Kearifan Budaya Lokal “Berangus Sapi” Sebuah Inspirasi

Penyerahan hadiah kepada pemenang lomba. Dari kiri: Sugiyanto, Endang Pudji (Juara 1), Esti Nuryani, Mini GK, Sosiawan Leak.
Penyerahan hadiah kepada pemenang lomba. Dari kiri: Sugiyanto, Endang Pudji (Juara 1), Esti Nuryani, Mini GK, Sosiawan Leak.

Tulisan ini saya tuangkan  karena saya sering melihat orang yang mamakai  masker penutup  mulut dan hidung dalam perjalanan menuju tempat kerja. Setiap kali melihat orang yang mengenakan masker  atau semacamnya itu, setiap kali itu pula  teringat masa kecil saya. Saya dibesarkan dalam lingkungan pedesaan yang mayoritas penduduknya adalah bertani. Kehidupan petani yang penuh kesederhanaan itu kini sudah berubah sama sekali karena alat-alat pertanian kini sudah diganti dengan mesin.

Dalam mengolah sawah sebelum sebidang tanah ditanami padi biasanya didahului dengan nggaru. Garu (bhs. Jawa) adalah alat pertanian untuk melembutkan dan meratakan tanah setelah diluku. Nggaru merupakan fase mengolah tanah yang sudah siap ditanami namun kurang begitu lembut tanahnya. Tanah berair itu harus diolah sedemikian rupa sehingga akan lebih memudahkan petani menanam bibit padi yang sudah siap ditanam. Sapi merupakan alat yang paling utama untuk membajak sawah baik mluku ataupun nggaru. Sapi selain dipelihara untuk dikembangbiakkan, tenaganya dapat dimanfaatkan untuk mengolah sawah.

Bacaan Lainnya

Pada masa kecil setiap pagi saya melihat para petani menggiring  sapi piaraan menuju sawah? Berjalan menyusuri jalan yang masih becek dan berlubang. Petani berjalan menguntit di belakang sapi sambil membawa ‘pecut’ untuk ‘nyeblak’ pantat sapi agar lurus arah berjalannya. Padahal sapi sudah dipasang ‘keluh’ yaitu alat yang terbuat dari tali plastik yang dipasang ketika sapi memasuki masa remaja. Betapa sakitnya bila jarum  tali dimasukkan dalam kedua belah  lubang hidungnya. Tali itu dipasang melintang di hidungnya masuk kedua lubang hidung itu, lalu tali ditarik ke belakang. Untuk memasang tali itu pun diperlukan kesabaran dari pemasang ‘keluh’/tali, karena sapi tentu banyak gerak ketika hidungnya tercocok tali atau alat semacam jarum untuk memasang tali tersebut. Sesuatu yang sangat menarik untuk disaksikan meskipun dalam hati timbul rasa belas kasihan.

Tali itu berguna untuk alat mengendalikan langkah sapi, dengan cara menarik dari belakang bila sapi hendak berbelok atau melangkah ke tempat yang tidak dikehendaki sang pengendali sapi. Seketika bila tali itu ditarik, maka sapi akan menghentikan langkahnya atau kembali berjalan lurus  karena  hidungnya terasa sakit oleh tarikan tali yang dilakukan sang pemilik.

Meski sudah dipasang tali yang dapat menyakitinya setiap saat, sapi harus diberangus mulutnya. Berangus sapi terbuat dari bambu yang ‘diirat’ (dibelah kecil-kecil), kemudian dianyam membentuk menyeruapai keranjang kecil. Anyaman didesain dengan bentuk lubang-lubang cukup besar sehingga sapi masih dapat bernapas dengan leluasa.

Pada waktu berjalan karena diberangus mulutnya, maka sapi tidak dapat menyentuh apapun untuk dimakan meskipun dia sangat berkeinginan makan. Bila sapi menuju pagar yang terbuat dari tanaman, maka sang penghela sapi akan segera menarik ‘keluh’ dan sapi kembali berjalan lurus kembali. Dengan diiringi hentakan-hentakan bunyi ‘pecut’ yang dipukulkan tanah kadang-kadang sapi menjadi lebih ‘bersemangat‘ menuju tempat kerjanya. Tak jarang ‘pecut’ itu menyentuh tubuhnya dengan takanan yang keras. Cetaaaaarrr….cetarrrr…..Dan sapi berjalan dengan ritme yang lebih cepat. Semakin cepat sang gembala menghentakkan pecut mendarat di bagian punggung atau pantat si sapi, semakin cepat pula sapi berjalan menuju tujuan. Diikuti dengan suara bentakan-bentakan sang gembala untuk mencegah sapi berbelok arah.

