Ben Siti

Topeng Wanita, Pathuk. [Swara/WG]
Topeng Wanita, Pathuk. [Swara/WG]

Si Samija weruh pelem pirang-pirang,
banget nggone kepingin,
ngajak kancanira,
Si Kuncung melu uga,
Samija menek mak plinthik,
epange sempal,
Samija tibeng siti.
[Tembang Durma]

Ben Siti: biar Si Siti saja yang selalu dengan jujur-murni mencitrakan imej suatu wilayah (place-branding); begini pemelesetan saya pada konsep brand-city. Siti itu bumi. Siti natural, tentu. Lha wong ‘city’, rak ya berarti tanah (saya termasuk penganut aliran-ilmu yang metode ‘ilmiah’nya othak-athik gathuk; dan gathuk adalah harapan yang selalu dicoba diwujudkan oleh yang namanya hipotesa, atau metodologi), bersifat perempuan. Meskipun kalau manut wong Kulonan Gunungkidul itu belum masuk kategori city; paling-paling small-town. Dan kalau yang mencitrakan sebuah siti adalah yang tinggal dan hidup di atasnya (di suatu wilayah yang disebut siti), serta butuh makan banyak, yaitu yang berkepentingan ‘membesarkan’ perutnya sendiri (dalam waktu bersamaan menyembunyikan maksud: memenuhi kebutuhan hidup) dari membanjirnya uang di wilayah yang disebut siti itu (keluarga manusia), ya, saya agak ragu, ini suatu kondisi natural atau nggak.

Bacaan Lainnya

Mungkin sesuai nama-dirinya, branding, adalah pencitraan (mungkin ini, kalau orang ‘kampus’ bilang: imagologi: dunia membutuhkan media untuk mencitra, mengimej). Terus piye, cara membedakan mana yang citra yang mendekati natural dan mana yang menjauh dari natural, melulu-pencitraan?

Wah, susah, angel nan. Selembut menghayati kecantikan alam, serta menelusuri ketinggian, keluasan, kerimbunan, dan kedalamannya. Apalagi kecantikan alam ibarat kecantikan perempuan. Eh, tapi, anehnya, kehadiran perempuan, di dunia yang katanya serba imej ini, sebagai piranti-pokok (karena saya tak mengatakan: organ pokok) untuk mendukung brand suatu produk. Perempuan, dalam kapasitasnya sebagai ‘penjaja, penawar, penjual’ (SPG) misalnya, berada pada posisi ambivalen antara: 1) perempuan yang menawarkan citra (imej) suatu barang yang identik dengan keelokan dan kemurnian sang penjaja, agar konsumen bersatu [gathuk] dengan barang atau citra-barang, dan 2) para konsumen ingin gathuk (bersatu) dengan ‘penjaja’ barang yang ditawarkan, yaitu Si Perempuan atau citra sang perempuan, bukan dengan barang yang dicitrakan (perilaku konsumsi merupakan perlambangan manusia [laki-laki] yang ingin menyetubuhi suatu barang yang ditawarkan).

Lha istilah dan kenyataannya saja sudah terlanjur pem-branding-an barang/produk ‘menggunakan’ perempuan. Mau gimana lagi.

Brand-city (yang lebih dulu digunakan sebagai pe-merk-an produk tas, sepatu, dsb. yang dekat dengan tipologi perempuan), yang saya tulis di judul dengan Ben Siti, merupakan citra (atau citra yang dengan sadar dimunculkan [city-branding]) yang dimiliki oleh suatu wilayah yang dikategorikan sebagai kota. Kota dalam hal ini adalah ibu kota negara, provinsi, kabupaten, bahkan kecamatan, atau desa. Pada level tertentu desa atau dusun juga mencitrakan dirinya dengan ‘desa-budaya’, atau ‘desa-sentra-kerajinan’, ‘desa-wisata-religi’, geo-park, misalnya, bertujuan untuk menambahkan dan menaikkan sebentuk ‘nilai-tawar’ dalam hubungannya dengan wilayah lain (yang di atasnya juga hidup keluarga manusia). Nilai tawar, dalam konteks Gunungkidul, ya segala hal yang bisa meningkatkan ‘nilai-tambah’ berupa pendapatan (kapital, uang) bagi Gunungkidul.  Harapan tentang spirit nilai-tambah ini tertuang dalam semboyan handayani.

