“Swarga Menga” adalah tema yang diusung dalam pameran seni rupa atas prakarsa Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Gunungkidul bekerja-sama dengan Forum Perupa Gunungkidul (FPG). Bertempat di Gedung Kesenian Baleharjo, Kapanewon Wonosari, pameran “Swarga Menga” digelar tanggal 9 s/d 15 November 2020 yang lalu. Tulisan ini agak telat, memang saya sengaja dengan tujuan agar gaung pameran tidak selesai begitu saja setelah usai. Saya hanya berusaha memperpanjang ‘masa klimaks’ dan hasrat menggelora para perupa Gunungkidul yang sudah terlalu lama tertahan dan tidak ada ruang pelampiasannya. Pameran di masa Pandemi Covid 19 ini memaksa panitia harus bekerja keras mengemas pameran dalam format virtual.
Seperti yang diungkapkan Dedi, salah seorang panitia yang mengemban tugas sebagai admin, mengurusi pameran virtual memang lebih ribet dibanding pameran seni rupa konvensional. Di luar mengurusi properti pameran, panitia juga harus menyiapkan banyak sekali alat dan sarana yang dibutuhkan untuk menunjang maksimalnya apresiasi publik di dunia maya.
Ada beberapa momentum yang membuat pameran seni rupa di akhir tahun 2020 ini menjadi “sesuatu” bagi para perupa Gunungkidul. Pertama, agenda pameran ini sebetulnya digagas sejak awal tahun 2020 dengan mengambil tema “Dlajah Desa Milang Kori”. Tetapi karena badai Pandemi Covid 19 yang mulai melanda Indonesia sejak akhir Maret, segala bentuk Program dan Pembiayaan Dinas mengalami perubahan menyesuaian dengan agenda besar negara dalam rangka penanggulangan penyebaran Covid 19 secara nasional. Imbas ini dirasakan juga oleh Kundha Kabudayan Gunungkidul dengan agendanya. Agenda pameran seni rupa yang akan mengakomodir potensi dari 18 Kapanewon se-Gunungkidul mengalami perubahan format pameran dari konvensional menjadi virtual. Selanjutnya terjadi kevakuman panitia yang telah dibentuk sebelumnya. Selama hampir 3 bulan tidak ada kemajuan persiapan pameran. Dengan ketidakpastian di hal satu dan lainnya, jelang akhir tahun 2020 rencana pameran bisa dilaksanakan dengan perubahan tema yang diusung, yaitu “Dlajah Desa Milang Kori” berganti “Swarga Menga”. Pameran tetap dikemas dengan konsep pameran virtual sesuai ProKes yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Ketiga, momentum paling faktual, adalah perhelatan Pilkada Gunungkidul yang akan digelar tanggal 9 Desember mendatang. Diakui atau tidak aroma pesta demokrasi, jago menjago, dan segala dinamikanya akan ikut memengaruhi iklim berpikir hampir seluruh masyarakat Gunungkidul. Peristiwa pameran oleh Forum Perupa Gunungkidul (FPG) di akhir tahun ini pun pada akhirnya dalam prosesnya sedikit banyak terpengaruh suasana perpolitikan yang semakin menghangat.
Ketiga momentum itu saya sampaikan sebagai pembuka tulisan karena memang ketika kita membicarakan perkembangan seni rupa Gunungkidul, lebih khusus pameran FPG kali ini, kemajuan dan prosesnya sangat dipengaruhi oleh ketiga hal tadi. Pameran “Swarga Menga”adalah sebuah peristiwa seni yang dibiayai oleh Kundha Kabudayan bekerja sama dengan Forum Perupa Gunungkidul (FPG). Sementara itu Forum Perupa Gunungkidul (FPG) merupakan Grup WA yang anggotanya adalah para panitia persiapan pameran.
