(Seputar Gunungkidul)—Sebuah pameran seni rupa baru saja dihelat di Bumi Handayani bertajuk “Eman-eman Wanita”. Pameran ini termasuk sesuatu yang istimewa bagi dunia seni rupa Gunungkidul karena khusus disajikan oleh para perupa perempuan dan dilaksanakan di Bulan April, yakni bulan yang sama-sama kita-ketahui adalah bulan emansipasi wanita. Bulan April identik dengan ketokohan R.A Kartini; seorang perempuan berdarah ningrat dari Jepara yang mencoba menyuarakan hak-hak kaum wanita.
Kartini hidup di masa feodalisme Jawa dan kolonialisme VOC-Belanda. Di masanya pemikiran-pemikiran Kartini tentang persamaan hak kaum wanita dan pria adalah pemikiran yang visioner melampaui jamannya. Perjuangan Kartini ditahbiskan sebagai tonggak sejarah perjuangan emansipasi wanita Indonesia.
Dengan memilih momentum Bulan Kartini, pameran seni rupa bertajuk “Eman-eman Wanita” digelar di Gedung DPRD Gunungkidul 10-12 April 2021 yang lalu. Ada beberapa poin menarik dari prosesi pameran itu. Salah satunya adalah bahwa pameran seni rupa kali ini murni diinisiasi oleh para Perupa Perempuan Gunungkidul yang menamakan dirinya Kelompok “Wening”. Keseluruhan anggota Kelompok “Wening” adalah wanita. Sejumlah sebelas anggota Kelompok “Wening” menggelar karya mereka berbentuk lukisan dua dimensi berbagai aliran dan berlangsung selama tiga hari.
Sebagai seorang yang sedikit banyak turut menjadi saksi perjalanan Seni Rupa Gunungkidul, ada ketertarikan-emosional bagi saya untuk menyempatkan diri datang dan menyaksikan even istimewa ini. Saya datang agak terlambat sesaat setelah opening pameran selesai. Suasana pameran tampak masih ramai. Ada sisa-sisa kemeriahan seremonial yang dihadiri dan diibuka oleh Bupati Gunungkidul, Ketua DPRD Gunungkidul, dan salah satu cicit RA Kartini yang menyempatkan hadir dari Jepara.
Berbicara tentang Seni Rupa Gunungkidul, harus diakui akhir-akhir ini memang penuh dinamika. Perjalanan dan perkembangan seni rupa yang dinamis mampu menciptakan iklim berkesenian yang ideal untuk perkembangan seni rupa regional Gunungkidul. Munculnya kelompok Perupa Perempuan Gunungkidul yang secara berani (dalam tanda kutip) menginisiasi dan menyelenggarakan pameran seni rupa merupakan salah satu indikator kedinamisan iklim berseni-rupa di Gunungkidul.
Kelompok itu menamai dirinya Kelompok “Wening”. Dalam pemahaman saya, arti kata “wening” mengacu pada sebuah suasana yang tenang dan hening. Pemilihan “wening” untuk menamai sebuah kelompok wanita yang notabene adalah perupa dan menyertakan nama daerah (Gunungkidul), tentu memunculkan gambaran tentang suatu keadaan atau kekhususan wanita-wanita Gunungkidul itu seperti apa.
Jika diperbolehkan, saya memahami “wening” berasal dari kata “ning”. Dalam dunia filsafat Kejawian, kata “ning” mempunyai makna yang sangat dalam. Rangkaian kata ning, nang, nung sering dipahami sebagai suatu urutan atau tingkatan pemahaman spritualitas menuju kepada pengenalan terhadap ke-Tuhan-an.
Oleh Ki Hajar Dewantara, rangkaian kata tersebut ditambahi kata “neng” di depan, menjadi neng, ning, nung, dan nang. Tokoh yang dikenal sebagai bapak pendidikan Indonesia ini memaknai rangkaian kata ini menjadi sebuah filosofi hidup tentang sikap dan perilaku manusia. “Neng” berarti “meneng“( banyak mendengarkan), “ning” berarti “wening” atau hening (kemampuan kita berpikir jernih), “nung” berarti “hanung” (kebesaran hati dan jiwa), dan “nang” (menang; mendapat “wewenang” atau kuasa dalam suasana batiniah dan lahiriah).
Sebagai seorang pendidik, Ki Hajar Dewantara berusaha mengaplikasikan filosofi neng, ning, nung, nang di dunia pendidikan, dalam hal bagaimana menciptakan generasi atau pemimpin-pemimpin yang mempunyai kepribadian dan pembawaan diri yang neng, ning, nung dan nang.
