Sayur Lodeh : Antara Cerita, Mitos dan Sejarah Bagi Keraton Yogyakarta Sebagai Sarana Penghalau Wabah

mashudi
Pemerhati budaya, Mashudi. (KH/ Edi Padmo)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Sayur lodeh, adalah jenis makanan yang tidak asing bagi masyarakat Yogyakarta, apalagi bagi warga Gunungkidul. Sayur lodeh terdiri dari 7 macam bahan, yaitu Melinjo, Daun Melinjo, Labu siam/Waluh, Kluwih/Nangka, Kacang Panjang, Terong, dan Tempe. Ke tujuh bahan ini memang sangat mudah didapatkan di wilayah pedesaan. Semua bahan dimasak dengan cara dicampur menjadi satu, dimasukkan dalam kuah santan yang tidak begitu kental dengan rasa yang agak pedas.

Proses memasak Sayur lodeh, tergolong sangat sederhana dan apa adanya. Bahkan saking sederhananya, warga pedesaan Gunungkkdul sering menyebut Sayur lodeh sebagai “jangan rusuh” (sayur rusuh), dalam arti, bahan dan proses memasaknya memang kelihatan asal, “waton gebrus“(asal memasukkan).

Bacaan Lainnya

Dengan segala kesederhanaan sayur lodeh ini, timbul beberapa pertanyaan, karena, dalam catatan sejarah berulangkali Keraton Yogyakarta menjadikannya alternatif sajian/ritual yang dititahkan Sultan Yogyakarta agar masyarakat memasak Sayur lodeh, sebagai sarana penghalau bencana atau wabah penyakit yang sedang melanda.

Ditengah Pandemi Covid19 yang tak kunjung usai, bahasan tentang Sayur Lodeh sebagai penangkal wabah menjadi sangat menarik. Walau memang situasi dan kondisi jaman dulu dan sekarang memang secara kontekstual berbeda. Akan tetapi, ada beberapa persamaan keadaan, dan korelasi kesamaan kejadian saat Yogyakarta pernah dilanda wabah.

Tercatat pada tahun 1931 ketika wabah penyakit Pes dan Kolera menyerang Yogyakarta, pada waktu itu, Sultan Hamengkubowono VIII, memerintahkan rakyatnya untuk memasak Sayur lodeh, dan berdiam diri di rumah masing-masing (kalau bahasa sekarang Isolasi mandiri), selama 49 hari, dan akhirnya wabah bisa berakhir.

Melansir dari berbagai sumber, cerita sejarah Sayur lodeh sebagai syarat/nyarati agar wabah penyakit atau krisis yang melanda masyarakat bisa  segera mereda, memang pernah beberapa kali dilakukan oleh Keraton Yogyakarta, diantaranya adalah tahun 1876, 1892, 1931, 1946, 1948, dan 1951. Bahkan di medio tahun 1990an, saat gunung Merapi Erupsi dahsyat, Sultan Yogyakarta juga menitahkan rakyatnya untuk memasak sayur lodeh sebagai syarat permohonan untuk keselamatan seluruh rakyat Yogyakarta.

Menilik sejarah lebih jauh, beberapa ahli memperkirakan, asal usul sayur lodeh ini sudah mulai menjadi tradisi masyarakat Jawa, khususnya pada kejayaan peradaban Jawa Tengah sekitar abad ke 10, dimana di tahun 1006 terjadi letusan dahsyat Gunung Merapi.

Pada masa bencana besar inilah Sayur Lodeh diyakini membantu masyarakat bertahan untuk makan dan hidup melewati masa masa sulit. Kesederhanaan bahan dan cara memasak Sayur Lodeh adalah bentuk keistimewaan tersendiri yang menjadi pilihan masyarakat untuk hidangan makan sehari hari.

Dalam perkembangan selanjutnya, Sayur Lodeh memang akhirnya me-Nusantara, mengalami banyak variasi dan evolusi jenis bahan dan rasa, dengan menyesuaikan selera lidah sesuai daerah masing-masing.

Kembali ke bahasan awal, tentang korelasi Sayur lodeh dan ritual “nyarati” titah dari Sultan untuk masyarakat Yogyakarta dalam menghalau wabah atau Pandemi yang melanda.

Dalam buku karya sejarawan Australia, MC Ricklefs, yang berjudul “Mengislamkan Jawa”, banyak ditulis tentang tradisi Keraton Yogyakarta dalam menghadapi krisis, bencana atau wabah penyakit yang melanda.

Dalam buku ini, MC Ricklefs menyebut juga tentang Sultan Yogyakarta yang menitahkan rakyatnya untuk memasak Sayur Lodeh sebagai salah satu syarat sebelum upacara mengarak pusaka Keraton yang berujud bendera yang diyakini terbuat dari bagian Kiswah (penutup) dinding Ka’bah yang bernama Kanjeng Kyai Tunggul Wulung dan tombak Kanjeng Kyai Slamet, sebagai ritual tolak bala, atau menyingkirkan wabah penyakit Pes yang sedang melanda wilayah Kotagede ditahun 1932.

Dalam bukunya ini, MC Riklefs juga banyak menulis, tentang kentalnya kepercayaan masyarakat luas terhadap sisi magis dari  Keraton Yogyakarta, dan segala pusaka yang dimiliki oleh Keraton, termasuk pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung dan Tombak Kanjeng Kyai Slamet sebagai penangkal wabah.

