Simbah Bercaping Itu

Angkutan perdesaan jurusan Paliyan-Playen, mengangkut anak sekolah, pegawai, juga simbah ke pasar. Foto: Tugi/KH.

Klunthing…… Terdengar suara uang receh seratusan rupiah jatuh menggelinding di kabin colt angkudes. Sambil duduk aku thingak-thinguk mencarinya. Itu adalah uang sakuku yang sangat berharga di kala tahun 1990.

Saat itu aku dalam perjalanan pulang dari rumah kakekku di Dusun Trukan, Karangasem, Paliyan, Gunungkidul. Seorang simbah yang bercaping dan bercelana kolor hitam, yang sedari tadi memperhatikanku, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan bungkusan plastik berisi mbako, sigaret dan beberapa lembar uang kertas.

Bacaan Lainnya

Simbah itu kemudian menyodorkan selembar uang ratusan kepadaku seraya berkata, “Ora sah digolekki Nduk. Nyo, tak ijoli“.

Kutatap wajah simbah itu. Di matanya kulihat ketulusan dan keikhlasan. Aku tertegun dan ragu untuk menerimanya. Ia pun sekali lagi mengangguk dan tersenyum meyakinkanku.

Matur nuwun, Mbah” ucapku lirih.

Tak lama kemudian, Simbah itupun turun di perempatan Desa Mulusan.

Kodarullah, tahun 1994 aku diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di SD Muhammadiyah Mulusan I, Paliyan, Gunungkidul hingga sekarang.

Meskipun sekian lama aku bertugas di sini, belum pernah bertemu lagi dengan simbah tersebut. Tapi kesederhanaan dan ketulusannya itu sudah terpatri di dalam sanubariku. Serta memberikan inspirasi agar aku selalu bersikap tulus, ikhlas, mengajar dengan “hati” serta welas asih tanpa membedakan strata.

Ya, rasa simpati dan welas asih adalah salah satu kepribadian yang dimiliki “wong gunung” yang wajib dilakukan dan diwariskan kepada anak turun kita.

Simbah yang kutemui itu mungkin hanyalah segelintir orang yang mewakili sekian banyak dari orang Gunungkidul yang memiliki sikap mulia itu.

Hampir semua warga Gunungkidul terutama yang dipelosok pasti memiliki keramahtamahan, kegotongroyongan dan solidaritas yang tinggi.

Aku bangga jadi orang Gunungkidul.

****

Ninik Suparyani, 05 Februari 2020

Facebook Comments Box

Pos terkait