Saya sengaja menjadikan filosofi Ki Hajar Dewantara di atas menjadi landasan tulisan apresiasi terhadap pameran perupa perupa Gunungkidul kali ini. Korelasinya adalah, banyak anggota Kelompok Wening yang berprofesi sebagai tenaga pendidik. Argumen saya yang lebih mendasar, bahwa sejatinya setiap wanita adalah “guru” bagi anak-anaknya. Meminjam bahasa teman saya yang seorang penulis, bahwa “dari rahim wanita lah lahir banyak peradaban”. Tentunya hal ini sangat relevan. Pengertian wanita sebagai sosok ibu sekaligus pendidik-utama bagi generasi adalah hal yang nyata. Tanpa mengesampingkan peran pria, posisi wanita sesuai kodratnya di sepanjang peradaban manusia memiliki peran yang sejajar dengan kaum pria. Saya tidak akan membahas hal ini terlalu jauh karena saya khawatir akan berkembang menjadi bias, dan memasuki ranah isu gender dan persamaan hak.
Mari kita kembali ke Kelompok Wening yang mengusung tema “Eman-eman Wanita”. Dalam ensiklopedi bahasa Indonesia, arti “wening” merujuk pada sifat air, yaitu “bening”. Air adalah unsur dasar kehidupan, selain angin, api, dan tanah. Air menyimpan kedalaman; air selalu menyesuaikan dengan kondisi ruang dimana air berada. Jika tidak tercampuri unsur lain, air adalah kesucian, kemurnian, dan kekosongan. Pengusungan tema “Eman-eman Wanita”, jika boleh saya menyimpulkan, adalah upaya para perupa perempuan atau perupa wanita untuk mencari jalan, atau bahkan jalan kembali, kepada kebeningan, kesucian, dan keheningan bagi dirinya, dalam upaya menggali dan mengembangkan potensi dirinya, khususnya di bidang seni rupa. Ada pesan tersirat yang ingin mereka sampaikan: para perupa wanita itu ingin menegaskan bahwa mereka adalah sumber air suci yang tidak akan pernah habis. “Eman-eman” jika tidak dimunculkan ke permukaan karena wanita adalah sumber air “yang layak untuk disambangi, “dieman-eman“, dicintai, dan diberi ruang untuk ekspresi diri.
Memasuki ruang pameran yang ber-display dominan warna putih, suasana “kewanitaan” yang feminim terasa terbangun menjadi kesatuan ruang pamer yang utuh. Saat satu per satu mata saya menikmati karya yang dipamerkan, saya menangkap banyak kegelisahan, uneg-uneg, juga ide yang dicoba disuarakan para perupa perempuan Gunungkidul lewat karya yang dipajang.
Sebelumnya saya mohon maaf kepada para peserta pameran, dalam tulisan ini, dengan segala keterbatasan pengetahuan saya, saya memberanikan diri untuk mencoba membaca dan mengapresiasi karya-karya yang ditampilkan.
Saya menyempatkan membaca pengantar pameran di katalog pameran yang saya peroleh dan ditulis oleh Zuliati S.Sn., M.Sn. dari ISI Surakarta. Dalam pengantarnya, Zuliati mengulas pernyataan ketua panitia pameran Aryati Yunita mewakili apa-apa yang ingin disampaikan oleh para peserta pameran. Zuliati menulis tentang potensi, konsep diri, atau cara perempuan memandang dirinya berkaitan dengan sistem sosial yang patriarkis. Tajuk “Eman-eman wanita” dipilih sebagai ungkapan atau gaya bahasa yang berintonasi halus untuk “melawan” dikotomi dan stereotip masyarakat, yaitu bahwa wanita, dalam bidang-bidang umum, harus selalu dinomorduakan setelah pria. Isu persamaan hak banyak dituliskan dalam pengantar katalog ini. Zuliati mengambil contoh tentang kemampuan dan keberhasilan kaum perempuan dalam banyak bidang, tidak hanya di Seni Rupa, tetapi dalam bidang-bidang lain termasuk politik dan pemerintahan.
Menelusuri karya-karya yang terpajang, “uneg-uneg” yang saya-maksudkan tadi tampak dalam salah satu karya Natalia T.C. yang diberi judul “Super Woman”, bermedia Water Colour. Natalia saya rasakan ingin menyuarakan gagasan tentang kemandirian, kebebasan berkarier, dan berekspresi sebagai seorang wanita modern.
Kekuatan atau potensi wanita muncul dalam karya batik Wiji Astuti yang berjudul “Srikandi”. Tampaknya Wiji ingin menekankan suatu “kekuatan” dengan menggunakan idiom ketokohan Srikandi. Banyak wanita tangguh yang mempunyai kelebihan. Penokohan Srikandi di dunia pewayangan, Srikandi adalah perempuan yang memiliki kelebihan dibanding laki laki bahkan dalam hal berperang sekalipun.
