Tanggap Darurat Bencana 3: Apa Itu Triase, Management Camp, dan Trauma Relief?

Triase sederhana Prioritas Nol (hitam) yang dilakukan oleh relawan Gedangsari untuk mengevakuai korban yang terseret banjir. Foto: Polsek Gedangsari.
Triase sederhana Prioritas Nol (hitam) yang dilakukan oleh relawan Gedangsari untuk mengevakuai korban yang terseret banjir. Foto: Polsek Gedangsari.

Dalam penanganan darurat di tingkat yang lebih luas yaitu pemerintah, yang perlu dilakukan diperhatikan dalam rencana kontinjensi di antaranya adalah pengaktifan posko sesuai dengan prosedur tetap penanganan darurat; penanganan evakuasi korban bencana; penyediaan kebutuhan dasar, seperti tempat penampungan sementara, pangan, non-pangan, kesehatan, air bersih dan sanitasi; media center atau pusat informasi; dan pelaporan kondisi darurat kebencanaan.

Pada bagian ini kita akan mempelajari secara singkat tentang bagaimana penanganan korban bencana melalui kegiatan triase, penanganan tempat pengungsian (management camp) serta penanganan kondisi psikologis korban bencana di tempat pengungsian (trauma relief).

Bacaan Lainnya

Triase

Pada saat terjadi bencana, biasanya kita melihat para petugas kesehatan memberikan pita-pita dengan warna tertentu kepada para korban bencana. Itu adalah proses yang dinamakan dengan Triase. Apa yang dimaksud dengan triase? Triase adalah proses khusus pemilihan pasien berdasarkan beratnya cedera yang diderita korban untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi. Proses triase harus terus dilakukan sepanjang kondisi darurat bencana dan diulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Proses triase biasanya dilakukan oleh petugas khusus kesehatan yang menangani korban bencana untuk memastikan bahwa tindakan penyelamatan dilakukan dengan aman dan sesuai prosedur.

Pada kegiatan triase ini, para korban bencana dikelompokkan berdasarkan prioritas tindakan yang harus dilakukan. Prioritas tindakan dibagi ke dalam:

  • Prioritas Nol (Hitam): korban meninggal atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
  • Prioritas Pertama (Merah): korban cedera berat yang memerlukan tindakan dan transport segera (misalnya gagal nafas, cedera kepala, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
  • Prioritas Kedua (Kuning): korban dengan cedera yang dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (misalnya cedera dada tanpa gangguan pernafasan, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta luka bakar ringan).
  • Prioritas Ketiga (Hijau): korban dengan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera (misalnya cedera jaringan lunak, patah tulang ringan, serta gawat darurat psikologis).

Management Camp

Management Camp: atau dalam bahasa Indonesia Manajemen Tempat Pengungsian/Penampungan merupakan salah satu aspek yang harus disiapkan dalam rencana kontinjensi tingkat pemerintahan. Standar-standar minimum untuk tempat pengungsian harus ada sebagai pewujudan nyata dari prinsip-prinsip dan hak-hak yang tercantum dalam Piagam Kemanusiaan yang berhubungan dengan hajat-hajat paling dasar untuk mempertahankan kehidupan dan martabat para korban bencana dan konflik.

Tempat pengungsian merupakan faktor kunci bagi kelangsungan hidup pada tahap permulaan suatu keadaan darurat. Dalam proses pemilihan dan perencanaan lokasi pengungsian, harus memenuhi standar-standar tertentu, yaitu:

  1. Pemilihan lokasi. Mampu untuk menampung jumlah warga yang diperkirakan akan mengungsi.
  2. Perencanaan lokasi. Perencanaan lokasi memastikan tersedianya ruang yang cukup untuk rumah tangga dan mendukung keamanan serta kesejahteraan masyarakat.
  3. Keamanan. Pemilihan dan perencanaan lokasi pengungsian memastikan tercukupinya kebebasan dan keamanan pribadi seluruh anggota penduduk Korban.
  4. Masalah-masalah lingkungan. Penampungan direncanakan dan dikelola sedemikian rupa sehingga meminimalkan perusakan terhadap lingkungan.

Di lokasi penampungan yang dijadikan sebagai tempat evakuasi korban, perlu disediakan fasilitas-fasilitas berupa Tenda Tempat tinggal pengungsi, fasilitas kesehatan (rumah sakit lapangan), sanitasi, kebutuhan MCK dan lain-lain. Untuk itu perlu ditentukan terlebih dahulu lokasi dari masing-masing fasilitas tersebut di area evakuasi.