'Brand-city' Gunungkidul yang diwujudkan sebuah bangunan; di batas kabupaten sisi utara: Ngawen; Ngawen adalah pintu keluar-masuk ke dan dari Gunungkidul semenjak Kecamatan Ngawen belum bergabung dengan Kabupaten Gunungkidul; semacam pintu keluar-masuk politik-aliran Surakartan. [Swara/WG]
Logo Brand-City Gunungkidul yang diwujudkan sebuah bangunan; di batas kabupaten sisi utara: Ngawen; Ngawen adalah pintu keluar-masuk ke dan dari Gunungkidul semenjak Kecamatan Ngawen belum bergabung dengan Kabupaten Gunungkidul; semacam pintu keluar-masuk politik-aliran Surakartan. [Swara/WG]
Membicarakan brand-brand-an atau branding-branding-an tentu tak bisa lepas dari omongan bab ‘pasar’ (dan dalam hal ini yang dibrand-imejkan adalah city; kota; bukan desa atau wilayah di luar desa; yang membrandkan adalah pihak-pihak yang memonopoli brand dunia di berbagai bidang keilmuan; seperti peng-hakkekayaanintelektual-an dan pematenan). Dalam pasar: ada penjual, ada pembeli. Yang sedang trend di pasar yang lebih besar apa, pasar yang kewilayahannya lebih kecil mengikuti. Hukum permintaan. City itu anaknya rural, pedesaan. Pedesaan keturunan hutan, kali, goa, gunung, dan laut. Kekuatan dan kekuasaan sumber daya kota (kebanyakan; meskipun ada kota yang ada dari rintisan kota-awal) takkan mampu (untuk menggantikan: kota mengadopsi, memakai, menggunakan, dengan habis-habisan sumber daya pedesaan dan wilayah di luar pedesaan) melahirkan suatu brand, atau melakukan kerja branding, tanpa kekuatan yang sejak awal dimiliki desa dan di luarnya itu (negara tanpa wilayah ini tak memiliki daya). Dengan lain kata, desa beserta hutan, kali, goa, dst. menguatkan (handayani) kota (city) melalui nilai-nilai yang telah lekat dimilikinya sejak kuno (siti, tanah-tumpah-rah), lantas didaku oleh kota (city), diwujudkan brand-brand-an, kemudian diupayakan sebagai branding-branding-an, tadi.

Ada ‘penyempitan-maksud’ (untuk menyembunyikan motif: hegemoni global kepada yang lokal; menggunakan istilah-istilah global-village misalnya) dari pembrandingan wilayah yang lebih luas (wilayah di luar kategori desa; wilayah desa; wilayah kota) menjadi pembrandingan hanya kota. Sebenarnya sah saja, toh kota merupakan sub bagian sebuah wilayah. Namun dibalik kategori tentu bersemayam pemikiran-dalam yang tak mesti dimiliki oleh masing-masing kategori.

Pemikiran-dalam (filsafat, filosofi, kesadaran) Gunungkidul diterjemahkan ke dalam bentuk logo city-branding. Namanya juga baru ngepop (seperti K-Pop, juga Pokemon), meski telah memiliki logo kabupaten, Gunungkidul (biar sejajar-akseleratif dengan wilayah lain, wilayah-wlayah yang ingin disebut global) juga ikut serta dalam perayaan ini. Sebuah logo, yaitu wali atas pemikiran-dalam, adalah simbol presentasi diri, pandangan-dunia, berbentuk kombinasi simbol ‘suci’, aksara (tulisan), warna, atau gambar. Logo adalah simbol. Simbol keaksaraan, pengetahuan (logos). Melalui sayembara, logo city-branding Gunungkidul (pemikiran-nilai-terdalam Gunungkidul yang dirembug, disimpulkan, oleh tim cendekia nan bijaksana) dilahirkan. Kesadaran bahwa masyarakat Gunungkidul adalah masyarakat pekerja keras disertakan, dalam balutan warna coklat. Handayani, semboyan Gunungkidul sejak era Presiden Suharto, dituliskan sebagai taqline berwarna hijau: Gunungkidul yang tumbuh. Sementara itu ambigram (dari namanya saja sudah berkonotasi: ambigu, ambivalen) aksara /g/ dan /k/ merupakan perlambangan dinamika, harmoni, yaitu semangat yin-yang sebagai terjemahan empan-papan, sekaligus perlambangan walang; Gunungkidul sebagai wilayah walang (walang place-branding).

Paling tidak itu makna city-branding Gunungkidul yang sekarang; katanya.

Di perbatasan Ngawen dan Pathuk logo city-branding Gunungkidul disatukan dengan simbol lain; dibentuk lah bangunan ‘gerbang’ Gunungkidul. Pas di pintu. Ada simbol caping di sana; caping gunung. Juga sebentuk topeng Panji. Mencitrakan Gunungkidul dengan caping dan Panji sah-sah saja, selama kedirian Gunungkidul memang dilandasi dua semangat ini. Yang tak bisa dipungkiri bahwa semangat caping memang mendasari logos masyarakat Gunungkidul. Panji, sebagai citra pahlawan, pun mendasari lahirnya berbagai macam budaya di Gunungkidul, dari topeng, reyog, tari, kethoprak, nama wilayah, dll.