Banyak filosofi yang dapat dipetik di balik ‘berangus‘ yang pada zaman dulu digunakan para petani untuk mengamankan nafsu sapi itu. Berangus merupakan alat utama petani untuk si sapi, yang digunakan setiap pagi setiap akan berangkat ke sawah untuk membajak sawah yang harus ditanami. Barangus itu saat ini bahkan sedang ngetrend digunakan oleh banyak  orang  meskipun dalam bentuk  yang berbeda dan nama yang berbeda. Nama benda itu adalah ‘masker’. Masker banyak digunakan oleh pengendara sepeda motor yang akan menuju tempat kerja, (nahh..sama kan…dengan yang dituju…?) Selain itu masker juga digunakan oleh para wanita, gadis-gadis, atau siapa saja. Masker secara tak langsung dapat mengurangi gannguan sang pengguna dari terlalu banyak bicara, udara yang penuh polusi sehingga paru-paru menjadi lebih sehat, bagi pengguna perempuan masker dapat digunakan untuk mengurangi resiko digoda laki-laki karena laki-laki sering tergoda oleh bentuk bibir yang sensual. Bagi pengguna masker di kendaraan umum, bila ia tertidur maka alat ini dapat melindungi mulut yang terbuka saat tertidur. Masker dapat melindungi pengguna dari tertular penyakit atau menularkan penyakit.  Ternyata sangat banyak sisi positif penggunaan alat ini. Hal ini disadari atau tidak disadari terinspirasi oleh ‘berangus’ sapi. Yang digunakan oleh para petani sekian puluh tahun yang lalu.

Bila kita pelajari lebih jauh sebenarnya ‘berangus sapi’ dapat menginspirasi gerakan antikorupsi. Bagaimana logikanya? Ya. Bukankah dengan berangus itu sapi dapat selamat dari segala godaan selama dalam perjalanan? Godaan memakan tanaman-tanaman yang ada di perjalanan. Bahkan karena menggunakan berangus itu sapi dapat menghasilkan pekerjaan yang lebih cepat dan lebih bagus.

Berita yang bertajuk tentang korupsi setiap hari  menjadi sajian yang tak terelakkan. Pelakunya adalah para pejabat yang seharusnya memikirkan kesejahteraan rakyat. Uang rakyat yang seharusknya untuk kesejahteraan rakyat diembat. Pembangunan yang seharusnya bejalan dengan cepat terpaksa menjadi sangat lambat bahkan berjalan di tempat dan menjadi proyek yang tamat karena mangkrak. Program pembangunan untuk menyejahterakan rakyat berubah menjadi hiruk pikuk selidik-menyelidik karena adanya ketidakwajaran yang sangat mencolok atas anggaran yang dikucurkan. Dikemanakan uang sebesar itu, mengapa program tak sesuai dengan rencana?

Waktu yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan pembanguan berubah menjadi saat yang sangat jauh api dari panggang, karena harus menyelidiki ke mana uang yang sudah dikucurkan itu mengalir dan siapa yang menerima aliran dana itu. Kasus terkini yang menyeruak dengan sangat tajam adalah kasus E-KTP yang merupakan program yang bersentuhan langsung dengan setiap individu seluruh penduduk Indonesia. Dana sebesat 2,3 T yang seharusnya untuk mewujudkan data jumlah penduduk Indonesia yang akurat ternyata berjalan terseok-seok bahkan bisa kandas. Banyak yang disinyalir terlibat, bahkan para pejabat tersohor yang selalu mengucapkan antikorupsi pun terjaring dalam daftar tersebut. Ya, korupsi benar-benar menjadi sesuatu yang sangat menggoda bagi siapa saja yang berkepentingan langsung dengan uang. Karena tanpa bekerja keras dapat memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Korupsi menjanjikan kemudahan hidup, kemudahan untuk disebut sebagai orang kaya. Korupsi telah mengkayakan segelintir orang dan atau sekelompok orang yang berada dalam kelompok tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kesengsaraan rakyat.

