Surat Terbuka untuk Pulung Gantung

Salam nikmat hujan,

Bacaan Lainnya

Sepertinya kita memang belum pernah berkenalan. Lebih tepatnya kamu belum pernah memperkenalkan dirimu padaku. Tetapi seingatku aku berkali-kali memanggil dan menyebut namamu. Memanggil dan menyebut namamu, seperti aku menyebut nama teman-teman sepermainanku di masa kanak-kanak dulu. Mengundang dan memanggil namamu, seperti aku memanggil nama-nama teman dewasaku untuk sekedar wedangan.

Aku hanya ingin berkenalan. Di mana selanjutkan aku berharap kita bisa saling bertukar rasa, seperti bagaimana aku bertukar rasa dengan teman-teman diskusiku di setiap angkringan yang ada di Gunungkidul.

Tetapi baiklah untuk kesekian kalinya aku perkenalkan diriku padamu. Singkat saja!

Aku adalah anak yang terlahir di Gunungkidul, tumbuh dan besar di bumi yang pada waktu lalu dikenal gersang kekeringan karena kurang air. Aku makan dan minum dari apa yang ada di Gunungkidul. Ketela, thiwul, gatot, nasi aking, sego jagung, beras pari gogo, daun tali kacu, daun sembukan, sambel bawang. Dan minum dari air sumur berkedalaman 22 meter, hasil dari menimba berjam-jam yang ditampung di genthong tanah liat, entah buatan siapa dan darimana. Seingatku genthong itu sudah ada dan masih ada sampai sekarang.

Dulu kami jarang sekali memasak air, air panas hanya dibutuhkan keluargaku untuk membuat teh atau kopi saja. Kebutuhan air minum dingin cukup kami tenggak dari siwur yang terbuat dari tempurung buah kelapa. Dingin, segar dan mampu memporak-porandakan dahaga dikala panas kemarau menguasai musimnya. Gunungkidul adalah tanah dimana pendahuluku terlahir dan sebagian besar meninggal dan dimakamkan.
Cukup ya?!

Nah, ada yang pernah bertanya kepadaku “Pernahkan kamu melihat Pulung Gantung?”.

Jika Pulung Gantung yang dimaksud adalah bola api terbang, maka aku pernah melihatmu. Lewat tepat di atas atap rumah limasan reot milik simbok dan ramakku di masa kecil dulu. Aku lupa umur berapa. Malam waktu itu, aku berjalan digandeng simbokku melewati lurung-lurung desa dari mengunjungi saudara. Tiba-tiba simbokku menarik dan berkata “Lihat apa itu?”.

Tidak kutemukan ketakjuban simbokku melihat bola api aneh yang terbang dari arah timur ke barat itu. Seingatku bola api terbang itu tidak membuat lokasi sekitar menjadi terang benderang. Tetap gelap gulita. Simbok jongkok mendekapku dan berdoa dalam bahasa jawa “Nyuwun slamet Gusti”. Hanya itu yang ku ingat. Apakah itu kamu? Sekali itu saja.

Sekarang hampir setiap saat di kampungku namamu begitu dikenal. Namun hanya sedikit saja yang mengatakan pernah melihatmu. Jika bola api itu kamu, aku beruntung pernah melihatmu. Kamu bagaikan artis film atau sinetron di tivi-tivi. Kamu selalu menjadi buah bibir hampir di setiap acara jagongan. Tetapi tetap saja mereka tak pernah melihatmu.

Kini aku sudah dewasa, dan beberapa tahun terakhir ini namamu menjadi perbincangan di dunia maya dan dunia nyata. Jika kamu juga menggunakan internet, cari saja di google namamu “Pulung Gantung”, maka jutaan bahkan mungkin milyaran kali namamu ditulis, disebut-sebut.

Tapi di manakah kamu sekarang? Apakah kamu tinggal di bukit-bukit berbatu itu? Apakah kamu menempati goa-goa yang tersebar hampir di setiap sudutnya? Ada berapakah kamu? Sulit rasanya aku bisa menemuimu dan sekedar bercakap-cakap sebentar saja.

Oya, jangan ge er ya. Semua orang Gunungkidul menyebutmu bukan karena prestasi baikmu. Bukan karena prestasimu membantu Gunungkidul menjadi tujuan pariwisata fenomenal, juga bukan prestasimu membantu saudara-saudaraku menjadi orang-orang penting di negara ini. Mereka menyebutmu sebagai penyebab saudara-saudaraku mati gantung diri. Iya! Kamu dituduh penyebab semua itu.

Tahukah kamu, bahwa belum genap 60 hari ditahun 2017 ini sudah 8 nyawa saudaraku terpisah dari raganya karenamu?

Ada yang menolak bahwa kamu penyebab semua ini. Ya ada! Mereka menyebut semua kasus gantung diri di Gunungkidul sebagian besar karena kemiskinan, pendidikan dan keimanan. Tetapi mereka tidak serta merta membelamu. Tetap saja tuduhan itu lebih banyak ke kamu.

Padahal jangan-jangan kamulah yang membuat mereka miskin, yang membuat mereka tidak peduli pendidikan, yang membuat mereka lemah iman. Walau mungkin mereka belum pernah melihatmu, seperti aku pernah melihatmu.

Tidakkah kamu ingin melakukan pembelaaan atas tuduhan-tuduhan itu? Atau memang benar kamulah penyebabnya? Hingga kamu memilih terus bersembunyi agar tidak lagi ditemui dan kemudian dihakimi?

Ya, jangan-jangan memang kamu penyebab semua ini!

Bersama surat terbuka ini aku ingin mengajakmu bicara. Jika memang bukan kamu penyebab semua ini, percayalah aku siap membelamu. Tetapi jika memang kamu penyebabnya, aku mohon dengan sangat hentikan kebiasaanmu itu. Cukup sudah sekian tahun kamu menebar takut dan ketakutan.

Ataukah kamu sedang membalas dendam atas hancurnya bukit-bukit batu? Sirnanya hutan kayu, remuknya goa dan luweng-luweng tempat tinggal atau arena bermainmu? Jika karena itu, aku mohon maafkan kami. Jika kamu merasa lebih puas dengan menuntun saudara-saudaraku ke tali atau selendang gantungan. Tolong pilihlah perusak alam, perusak tatanan kehidupan, perusak kebersamaan kami di Gunungkidul ini.

Sekian dulu surat terbuka pertamaku ini padamu. Balasan suratmu tak akan ku tunggu. Jika semua ini karena ulahmu hentikan semua kebiasaanmu ini. Jika bukan kamu penyebabnya, bantu kami menghentikannya. Itu saja sudah cukup bagiku untuk meyakini engkau telah membaca dan mengerti isi suratku.

Tertanda

AKU!

Facebook Comments Box

Pos terkait