Ya, mari kita kembali ke pembicaraan tentang “Swarga Menga” yang menjadi tema pameran! Dalam pengantar pameran yang ditulis oleh Dh. Widianta, tema “Swarga Menga” diulas sebagai sebuah kesatuan Bumi Gunungkidul yang utuh. Dalam bahasanya, Dh. Widianta menyebut Gunungkidul adalah gambaran alam atau bumi yang surgawi. Bukit, gunung, lembah, danau, dan sungai merupakan nadi kehidupan masyarakat Gunungkidul. Segala jenis pepohonan yang tumbuh, sama seperti gambaran surgawi yang ditulis dalam kitab-kitab suci. “Swarga Gunungkidul” menurut Dh. Widianta sudah terwakili oleh bentukan alamnya, ditambah dengan segala tradisi dan mitos yang melekat di pemikiran masyarakat Gunungkidul, misalnya tentang tokoh-tokoh masa lalu yang memilih bumi Gunungkidul sebagai tempat menggapai “kaswargan” dengan cara yang sangat spiritual-mistik yaitu “moksa” (munggah swarga sak ragane).
Dh. Widianta membahasakan itu dengan halus dan memainkan bahasa sanepan. Ia menyebut Bumi Gunungkidul sebagai sebuah “Kebon Agung”, dalam arti Bumi Gunungkidul adalah tempat hidup kita bersama, baik itu manusia Gunungkidul, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan segala bentuk kehidupan yang tampak dan kasat mata. “Kebon Agung” dalam pengantar Dh. Widianta itu bisa juga diartikan sebagai “tempat asal dan tempat kembali”. Menyitir syair lagu Jawa lama “Turi-turi Putih”, kata “Kebon Agung” mengindikasikan sebuah sanepan bahwa Bumi Gunungkidul adalah tempat lahir (tumpah darah) kita dan di tanahnya pula jasad kita akan dikebumikan (siti wangi).
Simpulan saya, Dh. Widianta ingin menegaskan bahwa Bumi Gunungkidul tempat kita lahir adalah sebuah tempat layaknya surga, dan sebagai anak-anak yang lahir dari sari pati Tanah Gunungkidul tentu sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaganya. Jika waktunya nanti kita akan kembali, kita akan “ngrungkebi” tanah ini.
Lukas Priyo Arintoko (Ketua Pelaksana Pameran ) mengatakan bahwa “Swarga Menga” merupakan sebuah suasana yang baik, kondisi yang telah lama diharapkan oleh para seniman Gunungkidul. Para seniman diberi kesempatan dan ruang yang luas oleh Kundha Kabudayan Gunungkidul untuk menampilkan kreativitasnya. Sejumlah 188 seniman dan beberapa komunitas seni dari 18 Kapanewon di Gunungkidul ikut meramaikan perhelatan. Proyeksi ke depan, kegiatan ini akan dijadikan agenda rutin untuk pengisi kegiatan di Taman Budaya Gunungkidul.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ismu Ismoyo dan Lembu Christian. Kedua perupa kelahiran Gunungkidul ini berlatar belakang Street Art, dan sering “turun” ke Yogyakarta yang notabene iklim keseniannya lebih dinamis. “Swarga Menga” lebih mereka-artikan sebagai sebuah kesempatan untuk membangun kesenian Gunungkidul berdasarkan pada potensi seluruh kecamatan. Kehadiran Taman Budaya Gunungkidul nantinya harus disikapi dengan sebaik-baiknya oleh para seniman. Mereka berfikir jika para seniman Gunungkidul tidak mampu menunjukkan eksistensinya, tidak menutup kemungkinan Taman Budaya Gunungkidul akan menjadi sebuah tempat layaknya “menara gading” yang hanya pihak-pihak tertentu saja bisa memanfaatkannya. Para seniman hanya akan menjadi penonton. Hanya dengan selalu eksis berkesenian para seniman akan bertahan. Apapun bentuk berkeseniannya, asal untuk kemajuan seni di Gunungkidul, akan bersama-sama dilakukan.
