Suweg adalah salah satu tanaman pangan alternatif yang kini mulai dipanen oleh masyarakat Gunungkidul. Tanaman yang panennya setahun sekali ini merupakan tanaman yang bisa tumbuh hampir di semua jenis tanah, bahkan di bawah bawah pohon sekalipun.
Meski keberadaannya semakin sedikit, namun masih ada masyarakat Gunungkidul yang melestarikan agar kelak anak cucu mereka masih bisa menikmati umbi yang lezat ini.
Tanaman suweg memiliki umbi tunggal. Bobot ketika panen sekitar 4 kiloan. Tanaman ini biasanya memang tidak dibudidayakan secara besar besaran oleh petani. Kemungkinan karena harga jualnya yang rendah, hanya berkisar 4000 per kilonya. Namun, naluri petani tradisional masih tetap menjadikannya sebagai bahan pangan alternatif.
Para petani Gunungkidul tampaknya tidak ada yang bisa menerangkan dari mana asal-muasal tanaman berbatang lunak ini. Namun dari jaman simbah-simbah dulu sudah ada tanaman ini dan eksis hingga sekarang.
Tanaman suweg sering disamakan dengan porang oleh masyarakat awam. Namun, yang paling mudah membedakan dengan tanaman “mahal” komoditas ekspor tersebut dengan suweg adalah kalau porang ada “umbi batang/katak” yang tumbuh di pertemuan ruas jari daunnya, sedangkan suweg tidak ada.
Perbanyakan tanaman ini dengan cara menanam anakan yang tumbuh dari umbi utama, sedangkan porang dengan menanam kataknya.
Suweg bisa dipanen setiap satu tahun sekali. Ciri tanaman siap panen apabila batangnya sudah mati dan terlepas dari umbinya.
Apanila tanaman ini dirawat layaknya padi (dipupuk, disiangi, digemburkan tanahnya), maka umbi uang dihasilkan bisa mencapai berat puluhan kilo per bijinya.
Umbi yang sudah dipanen bisa diawetkan dengan menyimpan di tempat kering terhindar dari matahari. Syarat pengawetan adalah tidak terbuka kulitnya sehingga tidak akan membusuk.
Bunga suweg memiliki tinggi hingga 50 cm dengan diameter 20 cm. Warna bunganya cerah, dan berbau busuk. Aroma inilah yang secara alami menarik serangga sehingga sering disebut kembang kecing atau bunga bangkai.