Sementara itu aroma keGunungkidulan yang kental saya-tangkap pada karya Puji Lestari; seorang perupa dari Kapanewon Panggang. Dengan gaya ekspresionis akrilik pada kanvas, Puji banyak menuangkan memori keGunungkidulannya yang original, seperti dalam karya “Ibu Kahyangan”, “Ngangsu”, dan “Pesta Wastra”. Dalam karya Puji yang berjudul “Resan, Telaga, dan Ibu”, saya melihat Puji ingin menggambarkan hubungan antara wanita dan kecintaan mereka pada sumber air serta peran sumber air itu dalam kehidupan masyarakat Gunungkidul. Puji yang kesehariannya berperan sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di sebuah desa di wilayah Pegunungan Seribu—suatu wilayah yang sering disebut Kahyangan atau Gunungkidul, seakan ingin berkata mewakili ribuan ibu rumah tangga Gunungkidul lain, bahwa mereka sosok “ibu” yang mampu mengatasi banyak hal meskipun tanpa bantuan. Bidang pekerjaan harian seperti bertani, “ngangsu banyu”, memasak, dan lainnya biasa dilakukan secara fasih oleh mereka. Para wanita adalah penjaga kehidupan harian keluarga. Para wanita adalah ibu; para ibu adalah telaga kehidupan. Karya Puji Lestari berjudul ‘Resan, Telaga, dan Ibu”, menurut pandangan saya adalah gambaran para wanita petani dan para wanita ibu rumah tangga Gunungkidul yang sedang beraktifitas di bawah pohon-resan di sebuah Telaga. Puji Lestari seakan ingin mengatakan bahwa wanita, sumber air, dan tumbuhan penjaga (resan) merupakan kenyataan perikehidupan di bumi yang disebut Kahyangan ini. Ketiganya menciptakan harmonisasi alam Gunungkidul.
Dunia tumbuh-tumbuhan terutama bunga memang sering digunakan sebagai motif yang dipilih dan diolah oleh perupa dalam karya rupa. Sementara pria cenderung identik dengan dunia fauna seperti burung, wanita dekat dunia flora. Wanita, tanaman, dan bunga: tiga hal ini tampak dalam karya Awalia Rosdiana A. Dia memiliki ketekunan yang kemudian mewujudkannya karya kerajinan kain flanel bunga-bungaan dalam karya “The Plant Kingdom” dan “The Sun Kissed”. Setelah melihat karya-karya ini saya mengira bahwa prosesi pengembangbiakan tumbuhan dan bunga-bungaan sangat mewakili prosesi tumbuh dan berkembangnya manusia, juga tumbuhnya rasa cinta antara wanita dan pria. “Rasa cinta” ini barangkali ingin disampaikan oleh Rosdiana, pun dalam berkarya harus selalu dilandasi rasa cinta yang utuh.
Rofitasari Rahayu, perupa dari Kapanewon Karangmojo, menerjemahkan perasaan cinta yang halus dan sepi dari seorang wanita dengan karya “Burung Cinta” dan “Rama Shinta”. Saya menangkap suatu gambaran, bahwa ide atau idiom “burung” mewakili lambang dunia yang penuh keceriaan, bunyi-bunyian, kicauan, dan suasana yang harmoni, yang diangankan dan dihadirkan amat dekat dengan tumbuh-tumbuhan. Ornamentasi unsur-unsur flora dan fauna, serta tokoh manusia wanita dan pria, dihadirkan juga dalam karyanya. Idealisasi persatuan tokoh wanita dan pria dilukiskan oleh Rofitasari Rahayu dalam “Rama Shinta” itu.
Dalam karya-karya yang dipamerkan oleh Kelompok Wanita “Wening” itu saya juga menangkap ide-ide tentang diri mereka sendiri yang coba mereka ungkap secara halus. Siapakah aku (wanita)? Siapakah kita (wanita)? “Apakah kita para wanita hanya berpura-pura sebagai wanita?” karya ini muncul dalam “Perempuan Pura-Pura” oleh Tinon Purin Elajati. “Apakah kita para wanita berkarakter serupa harimau?” karya Ratu Rita Niken dalam “Tiger Character”. Lewat karya-karya Tinon dan cukil kayu Ratu Rita Niken, saya meraba bahwa sejatinya para wanita adalah kumpulan tanda. Karya-karya Tinon mengungkapkan tanda-tanda ketubuhan wanita secara lugas; sementara karya-karya cukil kayu Ratu Rita Niken mengungkapkan pandangannya tentang wanita dan gender.
