Dari kejauhan ia nampak seperti siluet. Hitam pekat disorot lampu blencong pakeliran. Bentuknya segitiga laksana gunung. Jika kita mengamati lebih dekat, didalamnya tergambar ukiran yang rumit. Pohon rindang yang dahannya saling bergelayut merangkul. Tergambar pula gapura megah dan tempat kunci berbentuk bunga teratai. Tapi juga ada sepasang raksasa buas yang menyembul, bersenjata. Sosok banaspati yang matanya menyala merah. Binatang pun hadir dalam rupa banteng, harimau, kera dan burung merak.
Dalam gunungan atau kayon, segalanya bertaut. Keindahan bertemu dengan keangkeran. Ketenangan berpadu dengan keliaran. Di luar gunungan, tipu muslihat dan balas dendam berlanjut. Kisah cinta dan nafsu bergelut. Di dalam gunungan, seolah tersimpan ketenangan dan keheningan yang alim. Dalam gunungan, waktu serasa terhenti. Waktu membeku. Bahkan mungkin dilenyapkan. Segala kejadian seolah menembus Sang Waktu. Gunungan menyimpan misteri tak terperi.
Tatkala ada adegan jejeran nan rapi atau perang antar-kstaria, gunungan tetap ada di sisi kanan dan kiri pakeliran. Barangkali ini perlu dimaknai bahwa kegelisahan dan nafsu manusia senantiasa dibayang-bayangi oleh sesuatu yang misterius itu. Gunungan juga jadi penanda perubahan. Ia jadi penentu kapan kejadian itu akan berlangsung. Saat Ki Dalang mengangkat dan menggerakkan gunungan, disanalah bakal terjadi sesuatu yang dahsyat. Gemuruh angin, halilintar dan banjir serta gemuruh genderang perang para ksatria selalu ada dalam bayang-bayang gunungan.
Agaknya memang tak pernah bisa dijelaskan. Manusia mudah bertukar dan ditukar sebagai subyek ataupun obyek. Bukan hanya manusia, tetapi segala hal yang melekat dengan dirinya: semisal tanah, kemiskinan, politik, seni budaya, ritual dan sebagainya. Ada kebebasan sekaligus keterkekangan disana. Manusia pada akhirnya harus memilih dan menentukan hidupnya dengan bebas dan bertanggung jawab. Memang tak ada yang sepenuhnya utuh. Namun setidaknya, manusia telah berusaha mendefinisikan dirinya dan lingkungannya.
Manusia memang punya kisah kontroversial masing-masing. Ki Dalang pun pernah membabarkan tentang Karna, anak seorang sais berkasta Sudra namun dengan gagah berani menandingi para ksatria Pandawa dalam Bharatayudha. Karna berpihak pada Kurawa meskipun ia tahu pihak yang dipilihnya akan hancur. Setidaknya, Karna telah menunjukkan kebebasan dan tanggung jawabnya untuk memilih.
Dalam diri Karna ada titik temu antara kisah heroisme dan tragedi. Dalam diri Karna, perang Bharatayudha menemukan maknanya yang terdalam. Karna mati oleh anak panah milik Arjuna. Apakah Karna mati sebagai seorang pahlawan atau ia tetap sebagai anak sais kaum Sudra? Ki Dalang tak pernah menjelaskan. Agaknya, masa lalu dan masa depan hilang, tak jelas.
Kita lantas hanya diingatkan saat gunungan itu diangkat dan digerakan lalu ditancapkan ditengah-tengah pakeliran. Hanya ada masa kini yang harus dipertanggungjawabkan. Persis saat gunungan ditancapkan, disitulah locus kita sebagai manusia. Kini dan Di sini. ***
Gunungan
Facebook Comments Box