Andreas Bernardi, seorang perupa kelahiran Yogya yang memilih berkarya di Gunungkidul, mengungkapkan perasaannya tentang Pameran “Swarga Menga” ini. Bernard mengartikan “Swarga Menga” lebih ke dalam makna sebuah ruang/koridor yang membuka kesempatan kepada para pelaku seni tanpa memandang jenjang usia, senior atau yunior, dan pilihan genre berkesenian ataupun daerah asal. Ia mengharapkan dengan “menga-nya swarga Gunungkidul” para seniman Gunungkidul akan menapakkan kakinya pada ruang baru yang di dalamnya bisa berinteraksi dan saling menghargai baik pribadi maupun komunitas, serta terbangunnya iklim berkesenian yang baik.
Eri saktiawan, perupa dari Kapanewon Karangmojo, menganggap “Swarga Menga” sebagai sebuah kesempatan yang terbuka. Dia mengatakan bahwa potensi para perupa Gunungkidul sangat luar biasa. Hanya saja kesempatan para perupa untuk berpameran sangat minimal. Dengan terbukanya “swarga”, ajang untuk berekspresi dan beraktualisasi para perupa terbuka lebar.
Agak berbeda apa yang disampaikan oleh Agus Abadi (perupa dari Kapanewon Karangmojo) dan Ahid (seniman Kapanewon Rongkop). Agus abadi adalah seorang pematung yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang ojek di Perempatan Karangmojo. Agus lebih mengapresiasi “Swarga Menga” sebagai pratanda karya. Kata swarga menga baginya adalah suatu kata yang sering diucapkan oleh orang-orang Jawa. Agus ingin memberikan suatu tanda bagi kata ini, dengan memamerkan sebuah karya tiga dimensi yang dia beri judul “mbengung”. Sementara itu Ahid mengartikan “Swarga Menga” sebagai sanepan (ungkapan simbolik) orang Jawa yang merujuk pada adanya sebuah kesempatan. Akan tetapi Ahid mengingatkan bahwa kita harus berhati-hati menggunakan kesempatan. Jika para seniman menanggapi sebuah kesempatan dengan “aji mumpung”, maka para seniman akan merasa “kemaruk” dan lupa daratan, yang sangat mungkin akan menimbulkan sifat “adigang, adigung, adiguna”, pada akhirnya bisa menjadikan para seniman lupa pada hakikat dan rasa. Menurut pandangan Ahid, orang Jawa memunculkan istilah swarga menga selalu berkaitan dengan ungkapan-ungkapan lain yang bersifat mengingatkan, misalnya: “aja dumeh” (jangan mentang-mentang), “sing setiti lan ngati-ati” (hendaknya teliti dan hati-hati), “aja lali purwaduksina” (jangan lupa arah-tujuan), “aja gumunan” (jangan mudah merasa heran), dan lain-lain. Itulah, imbuh Ahid, satu sisi kehebatan orang Jawa: selalu memiliki perimbangan untuk hal apapun. Bahkan untuk suatu hal yang baik sekalipun, orang Jawa selalu berpikir tentang sebuah keseimbangan (balance).
Perlu juga kita ingat, swarga, surga, sejatinya bukan satu hal yang cuma-cuma Dia (Gusti Akarya Jagad) berikan kepada manusia. Untuk menggapai kaswargan (kondisi kesurgaan) dibutuhkan sebuah perjuangan, laku prihatin, dan tindakan “meper babahan hawa sanga”, yaitu mengendalikan semua unsur nafsu dalam diri kita hingga tercapai sebuah kebijakan berfikir dan keseimbangan semua unsur kehidupan. Karena jika kita hanya merasa “mumpung” dan “nemu”, ini bukan kesejatian, tetapi sebuah jebakan Batman.
Penulis: Edi Padmo, anggota Ikatan Perupa Gunungkidul (IPG)