Sayur Lodeh disebut diatas menjadi salah satu syarat yang dititahkan Sultan untuk mengawali ritual pengarakan pusaka Keraton. Walau memang tidak selalu titah untuk memasak lodeh ini diteruskan dengan ritual pengarakan pusaka.

Melansir dari tulisan Scot Anthony di kanal BBC Travel, menyebut bahwa secara Linguistik dan Numerologis, tujuh bahan utama Sayur lodeh ini memiliki tujuh makna simbolis yang bisa diartikan dari suku katanya. Scot Anthony juga mengutip pernyataan dari Anthropolog Clifford Geertz bahwa tradisi memasak Sayur lodeh secara bersama-sama seluruh rakyat Keraton Yogyakarta adalah salah satu bentuk “Slametan”,  bentuk ritual komunal masyarakat Jawa. Ritual Komunal ini juga disebut Clifford Geertz sebagai salah satu ciri pokok dari sosial dan budaya masyarakat Jawa.

Salah satu ciri khas dari ritual “slametan” ini, menurut Geertz adalah bisa dilihat dari nilai kepasrahannya. Sayur lodeh dibuat dengan sederhana, apa adanya tanpa banyak harapan, apakah berhasil atau tidak dalam menolak bala atau wabah. Nilai kepasrahan kepada yang Maha Kuasa atau serah diri inilah yang menjadi inti dari “slametan”.

Mashudi (41), seorang pemerhati budaya, saat berbincang, lebih mengartikan esensi dari tradisi Sayur lodeh dari sisi Linguistiknya. Mashudi menyebut bahan Sayur lodeh yang berjumlah 7 jenis atau rupa ini merujuk pada angka “pitu” yang bisa diartikan sebagai “pitulungan” atau permohonan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa.

“Kesadaran diri manusia harus kembali ke jati yang sejati, artinya hubungan manusia, semesta dan Tuhan harus benar-benar kita wujudkan sesuai ketepatan nilai. Maka sebagai orang Jawa kita simbolikkan dengan berbagai jenis bahan Sayur Lodeh tersebut,” terang pria berambut gondrong yang akrab disapa Hudi ini.

Hudi melanjutkan, tradisi ini pada  intinya memohon pertolongan kepada Tuhan Sang Akarya Jagat, dengan memakai pranatan serba tujuh atau Pitu yang dimaksud minta pitulungan atau minta pertolongan kepada Tuhan.

Lebih lanjut Hudi menyatakan 7 bahan dalam Sayur Lodeh ini menurutnya bisa diartikan dengan pendekatan “kerata basa”, atau “Jarwa Dhosok”(negesi tembung sarana mirid swara wandhane) atau mengartikan kata berdasar suku kata.

“Bahan Nangka/Kluwih bisa dimaknai agar kita “ngluwihi” atau melebihkan perhatian kita pada keluarga, mengurusi keluarga sesuai dengan kemampuan dan kewajiban kita, Kacang panjang (kacang dowo), artinya “cancangen awakmu aja lungo lungo disik“, dalam masa Pandemi ini, kita harus menahan diri untuk jangan ke mana mana sementara waktu,” terang Hudi.

Hudi melanjutkan, bahan sayur Terong bisa diartikan “Terusna anggonmu ngibadah marang Gusti, aja mung datnyeng (teruskan ketaatanmu kepada Tuhan, jangan hanya pas butuh saja), untuk kulit Melinjo bisa diartikan bahwa kejadian apapun pasti ada maksut dari Tuhan.

Ojo mung ngerti njobone, ning kudu ngerti njerone (semua jangan dilihat hanya dari kulitnya, tapi harus mencari tahu isinya/maksudnya, jangan hanya tau luarnya, tapi perlu belajar untuk memahami kedalamannya, termasuk bab pandemi atau Pagebluk ini,”

“Labu/Waluh, (uwalono ilangana anggone ngeluh), jangan mudah mengeluh, artinya kita harus sabar menghadapi keadaan sekarang ini,” imbuh Hudi lagi.

Daun So/Godong So, Hudi mengartikan sebagai golong gilig pada kumpula wong kang sholeh lan sugeh kaweruh (Berkumpulah dengan orang-orang alim dan pintar), sementara Tempe diartikan seng tememen anggone dedepe mring Gusti (Yang serius jika memang benar benar ingin mendekat kepada Tuhan).

Panjang lebar Hudi menerangkan tentang arti “kerata basa” dari 7 bahan Sayur Lodeh ini. Pada intinya, Hudi menyimpulkan bahwa 7 bahan Sayur lodeh ini sangat familiar dan mudah didapatkan di wilayah pedesaan, yang berarti bahwa Sayur lodeh adalah lambang kesederhanaan rakyat desa, yang dengan kepolosan dan kepasrahannya adalah wujud tertinggi dari sebuah kepatuhan, kepatuhan terhadap pimpinan/raja dan kepasrahan terhadap kehendak yang Maha Kuasa.

“Orang Jawa selalu percaya bahwa kejadian alam, baik berupa bencana atau wabah yang melanda adalah sebuah siklus kehidupan yang harus dilalui, dan setelah ikhtiar semampunya sebagai makhluk, maka sikap  terakhir adalah pasrah diri kepada kehendak Yang Maha Kuasa,” pungkas Hudi. (Edi Padmo)

Facebook Comments Box

Pos terkait