Menurut peta topografi yang diterbitkan Jawatan Topografi Hindia Belanda (Topografische Dienst, Batavia, 1921), wilayah yang dahulu disebut Afdeeling GOENOENG KIDOEL (bagian dari Karesidenan Djocjakarta) terbagi menjadi 3 district, yaitu: PLAJEN, SEMANOE, dan WANASARI. Distrik adalah istilah satuan wilayah setingkat kecamatan, sekarang penamaan di wilayah DIY disebut sebagai kapanewon.
Dari peta tahun 1921 dan peta tahun 1857, diketahui sudah banyak perkembangan dan perubahan di wilayah yang waktu itu disebut Afdeeling Goenoeng Kidoel. Sebelumnya (peta 1857) terdiri dari 2 wilayah onderafdeelingen Plajen bernama Awoe-Awoe. Namun, pada peta 1921 muncul nama tempat baru WANASARI dan menjadi ibukota district. Jika mengacu peta tahun 1857 dan 1921 ini, maka tergambar periodisasi kemunculan nama tempat atau permukiman atau desa bernama Wanasari atau Wonosari. Istilah district nampaknya juga menjadi pengganti istilah onderafdeelingen).
Di sisi lain dari cerita tutur, pembukaan desa atau permukiman Wanasari atau Wonosari adalah hasil dari Babat Alas Nangka Dhoyong Demang Wanapawira dari Piyaman. Nah, adakah keterhubungan waktu pembukaan permukiman Wanasari dalam cerita tutur itu dengan periodisasi kemunculan nama Wanasari di peta terbitan tahun 1921? Sumangga, adakah yang mau menanggapi atau menjelaskan?
Dari peta 1921 ini juga ada banyak nama-nama desa atau dusun yang dikenal sampai saat ini. Sebagai gambaran, di sekitar tempat bernama Wanasari tertera nama desa/dusun: Djeroek, Selang, Tjabawa, Doewet, Seneng, Poeloetan, Wareng, Patjing, Siana, Ngerbo, Karangtengah, dan lainnya. Lantas, bagaimana dan mengapa dengan nama-nama desa di Gunungkidul yang belum tertera pada peta 1921 itu? Contohnya: Piyaman, Logandeng, Kedungkeris, Siraman, dan lain-lainnya.
Nampaknya, dalam perjalanan waktu ada penataan administrasi pemerintahan. Desa Bedjihardja kampung halaman saya ternyata merupakan penyatuan dari 3 desa lawas yaitu Grogol, Banjoebening dan Koelwa. Perlu ditelisik, hal seperti ini kemungkinan juga terjadi di desa-desa lainnya, sehingga belum termuat pada peta tersebut.
Oh ya, di peta 1921 ini juga sudah tergambar dengan jelas jaringan jalan yang menghubungkan antar-afdeeling, antar-distrik, antar-desa dan antar pusat aktivitas. Pada tahun itu, tipe jalan rupanya dibagi menjadi: rijweg, karreweg, paardenpad, dan voetpad. Rijweg kurang lebihnya jalan yang bisa dilewati kereta bermotor dan kereta kuda. Karreweg kira-kira jalan sekelas untuk pedati atau gerobag ditarik hewan. Paardenpad kira-kira jalan untuk lalu lintas berkuda. Voetpad kira-kira merupakan jalan setapak.
Ruas jalan yang bisa dilalui kereta bermotor atau kereta kuda pada saat itu adalah ruas jalan antara Jogjakarta – Gading – Playen dan Gading – Wonosari – Semanu saja. Ruas jalan antara Playen Palian, antara Karangmojo – Ponjong, Karangmojo – Semin – Ngawen – Batas Klaten dan Batas Wonogiri, dan ruas antara Semanu – Bedoyo – Rongkop waktu itu masih kelas jalan untuk pedati atau gerobak. Ruas-ruas jalan lainnya penghubung antar desa masih berupa jalan untuk berkuda dan jalan setapak.
Beberapa nama desa juga dicetak tebal, seperti: Patoek, Panggang, Palian, Moela, Nglipar, Kangkoeng, Semin, Karangmadja, Pondjong, Bedaja, dam Rongkop. Entah apa maknanya, apakah tempat-tempat ini sudah lebih berkembang jumlah penduduk dan aktivitasnya dibanding permukiman lainnya? Bisa jadi. Saya jadi teringat, Karangmojo diceritakan menjadi pusat permukiman yang berkembang pesat jaman Ki Suramedja, Ponjong pernah menjadi pusat pemerintahan di sekitar awal pemerintahan Bupati pertama GK Mas Tumenggung Pantjadirdja.
Untuk wilayah Ngawen, tidak ada perubahan dari peta 1857 dan peta 1921. Ngawen waktu itu masih menjadi enklave dari Kadipaten Mangkunegaran (Karesidenan Soerakarta).
Oke sedulur, sampai di sini dulu ceritanya. Lain waktu disambung ya… Maturnuwun.
—
Referensi peta: Digital Colections Universiteit Leiden