Di sisi lain, karya-karya yang menyangkut dunia kejiwaan sang wanita coba dipamerkan oleh Maria Y. Fatmala. Melihat karya-karyanya seakan saya diajak olehnya untuk masuk ke jagad psikologi modern tentang “Persona”: siapakah aku wanita? Wanita adalah ciptaan terbelah, berpasangan dengan bayangannya (karya berjudul “Shadow”). Selain itu Maria juga melukiskan “Ego” dan Sang Diri (“Self”). Saya pun menangkap kekuatan personal yang kuat dalam karya-karya Maria.
Aura kejiwaan yang kental juga saya rasakan di karya-karya A. Yunita S. Yunita sering berkarya dengan mengambil figur manusia berkepala burung sebagai Self Branding bagi kekaryaanya. Figur manusia berkepala burung mengingatkan saya pada figur Sang Garuda yang berjuang membebaskan diri dari penjajahan, baik penjajahan terhadap diri sendiri maupun keluarganya. Tokoh burung juga mengacu pada tokoh “Jatayu”, yang menyelamatkan Shinta dari penculikan Rahwana. Karya-karya Yunita berjudul “Loveable Lady” dan “Sign: a passion, a love, and a bless” menyiratkan pesan bahwa wanita adalah asal dan tujuan dimana gairah, cinta, dan berkah kehidupan berada. Oleh sebab itu, wanita layak untuk dicintai dan didayakan.
Karya-karya berjenis pop-art pun hadir dalam pameran. Claudia Adella, seorang desainer dan ilustrator, menyuguhkan karya-karya yang sarat dengan dunia kewanitaan. Berbagai nuansa pop digunakan untuk memvisualkan ide-ide kewanitaan seperti baju wanita dalam “Me Time” dan “Kasih Ibu”, serta piranti-piranti kewanitaan yang khas dalam “Women Talk: Terbaik”.
Teknik pewarnaan cerah digunakan oleh Natalia T.C. untuk mengungkapkan ide-ide kewanitaan seperti “Bersolek”, bercermin dalam “Mirror”, dan kondisi ketika seorang wanita berkarya rupa, termasuk juga kelemahan fisik yang sering disematkan pada wanita. Natalia ingin menegaskan bahwa fisik wanita bukan halangan bagi mereka untuk berkarya. “It’s Okey to Show Your Weakness” kata Natalia T.C. melalui karyanya. Wanita, seperti halnya pria, juga memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Justru kekurangan dan keterbatasan para wanita perupa itu menjadikan mereka bersemangat untuk terus berkarya setara dengan golongannya sendiri bahkan dengan perupa pria.
Siti Agus Setiyana, mencoba mengatakan hubungan dinamis dan saling terkait antara dua hal, yakni “Kasih Mengasihi” dan “Berbeda yang Sama”. Saya menghubungkan karya-karya Siti dengan ide kesetaraan dan keselarasan antara wanita dan pria. Siti ingin menyatakan bahwa harmonisasi hubungan atau pembagian peran dan suasana saling menghargai antara pria dan wanita adalah esensi kesetaraan gender itu sendiri.
Dengan segala keterbatasan saya membaca tanda visual yang ditampilkan, sekali lagi saya ingin mengulang tulisan Zuliati S.Sn., M.Sn. dalam kata pengantar pameran. Zuliati menulis bahwa konsep diri atau cara memandang wanita tentang dirinya yang berkaitan dengan sistem sosial yang patriarkis telah diwariskan turun temurun di keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Oleh pria, wanita sering diposisikan sebagai sosok pasif, lemah, dan hanya mengurusi wilayah rumah tangga. Sementara itu pria adalah pemegang kekuasaan. Dominasi pria di wilayah sosial, politik, dan budaya dianggap sebagai kebenaran terberi. Kodrat wanita mengandung dan menyusui memang tak dapat dipertukarkan, namun kerja di wilayah domestik dan publik seyogyanya sama dan setara. Melalui pameran seni rupa oleh Kelompok Wening itu Zuliati berharap para wanita perupa dapat ikut andil dalam menggelorakan semangat kesetaraan. Semangat dan ide-ide kekaryaan para wanita perupa dapat menginspirasi para wanita untuk berdaya dan terus berkarya.
Akhirnya, bermacam karya-rupa para perupa perempuan atau perupa wanita Gunungkidul dalam pameran bertajuk “Eman-eman Wanita” beberapa waktu yang lalu menurut saya telah berhasil menggambarkan ide dan gagasan, perasaan, serta pengalaman hidup perupanya, yaitu para perupa perempuan/wanita Gunungkidul. Di sisi lain, dengan gairah dan semangat para Perupa Perempuan Gunungkidul itu, realitanya telah membuat iklim seni rupa Gunungkidul lebih dinamis, kaya ragam dan ide, yang tentu akan lebih mewarnai perkembangan Seni Rupa Gunungkidul.
[oleh Edi Padmo]