“Niku biasane dereng sepuh pun dibayari…” Ini adalah petikan percakapan sore tadi. Simbah Atmo cerita tentang pisangnya, eh tanaman pisangnya. Pria 80 tahunan itu berkisah bahwa pada masa sebelum pageblug, para pedagang pisang datang ke rumahnya. Mereka rela membayar tanda jadi untuk setandan pisang yang masih “bayi.”
Beliau memang punya berpuluh-puluh pohon pisang berjejer di depan rumahnya. Itu baru di depan rumah, belum yg di samping dan belakang rumah, mungkin jumlahnya ratusan. Ada berderet aneka jenis pohon pisang yg tertanam, namun ada tiga yg jadi andalan: Ambon, Kepok, dan Raja.
Laki-laki sepuh itu menganggap ketiga jenis pisang ini cocok di lahannya sekaligus cocok di dompetnya. “Ketiga-rendheng sae, katimbang ditanemi kacang, jagung, mending pisang!”
Ia membeberkan hitung-hitungan alasan menanan pisang karena musim kemarau atapun penghujan tanaman pisang lebih menguntungkan dibandingkan kacang dan jagung. Rata-rata setandan atau saktundun pisang Kepok atau Ambon dihargai antara 100-150 ribu rupiah, sedangkan pisang Raja jelas melampaui mereka. Si Raja bisa berharga 200-250 ribu. Itupun tak jarang pada musim perkawinan malah diperebutkan para pedagang.
Sore tadin Mbah Atmo cerita kondisi terkini tentang pisangnya yang seakan kehilangan keperkasaan. “Sakniki satundhun ageng namung 80-ewu, jarene bakule mboten saged sade, mboten pajeng…”
Ia merana, karena kini pisang Raja turun harga. Namun merananya tak berlanjut. Di sisi yg lain, pisang Ambon biasanya seharga 100-150 kini setandan bisa sampai 200 ribu. Sedangkan pisang Kepok relatif stabil sekitar 150 ribu.
***
Di masa pandemi ini, pisang Raja jadi kurang berdaya. Ini sesungguhnya menarik dilihat dalam kontestasi perpisangan. Si Raja kini merasakan kondisi yang setara, bahkan kini ia jadi hamba dalam harga. Harga simboliknya kini agak merana, jadi sekadar buah pelengkap “lima sehat lima sempurna” saja.
Pisangnya mbah Atmo agak merana, eh, pisangmu gimana?