Mengendalikan Kemarahan pada Masa Pandemi Covid-19

Prabu Baladewa sering digambarkan sebagai sosok yang pemarah. Dok: pinterest.

Marah atau kemarahan menjadi reaksi emosi yang paling umum dijumpai saat menghadapi kondisi darurat pandemi Covid-19. Beberapa contoh reaksi marah yang umum terjadi pada saat ini misalnya: marah pada pemerintah, marah saat ditegur melanggar PSBB, marah pada warga yang melanggar aturan, marah pada pasangan, marah pada anak, marah pada orang tua, marah pada boss/atasan, marah pada pasien yg berbohong, dan bahkan marah pada Tuhan.

Menurut Lahargo Kembaren, psikiater RS Marzoeki Mahdi Bogor, salah satu reaksi emosi yang bisa terjadi saat situasi krisis seperti saat ini adalah MARAH. Secara normal, marah sesungguhnya tidak diharapkan siapapun.

Bacaan Lainnya

Menyitir pandangan Kubler Ross, Lahargo menerangkan, kondisi krisis seperti Covid-19 ini dapat memunculkan berbagai reaksi emosi saat keadaan TIDAK NORMAL dalam 5 tahapan berikut:

  1. Shock and denial (kaget dan penolakan)
  2. Anger (marah)
  3. Depression (depresi)
  4. Bargaining (menimbang)
  5. Acceptence (menerima).

Lahargo menerangkan, sebenarnya dibalik emosi dan perilaku marah ada penyebab yang mendasarinya, antara lain adalah: sedih, rasa kecewa, frustasi, perasaan tidak aman dan nyaman, penolakan, rasa takut, cemburu/iri, perlakuan tidak adil, perasaan terganggu, perasaan terkurung, ketidakpastian, kesepian, dan lain-lainnya.

Tentang kemarahan, pemikir besar Aristoteles mengingatkan, siapa saja bisa marah, itu mudah, tetapi marah pada orang yang tepat dan pada tingkat yang tepat dan pada waktu yang tepat dan untuk tujuan yang benar, dan dengan cara yang benar, itu tidak mudah dan tidak semua orang dapat melakukannya.

Secara medis, reaksi marah ternyata berkaitan erat dengan proses di dalam otak manusia. Lahargo menerangkan, semua perasaan itu akan mengaktifkan Amigdala, bagian otak yg mengontrol emosi. Selanjutnya, terjadi proses aksi-reaksi di dalam sistem otak sebagai berikut: Amigdala –> Hipotalamus –> Pituitary Gland (hipofisis) –> Adrenal Gland –> selanjutnya memicu produksi Hormon Stres sebagai berikut: Cortisol, Adrenaline,  Noradrenaline.

Peningkatan hormon stres Cortisol menyebabkan banyak sel saraf yang mati terutama di bagian Prefrontal Cortex dan Hipokampus. Prefrontal Cortex (PFC), bagian otak ini penting bagi seseorang dalam membuat suatu keputusan yg baik dan perencanaan tindakan. Gangguan pada area otak ini menyebabkan orang yang marah sering membuat keputusan buruk yang kemudian disesalinya. Sedangkan Hipokampus, bagian otak yang mengatur memori. Ini menyebabkan orang yang marah tidak ingat apa yang diucapkan dan dilakukannya.

Peningkatan hormon stres Cortisol akan mengurangi hormon serotonin dalam otak. Hormon serotonin adalah hormon yang membuat seseorang bahagia. Penurunan hormon serotonin ini akan menyebabkan seseorang menjadi lebih mudah marah, sensitif, galau, baper, dan bisa berujung pada tindakan agresi atau perilaku kekerasan. Tidak jarang yang kemudian juga menjadi depresi.

Dampak kemarahan tidak bisa dianggap sepele. Hormon stres yang meningkat karena marah tadi pun bisa mempengaruhi berbagai sistem organ di dalam tubuh, seperti: sistem kardiovaskuler, sistem imun, tekanan bola mata, densitas tulang, dan sistem pencernaan tubuh.

Dampak emosi marah pada sistem kardiovaskuler berupa: tekanan darah dan denyut jantung meningkat, glukosa darah meningkat. Apabila marah tersebut berlangsung lama dan terus menerus maka gangguan pada sistem kardiovaskuler ini dapat menyebakan stroke dan serangan jantung.

Dampak emosi marah pada sistem imun akan menurun sehingga menyebabkan orang sering marah mudah terkena penyakit. Emosi marah berdampak pada tekanan pada bola mata meningkat sehingga orang yg marah sering merasa migrain atau sakit kepala.  Marah juga menyebabkan densitas tulang menurun, dan sistem pencernaan terganggu.

Lahargo menambahkan, ketika sedang MARAH, segera lakukan ‘Anger Management’ agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan. Langkah manajemen marah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Kenali ‘triggers’ yang memicu marah dan menghindarinya.
  • TIME OUT, tinggalkan segera situasi, keadaan, tempat saat marah terjadi, tenangkan diri sampai terjadi ‘cooling down’
  • Tarik nafas dalam beberapa kali, untuk memberi kesempatan saraf otak mendapatkan oksigen sehingga lebih rileks.
  • DISTRACT, alihkan dengan melakukan kegiatan yang menggunakan energi seperti berolahraga, bermain musik, membersihkan, jalan, dll.
  • Berbicara dengan orang yang mau mendengarkan dengan baik supaya terjadi ventilasi.
  • Cari hal hal yang menggembirakan, lucu dan menyenangkan, seperti menonton film, dengar musik yang easy listening, ngobrol dengan teman
  • Konseling, konsultasikan ke profesional bila sulit mengatasi marah karena ada intervensi khusus yang bisa diberikan.

Tujuan akhir dari manajemen marah bukanlah untuk menghilangkan marah, tapi untuk memahami amarah yang muncul dan memilih cara yang sehat untuk meresponnya. Marah yang terlalu hebat dan terus menerus berulang jelas akan sangat mengganggu. Karena itu, ‘Anger Management’ (manajemen marah) untuk dapat mengontrol marah agar tidak terjadi hal yang merugikan.

Apabila diperlukan, berkonsultasi pada profesional kesehatan jiwa seperti psikiater, perawat jiwa, psikolog, dokter umum terlatih akan mempercepat proses pemulihan marah yang terlalu berlebihan. Berkonsultasi pada profesional bukanlah sesuatu yang memalukan, tetapi langkah tepat untuk pemulihan.

Petuah kuno pun menyatakan, “apabila marah, jangan biarkan matahari terbenam sebelum padam amarahmu.”

***

Facebook Comments Box

Pos terkait