Tips Mengelola Kecemasan yang Berkecamuk di Masa Pandemi

How to cope anxiety. Dok: everydayhealth.

SEPUTARGK.ID – Kecemasan, kebingungan, perasaan lelah dan frustasi menjadi permasalahan umum terjadi pada masa pandemi. Wujud kecemasan, kebingungan, rasa lelah dan frustasi paling mudah ditemui di media sosial dan kolom-kolom komentar berita daring. Di medsos, ada banyak dijumpai individu yang mengungkapkan kegalauannya kapan pandemi akan berakhir.

Melalui medsos pula terlihat, ada banyak dijumpai individu yang menumpahkan rasa cemas, bingung, marah, dan frustasi. Ada yang mengumpat, ada yang menyalahkan pemerintah. Bahkan ada yang melawan secara lantang bahwa virus Corona itu tidak ada. Ada pula yang berkeyakinan Covid itu konspirasi kepentingan global, sehingga menentang protokol kesehatan dan pengendalian pandemi yang dilakukan pihak berwenang, dan sejenisnya.

Bacaan Lainnya

Pada dasarnya, gejala psikologis yang muncul pada masa pandemi ini merupakan reaksi normal dari setiap individu. Masalahnya, reaksi tersebut akan berdampak negatif apabila berkecamuk tidak ada hentinya. Gejala psikologis tersebut apabila tidak terkelola dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, mengganggu produktivitas dan peran bermakna seorang individu dalam komunitasnya.

Desintha Vibriyanti, peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menegaskan, wabah pandemi Covid-19 yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia memiliki dampak negatif pada kesehatan fisik dan psikologis baik secara individu maupun komunal.

Pandangan Deshinta tersebut dikuatkan dengan riset yang dilakukan Banerjee, Brooke dkk, dan Zhank dkk, (2020). Brooks dkk mencatat, dampak psikologis selama pandemi di antaranya: gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder), kebingungan, kegelisahan, frustrasi, ketakutan akan infeksi, insomnia, dan merasa tidak berdaya.

Beberapa psikiatris dan psikolog juga mencatat, hampir semua jenis gangguan mental ringan hingga berat dapat terjadi dalam kondisi pandemik ini. Bahkan kasus xenofobia dan kasus bunuh diri karena ketakutan terinfeksi virus sudah mulai bermunculan. Oke, apa itu xenofobia? Xenofobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing, dalam konteks pandemi yaitu ketakutan pada warga negara asal pandemi atau di mana negara kasus pandemi yang tinggi.

Para ahli telah sepakat, bahwa kesehatan fisik dan mental saling terkait, dan harus dikelola secara seimbang. Keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental di masa pandemi juga telah menjadi perhatian pemerintah.

Menurut hasil kaji cepat Survei Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), dari sebanyak 66% responden perempuan yang sudah menikah menunjukkan bahwa gangguan psikologis yang paling banyak dialami adalah mudah cemas dan gelisah (50,6%), mudah sedih (46,9%), dan sulit berkonsentrasi (35,5%).

Kondisi ini perlu menjadi perhatian semua pihak, mengingat perempuan memegang peran yang sangat penting dalam mengelola rumah tangga. Anak-anak dan remaja pun tidak luput dari dampak kebijakan pembatasan penyebaran virus melalui sistem pembalajaran jarak jauh. Ruang gerak yang terbatas dan minimnya interaksi dengan teman sebaya selama masa pandemi dapat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa mereka.

Bagaimana Kecemasan Bisa Berkecamuk di Masa Pandemi Ini?

Pada dasarnya semua gangguan kesehatan mental diawali oleh perasaan cemas (anxiety). Menurut riset Sadock dkk (2010), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi.

Kecemasan diawali dari adanya situasi yang mengancam sebagai suatu stimulus yang berbahaya (stressor). Pada tingkatan tertentu, kecemasan dapat menjadikan seseorang lebih waspada (aware) terhadap suatu ancaman. Jika ancaman tersebut dinilai tidak membahayakan, maka seseorang tidak akan melakukan pertahanan diri (self defence).

Kecemasan yang berkecamuk pada pandemi Covid-19 ini perlu dikelola dengan baik, sehingga dapat menumbuhkan kewaspadaan (awareness), dan tidak sampai menimbulkan kepanikan yang berlebihan atau sampai pada gangguan kesehatan kejiwaan yang lebih buruk.

Seorang individu pada dasarnya akan selalu melakukan tindakan membaca situasi (evaluative situation). Pada kasus pandemi ini, setiap individu pasti menilai ancaman virus Covid19 berdasarkan sikap, pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman masa lalu yang dimiliki. Jika stressor dinilai berbahaya, maka reaksi kecemasan akan timbul. Lazarus (1991) menuliskan, reaksi kecemasan ini ada yang bersifat sesaat (state anxiety) dan ada yang bersifat permanen (trait anxiety).

Reaksi kecemasan akan berbeda pada setiap individu. Untuk sebagian orang, reaksi kecemasan tidak selalu diiringi oleh reaksi fisiologis. Namun pada orang-orang tertentu, kompleksitas respons dalam kecemasan dapat melibatkan reaksi fisiologis sesaat, seperti: detak jantung menjadi lebih cepat, berkeringat, sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal dan gejala lainnya.

