Berdagang Bagi Orang Jawa

Aktivitas perdagangan di salah satu pasar tradisional Gunungkidul. Foto: Wahyu.

Budaya Jawa yang cenderung paternalistik dan feodalistik seringkali dianggap menjadi penghambat berkembangnya etos berdagang. Sifat-sifat seperti sumeleh, nrima, pasrah dan sabar hanyalah beberapa contoh yang kemudian dianggap sebagai penghambat.

Kehormatan bagi orang Jawa jika mampu memiliki pangkat atau jabatan dalam pemerintahan dibanding untuk merintis usaha/berdagang. Data terakhir 2014, jumlah PNS di Gunungkidul ada 12.239 ribu. Jumlah ini ternyata menurun di tahun 2015, yaitu 10.359 ribu. Bisa jadi penurunan ini disebabkan oleh proses mutasi PNS ke daerah asalnya. Harap dicatat, 75% PNS bukanlah asli warga Gunungkidul.

Bacaan Lainnya

Di sisi lain, latar belakang agraris ternyata cukup membentuk rendahnya minat orang Jawa untuk berdagang. Berdagang dianggap sebagai kebutuhan sekunder semata. Lahir pasar-pasar dengan menggunakan nama Pasar Paing, Pasar Pon dan Pasar Legi misalnya, merupakan contoh nyata bahwa berdagang bersifat musiman. Pasar-pasar tersebut tentu saja hanya buka pada hari atau neptu tertentu. Persis, cara berpikir ini juga muncul dalam budaya agraris yang mengenal tata mangsa.

Bahkan dalam Serat Wulangreh karya Pakubuwana V digambarkan sifat-sifat negatif dari berdagang. “Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung bathine denetang, alumuh lamun kalonga. Iku upamane ugi, sabarang prakara tamboh, among yen ana wong teka iku, anggagawa ugi, gagadhen pan tumranggal, ulate teka sumringah.”

Artinya: Saudagar itu sifatnya amat suka mengejar kekayaan, siang dan malam hanya menghitung-hitung keuntungan, enggan terkurangi hartanya sedikit pun. Andai punya sekarung uang sekalipun, belum puas hatinya. Andai uangnya hilang selembar saja, disesalinya hingga empat tahun lamanya, seakan kehilangan sepuluhribu lembar. Orang yang berhati saudagar, tidak peduli dengan perkara apapun, hanya apabila ada orang yang datang kepadanya telah diketahui membawa sesuatu yang hendak digadaikan, maka berserilah air mukanya.

Anehnya Serat Wulangreh di atas mendapat otokritik oleh Serat Darmalaksita yang ditulis oleh Mangkunegara IV. Dalam Serat tersebut justru menuliskan panduan berdagang bagi orang Jawa, yang disebut Asta Gina. Isinya sebagai berikut:

1. Hendaknya seorang pelaku usaha (bisnis) memberdayakan bidang usahanya semaksimal mungkin (panggautan gelaring pambudi).

2. Hendaknya ia pandai mencari jalan keluar untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan (rigen)menjadi problem solver.

3. Hendaknya ia hemat dan hati-hati dalam membelanjakan dan atau menggunakan penghasilannya (gemi).

4. Cermat dan teliti dalam memeriksa pekerjaan agar mendapatkan sesuatu yang pasti (nyata)-nastiti.

5. Memahami perhitungan biaya dan mampu merencanakan belanja terutama mengenai berapa besar biaya hidup yang diperlukan (wruh ing petungan)

6. Rajin bertanya kepada ahli di bidangnya tanpa malu-malu agar bertambah pengetahuan atau keterampilannya (taberi tatanya).

7. Mencegah atau menahan kehendak hawa nafsu dari berbagai keinginan yang tidak berfaedah serta menjauhi pemborosan harta (nyegah kayun pepinginan… tanboros marang arta).

8. Bertekad bulat dan berniat teguh

9. Aja mitunani wong liya (jangan merugikan orang lain)

Sampai disini kita menjadi paham bahwa dibalik anggapan kegagalan usaha dagang orang Jawa, ternyata bisa ditemukan pula nilai-nilai etis yang berguna bagi usaha berdagang. Nilai-nilai etis sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Serat Darmalaksita nampak bisa membantu bagi siapapun yang memilih cara hidup berdagang daripada mengejar pangkat atau jabatan.

Jadi, mengapa masih ragu untuk berdagang?

***

 

Facebook Comments Box

Pos terkait