Tiap menempuh perjalanan dari Negeri Kahyangan (Gunungkidul) ke Jogja Lantai Satu (Yogya Kota), saya merasakan hal yang menantang. Saat itu adalah saat berkendara roda dua, mengipas dinginnya pagi. Kadang pada siang terik, berkendara dengan Panther tua membelah jalan dengan asap hitamnya. Melewati jalan panjang, 50-an km dengan penuh harapan, disertai doa semoga lancar dan selamat sampai tujuan.
Saat berhenti di lampu merah atau jalan melambat karena macet, saat menikmati iringan sesama pemotor, bagaikan semut beriringan saat mencari sasaran. Ya hampir sama, khan memang ada gula di pusat kota? Tak terasa, satu setengah jam pun dilewati dengan penuh asa.
Mungkin seperti pelayar melewati Tanjung Harapan, ujung selatan benua Afrika. Konon, pelaut Portugis dan Inggris harus melewati ombak badai, berharap lewat dengan selamat untuk menggapai mimpi. Bahwa di sana ada rempah-rempah, di Nusantara, visinya meraup pala, cengkeh, dan harta karun lainnya.
Kenapa perjalanan itu penuh harapan? Sebab ada lika-liku yang harus ditempuh sebelum impian direngkuh. Bayangkan, di antara kendaraan lalu lalang, sekarang nalar berkendaraan tidak kaku dan lurus. Ada kebiasaan-kebiasaan yang berubah: menyalip dari kiri kendaraan, tidak dengan pelan, dilakukan entah roda dua atau empat.
Perjalanan hidup memang menantang dan penuh perubahan.
Kenapa orang “rela” menempuh perjalanan bahaya menuju tempat yang jaraknya jauh dari tempat tinggalnya, ke tempat kerja?
Ah, itu sih biasa, ya golek menir, nyambung urip, dan kalimat logis-alamiah lainnya. Memang tidak sedikit yg menjadi pengusaha dan bos, namun juga melimpah yang menjual tenaga semata, “nduwene mung tenaga mas“. Tak perlu menunjuk orang lain, lha, wong, saya sendiri rela ke ibukota demi mengabdi pada tuan pemilik perusahaan otomotif nan raksasa. Menjadi operator maintenance, menjadi buruh pabrik, yang waktu itu, juga diimpikan teman-teman sebaya.
Lulusan sekolah kejuruan memang disiapkan untuk dipasarkan ketrampilannya. Atau karena kondisi yang dikonstruksi sehingga orang desa menjual seluruh alat produksi woww. Jadi, nglaju ke kota menjadi tuntutan yang sebenarnya tidak alami mengingat kondisi yg diciptakan demikian.
Namun saya membayangkan, suatu saat keadaan akan berbalik. Banyak orang Jogja Lantai 1 yang akan nglaju ke Jogja Lantai 2, Negeri Kahyangan nan menawan.
Take care always, khususnya buat saudara-saudaraku penglaju Gunungkidul – Yogya Kota.