Setelah seseorang mulai merasakan kecemasan, maka sistem pertahanan diri selanjutnya akan menilai kembali ancaman, diiringi dengan usaha untuk mengatasi, mengurangi atau menghilangkan perasaan terancam tersebut. Seseorang dapat menggunakan pertahanan diri (defence mechanism) dengan meningkatkan aktifitas kognisi atau motorik.

Kecemasan biasanya berasal dari persepsi terhadap peristiwa yang tidak terkendali (uncontrolled), sehingga individu akan berfokus pada tindakan yang terkendali. Dalam konteks pandemi ini, contoh tindakan yang terkendali yang dilakukan antara lain berolahraga, meditasi, melukis, bermain musik, berkebun, memasak, membaca buku, menonton film, dan lain sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut sesuai dengan ketertarikan dan kemampuan individu sebagai strategi yang tangguh dan protektif untuk mengatasi stres, kecemasan, dan panik.

Tahapan terakhir dalam menghadapi kecemasan yaitu menemukan solusi (coping) dengan bentuk pertahanan diri seperti rasionalisasi. Rasionalisasi tidak dimaksudkan agar tindakan yang tidak masuk akal dijadikan masuk akal, akan tetapi merasionalkan. Rasionalisasi tidak dimaksudkan untuk ‘membujuk’ atau memanipulasi orang lain, melainkan ‘membujuk’ dirinya sendiri agar dapat menerima keterbatasan diri sendiri.

Sebagai contoh, seorang pekerja yang pada masa pandemi ini melakukan kerja dari rumah (work from home) akan melakukan rasionalisasi bahwa memiliki kinerja yang kurang optimal. Bekerja di rumah pada masa pandemi bukan sekedar pindah ruang kerja. Rasionalisasi ini bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri, sebagai upaya menjaga kesehatan mental diri, sehingga tidak menimbulkan frustasi, rasa bersalah, dan perasaan tidak berdaya.

Pada dasarnya, mengelola kecemasan agar tetap pada tingkatan yang proporsional merupakan hasil dari proses penilaian (perception of situation) yang terjadi berulang kali. Proses penilaian dapat berubah seiring seseorang terpapar oleh informasi. Perubahan penilaian ini kemudian berdampak pada bentuk tindakan mengatasi masalah (coping).

Ayo amati kembali perilaku masyarakat pada awal masa pandemi Covid-19, tindakan membeli kebutuhan secara berlebihan atau beli panik (panic buying) merupakan salah satu contoh penilaian individu terhadap ancaman kelangkaan bahan kebutuhan pokok. Keputusan untuk beli panik ini kemungkinan dilakukan karena input informasi dari media digabung dengan pengalaman masa lalu ketika ketersediaan bahan-bahan pokok menipis pada masa krisis moneter. Namun, beli panik kemudian tidak berlangsung lama karena dianggap tidak efektif lagi.

Bagaimana Cara Praktis Mengelola Kecemasan?

Pemberitaan yang mendadak dan hampir terus-menerus mengenai pandemi akan membuat siapa pun menjadi cemas. Menilai tingkat bahaya akan Covid-19 melalui penyeleksian informasi yang diterima dan kebijakan menjadi kunci mengelola kecemasan. Informasi dan kebijakan dapat mempengaruhi penilaian seseorang terhadap ancaman (Covid-19) dan kemudian mempengaruhi respons kecemasan yang ditimbulkan.

Beberapa tips praktis berikut dapat dilakukan untuk mengelola kecemasan:

  1. Mengurangi menonton, membaca atau mendengarkan berita yang membuat kecemasan meningkat.
  2. Carilah informasi dari sumber-sumber terpercaya dan utamakan membuat rencana praktis melindungi diri dan orang-orang terdekat. Usahakan mencari berita hanya 1-2 kali dalam satu hari dan pada waktu yang spesifik.
  3. Banyaknya terpapar misinfodemik mengakibatkan kesalahan dalam strategi coping yang diambil. Misinfodemik adalah istilah yang digunakan untuk misinformasi yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan cukup lazim untuk Covid-19.
  4. Mencari informasi terkait menjaga kesehatan mental pada masa pandemi melalui berbagai sumber online juga suatu langkah yang positif. Pilihlah situs jaringan kesehatan mental yang valid dan terpercaya seperti: Kementerian Kesehatan, WHO, biro konsultasi psikologi, psikiater, atau sumber-sumber yang bersifat keagamaan/religius yang kredibel.

Catatan Penting

Kecemasan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari ketika berada pada kondisi penuh tekanan, seperti masa pandemi ini. Salah kunci penting mengelola kecemasan adalah pada penyeleksian informasi yang diterima dalam kurun waktu tertentu. Informasi terseleksi itu sebaiknya berasal dari sumber terpercaya dan memiliki kredibilitas di bidangnya.

Jika mulai merasa memiliki gejala gangguan mental ringan, langkah awal adalah minta pertolongan pada lingkungan terdekat yang dipercaya. Bisa ke pasangan, orangtua, kakak, sahabat, tokoh masyarakat, tokoh spiritual/agama. Meminta bantuan kepada profesional di bidang kesehatan mental (psikolog, psikiater, Puskesmas, rumah sakit) juga dapat dilakukan bilamana perlu intervensi medis dan psikis.

***

Referensi: Kesehatan Mental Masyarakat: Mengelola Kecemasan di Tengah Pandemi Covid-19, Deshinta Vibriyanti, Pusat Penelitian Kependudukan, LIPI, Jurnal Kependudukan Indonesia, Edisi Khusus Demografi dan COVID-19, Juli 2020.

Facebook Comments Box

Pos terkait