Namun, menurut wawasan ndesa saya, bentuk-bentuk seperti branding, pencitraan, pelogoan, atau peng-imej-an sebuah kota (dan Gunungkidul belum kategori kota, ta?) dan seterusnya, dengan logo dan pemikiran-pemikiran itu, akan secanggih bagaimanapun, takkan mampu dengan sungguh mewakilkan apa yang secara natural menjadi keakuan wilayah Gunungkidul (siti, tanah) beserta pemikiran tentang dunianya (logos), apalagi sebagai ganti turunannya yang tampak begitu sempit yang disebut sebagai kota (city) itu. Kepanjangan dari konsep city Global. Bahkan jika melulu untuk mengeruk nilai tambah (kapital) sebesar-besarnya, tanpa memberdayakan manusia beserta alam lingkungannya sebagai simbolisasi kesatuan harmonis seperti yang dimaksudkan oleh landasan filosofis logo city-branding Gunungkidul, berarti tak mewakili spirit siti/lemah Gunungkidul yang sesungguhnya.

Sementara itu Gunungkidul, di bawah payung pemikiran: sebagai sebuah ‘produk’, begitu gencar dipromosikan dan dipasarkan. Targetnya: pasar. Nasional. Global. Sebuah jual-beli (untuk tak mengatakan komunikasi budaya; alih-alih studi). Katanya, bertambahnya nilai (kapital) bisa handayani. Berdikari. Padahal, sulit untuk uwal dari telikung ‘pasar bebas’. Sejengkal tanah yang ‘bebas’ (siapa yang bermodal bisa memiliki), bukan bumi yang mardika (tak bisa didaku oleh nafsu manusia).

Ya wis, tak apa. Memang branding berhubungan dengan pangan; sumber makanan (paling-paling kalau saya punya modal, beberapa wilayah di Gunungkidul bahkan saya-beli, kemudian saya branding biar laku banter, akhirnya membuat saya berlimpah sumber pangan). Yang membuat dan menyetir konsep branding pun butuh makan. Asal kita, wong Gunungkidul, sedikit wae lah, memiliki kesadaran bahwa beberapa bagian dari ini (branding-branding-an: wilayah, kota, desa, promosi, pemasaran), di beberapa bagiannya, merujuk sabda orang-orang pinter, kadang hanyalah simulasi. Simulakrum. Tak selalu branding ilmu-pengetahuan, kearifan, atau kebijaksanaan manusia dan alam Gunungkidul. Yang tenanan. Yang berimbas: bisa makan.

'Brand-city' Gunungkidul yang diwujudkan sebuah bangunan; di batas kabupaten sisi barat: Pathuk; Pathuk adalah pintu keluar-masuk ke dan dari Gunungkidul yang di jaman Kolonial memiliki kebun teh; semacam pintu keluar-masuk politik-aliran Ngayogyakartan dalam arti luas sedari dulu hingga kini.. [Swara/WG]
‘Brand-city’ Gunungkidul yang diwujudkan sebuah bangunan; di batas kabupaten sisi barat: Pathuk; Pathuk adalah pintu keluar-masuk ke dan dari Gunungkidul yang di jaman Kolonial memiliki kebun teh; semacam pintu keluar-masuk politik-aliran Ngayogyakartan dalam arti luas sedari dulu hingga kini.[Swara/WG]

Memang, di dalamnya (logo city-branding itu) telah ada penggalian spirit siti-sitian (ben siti): pencarian citra kewilayahan Gunungkidul yang amat Siti (natural, murni, perempuan, hijau, dst.). Biar cantiknya dikenal. Agar hayunya terkenal. Biar orang-orang bisa menek Gunungkidul dengan mak plinthik: naik pendapatannya. Naik kelasnya. Saking subur lebat ‘buah’nya. Namun sering juga kita, akhir-akhir ini, hanya menempelkan begitu saja sebuah merk, cap, citra; menjepret atau merangkainya menjadi sebuah imej, tentang Gunungkidul kekinian (karena nafsu manusia adalah sangat ‘laki-laki’) yang dicantik-molekkan, sampai banyak di antara kita yang nggliyer karena terlalu tajam/norak bau parfumnya, akibat dari citra anu-nya (make-up, dempulan, operasi-plastik Gunungkidul) yang kemajon itu.

Yang bisa menjadikan ‘kelaki-lakian’ kita tibeng-siti; tertelungkup di tanah.

Bukan pembrandingan Gunungkidul sebagai seorang perempuan suci  yang berpengetahuan, nglembah-manah, lembut, dan bercitra-natural. Tak lain pencitraan Gunungkidul yang (semoga) mendekati bener dan pener.

Terus yang mana sebenarnya? Mungkin tiada.

[…]

Facebook Comments Box

Pos terkait