Penanganan Kondisi Psikologis Korban Bencana Banjir (Trauma Relief)

Setiap kejadian bencana terutama bencana besar, biasanya akan menimbulkan dampak pada kondisi kejiwaan seseorang. Dampak bencana ini antara lain dalam bentuk hilangnya rasa percaya diri, muncul kekhawatiran dan perasaan takut yang berlebihan. Pada beberapa orang, dampak psikologis ini membutuhkan perhatian dan proses yang lama.

Gejala yang paling popular yang sering terjadi pada korban korban bencana adalah stres dan stres paska trauma. Apakah itu trauma? Trauma merupakan luka atau kondisi karena adanya pengalaman yang mengagetkan yang dampaknya melebihi stres dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi di tempat pengungsian, saat ini telah pula dilakukan upaya-upaya penanganan korban bencana yang mengalami masalah psikologis dalam bentuk tenda-tenda trauma relief. Beberapa upaya dan pendekatan yang bisa dilakukan untuk menangani korban bencana yang mengalami trauma antara lain adalah:

Pendekatan pendidikan keagamaan sebagai program pemulihan. Program diupayakan bersumber dari masyarakat sendiri sesuai kebutuhan individu dan komunitas sendiri (program dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka). Dengan demikian, ada keterlibatan atau partisipasi aktif dari komunitas itu sendiri.

Menggunakan orang terdekat yang dapat menyejukkan dan memotivasi korban bencana.

Membentuk kelompok mandiri (self help group), yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama untuk melakukan suatu atau tindakan bersama. Jenis kelompok ini dapat berupa kelompok agama, kelompok olahraga atau kesenian. Melalui berbagai aktifitas yang dilakukan dengan bekerjasama dapat memberikan manfat baik secara ekonomis maupun psikologis.

Melakukan kegiatan yang menyenangkan dalam kelompok, sehingga masing-masing dapat merasa nyaman dan tenang. Pendekatan ini dilakukan baik untuk orang dewasa maupun anak-anak.

Sekolah Bonjing sebagai media pendidikan luar sekolah bagi para penyintas bencana di Dusun Bonjing Gelaran Bejiharjo juga menjadi bagian dari upaya trauma relief. Foto: Yudan/Karang Taruna Desa Bejiharjo.

Sebagai anggota masyarakat biasa, kita juga dapat membantu korban bencana yang memiliki masalah psikologi, terutama anggota keluarga kita yang menjadi korban bencana. Bagaimana kita membantu korban bencana? Berikut adalah di antaranya:

  • Memperhatikan kebutuhan.
  • Mendengarkan keluh kesah dan curahan isi hati.
  • Memberikan pelukan atau sentuhan yang menenangkan.
  • Membantu seseorang berada di lingkungan yang paling memiliki kedekatan dengannya.
  • Memfungsikan budaya setempat.

Peran kita untuk membantu korban bencana juga dapat dilakukan dengan cara:

  • Memberikan pemahaman mengenai apa yang telah terjadi.
  • Menciptakan suasana atau aktivitas yang menimbulkan rasa aman dan nyaman.
  • Menjaga diri kita sendiri, karena kita juga mengalami bencana dan mungkin terkena dampak stress.
  • Jangan bicara/menasihati terlalu banyak.
  • Jangan terlalu banyak menanyakan fakta, khususnya berkaitan dengan “peristiwa sangat sulit” yang dialami.

Dalam membantu korban bencana, perlu diingat hal-hal berikut ini:

  • Kita tidak mungkin mengabulkan keinginan dan kebutuhan semua orang, apalagi mengabulkan semua keinginan dan kebutuhan tiap orang.
  • Pada dasarnya, setiap orang memiliki kemampuan dan daya tahan untuk menghadapi “peristiwa sangat sulit”.
  • Hal-hal yang kita lakukan lebih bersifat membantu, bukan menyelesaikan masalah; terutama masalah psikologis.
  • Langkah terbaik adalah bersikap realistik dan tidak menjanjikan sesuatu yang tidak dapat langsung dan segera kita berikan, walaupun sesungguhnya kita ingin menyenangkannya.
  • Bila kita tidak tega/sanggup untuk berkata jujur, diam merupakan salah satu cara yang lebih baik.
  • Memberikan harapan palsu.
Panggung hiburan anak yang diadakan di lokasi pengungsian bencana banjir di Desa Pacarejo Semanu oleh Tejo Badut dkk menjadi bagian dari trauma relief bagi para penyintas bencana. khususnya anak-anak. (30/11/17). Foto: Wahyu Widayat.

 

****

Sumber: Banjir dan Upaya Penanggulangannya, Promise Indonesia (Program for Hydro – Meteorological Risk Mitigation Secondary Cities in Asia), Pusat Mitigasi Bencana ITB, Bandung, 2009.

Facebook Comments Box

Pos terkait