhasil kami kumpulkan dari anggota yang tergerak dalam tanggap darurat bencana,” imbuh Basuki.
Anggota komunitas Ikaragil Korwil Yogyakarta, GP, dan ICG mayoritas memang anak-anak muda. Kebanyakan anak-anak muda yang bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta, pekerja lepas, pelaku usaha kecil di wilayah Gunungkidul dan sekitarnya.
Dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan mereka sering menyebut diri sebagai “kelompok kere hore”. Mereka bukan pekerja mapan atau warga yang berkelebihan secara ekonomi, tetapi semangat persaudaraan justru mengantar mereka menjalankan operasi senyap kemanusiaan tanpa harus melalui sokongan orang besar, lembaga besar atau organisasi politik dengan pemberitaan besar.