“Singgah-singgah Durgo singgah…
Seng Seka lor balio ngalor!
Seng seka kidul balio ngidul!
Seng seka kulon balio ngulon!
Seng seka wetan balio ngetan!
Ter manter sak sido lanang!”
Deretan kata ini bukan kumpulan huruf sembarangan. Ini semacam mantra. Kalimat-kalimat ampuh ini diucapkan sebagian para leluhur orang Jawa. Setidaknya nenek moyang para penghuni Negeri Kahyangan untuk menghalau hujan. Ya, sejenis yang dilakukan Mbak Rara ketika ada acara balapan di Mandalika. Begitulah upaya manusia.
Konon, menurut cerita Mbah Endang tetanggaku, mantra itu diucapkan seorang dengan berhujan-hujan, tanpa memakai baju, memegang arit atau semacam celurit dan melempar nasi putih di atas genteng rumah. “Kaleh sekul pethak diuncalke ten gendeng!” ungkapnya.
Saya memaknai tindakan itu seperti berbicara atau ngobrol dengan alam. Ikhtiar menjinakkan langit dan mendudukkannya bak teman. Ya, baik saja.
Hujan memang kadang dihindari saat manusia punya acara. Kebetulan Jumat ini banyak yang punya acara. Hari ini adalah hari di atas rata-rata hari biasa. Boleh dibilang banyak yang punya gawe alias hajatan, termasuk Pak Wasno, tetanggaku yang rumahnya persis belakang rumah.
Memang beberapa hari ini Negeri Kahyangan mendung, jadi hujanpun layak dikuatiri karena ia berarti halangan bagi sebagian orang. Tentu saja karena airnya mengganggu aktivitas para tamu, juga para rewang yang membantu yang sedang ewuh mantu.
Dan hujan ternyata datang beneran. Tidak cukup dengan rintiknya, namun ternyata mereka bergerombol dan membentuk pasukan. Bahkan seperangkat alat bantu penghalau hujan ternyata malah kehujanan, sapu, lombok abang dan bawang putih yang tertancap di ujung lidi ternyata tak sanggup menahan desakan air yang tertumpah.
Ya, sudah… para rewangpun sangat kerepotan bak prajurit yang lama tak berperang. Kami tak menduga genangan di mana-mana. Untunglah kejadiannya tak berlangsung lama, kenyataan itu segera diterima dan tak meluruhkan keceriaan bersama.
***
Jumat ini adalah hari di atas rata-rata hari biasa. Kami berdua baru mengenang beberapa warsa yang lalu, tepatnya 13 tahun mengucap janji setia hidup berkeluarga. Janji bak mantra, “Akan setia baik dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, untung maupun malang, dalam kelimpahan maupun kekurangan…” bergema lagi.
Jumat ini adalah hari di atas rata-rata hari biasa. Kami berdua baru mengenang kemurahan Tuhan yang memberkati kami dengan kenikmatan kebahagiaan, kesabaran dalam ribut-rukun, kemampuan mendayung bahtera rumah tangga dan tentu saja Kidung, putri tercinta.
Jumat ini adalah hari di atas rata-rata hari biasa. Kami berdua baru mengenang kebaikan orangtua, saudara, teman, dan tetangga yang membantu dengan doa, dana, daya sehingga sampai detik ini kami merasa baik-baik saja. Meski ada doa yang disampaikan lewat WA kadang bikin deg-degan, “Happy aniniversary Pak Iwan Bu Iwin, semoga Kakak Kidung punya adik. Aamiin.”
Jumat ini adalah hari di atas rata-rata hari biasa. Kami berdua sedang mendendangkan lagunya Deni Caknan, “Anane mung tresna tigawelasku!” Ha, angka tiga belas? Ha, angka tujuh?
Kiranya tiga belas alias telulas bukan menjadi angka sial. Kiranya tujuh menunjukkan makna sejatinya, tujuh alias pitu yang artinya pitulungan.
****
Negeri Kahyangan, Awal Juli 2023.