Seandainya pejabat negara sudi menggunakan “alat yang satu ini” dalam melaksanakan tugasnya, dijamin negara ini selamat dari segala kemunduran, selamat dalam menunaikan tugasnya sebagai abdi masyarakat. Apabila para pemangku kekuasaan dapat memagari hatinya dengan memberangus hatinya atas nafsu untuk memperkaya diri sendiri, nafsu untuk mengambil keuntungan dari dana ynag telah dipercayakan, niscaya para pejabat itu akan selamat dari kejaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berangus itu digunakan dalam hati, berangus hati dari keinginan-keinginan nafsu yang tak terkendali, ngemplang dana atau sekadar mencicipi uang proyek untuk pembangunan desa yang bukan haknya. Berangus hati dari kerakusan yang selalu menggodanya. Dan ‘keluh’, tali pengendali,  itu juga ada dalam hati berupa iman yang sebenarnya dimiliki oleh semua manusia namun sering tertutup oleh nafsu serakah.

Negeri ini telah dipenuhi oleh para pejabat yang dikuasai nafsu untuk memiliki uang rakyat di segala lini. Dengan dalih apapun perbuatan itu tak dapat dibenarkan. Bahkan tak tanggung-tanggung,tindakan korupsi itu telah dilakukan dengan  cara bersama-sama atau berjamaah. Bahkan ada dalam sebuah keluarga. Ratu Atut Chosiah misalnya, telah melakukan tindakan korupsi bersekongkol dengan adik kandungnya yang sampai kini masih belum selesai permasalahannya.

Gayus Tambunan mungkin belum belajar dari kearifan budaya lokal ‘berangus sapi’ ini ketika harus dengan leluasa  mengikuti segala keinginan hatinya. Seandainya para pemangku jabatan menyadari bahwa kearifan budaya lokal ‘berangus sapi’ sudah dimiliki sejak nenek moyang dan diaplikasikan dalam berbangsa dan bernegara, tentu tidak akan tumbuh subur ‘ Gayus-Gayus Muda’ yang harus ‘diberangus’ dengan SK mengenakan rompi oranye di gedung KPK.

Mengingkari nurani adalah pangkal dari segala bentuk tindak korupsi. Ini terbukti setelah koruptor disidang dengan semangat membara menolak segala tuduhan. Lalu mengapa kata-kata penolakan itu diucapkan setelah melakukan tindakan tak terpuji itu? Apalah arti penolakan-penolakan itu kalau sesungguhnya dalam kenyataannya sang koruptor telah mengingkari nuraninya dengan melakukan korupsi. Mengapa kata-kata itu tidak diwujudkan dalam penolakan secara nyata ketika melakukan korupsi?

Lepas kendali hati, lepas segala sumpah dan jabatan yang telah diucapkannya, lupa daratan, pula kewajiban dan bergantilah dengan nafsu memiliki uang rakyat itu. Bahkan digunakan untuk membeli aset-aset besar yang diatasnamakan diri sendiri, lalu apabila sudah bingung bagaimana menamakan hartanya diajaknya pula sanak saudaranya untuk  menguasai uang itu dengan dalih berbisnis atau memiliki perseroan terbatas, dan berbagai dalih untuk mengelabui rakyat tanpa pertanggungjawaban akan kewajibannya membangun negara. Lalu bila sudah diendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bersumpahlah ia, sang pejabat bahwa ia tidak menerima seperserpun dana yang seharusnya dipertanggugjawabkan dengan segala alasan. Namun semuanya tak akan dapat mengelak setelah dibuktikan di depan pengadilan. Bagaimana mungkin seorang pegawai negeri bisa memiliki aset yang tak sebanding dengan kisaran besar gaji yang harus diterimanya. Semuanya dapat dihitung, dari mana uang dan segala kekayaan didapatkan. Masih saja berdalih, bahkan untuk mengelabui kecurangannya sang pejabat menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kucuran dananya. Alangkah bingungnya hati yang telah terbelit korupsi, tersiksa siang malam, bingung mau ditempatkan di mana uang yang seharusnya digunakan untuk membangun gedung olahraga atau membangun jembatan, atau untuk pembangunan sarana dan prasarana kepentingan rakyat.

Lalu selama menjabat ke mana  nafsu itu, tidakkah semuanya jelas dapat dihitung dan dilihat dengan mesin penghitung. Semuanya telah menemukan zamannya. Semua bisa dideteksi. Kalau hati sudah tidak dapat dikendalikan, ke mana saja akan diperturutkan, dengan gaya hidup yang melonjak di luar kebiasaan maka akan banyak pertanyaan yang muncul dari mana uang didapatkan?

Perolehan kekayaan yang tidak halal itu akan menyiksa setiap waktu, menyiksa hati nuraninya karena telah benar-benar membohongi diri sendiri, menutupi perbuatan bejatnya dengan perbuatan-perbuatan yanag berdalih keagamaan. Banyak yang berdasi dan fasih berdalil, namun kiranya telah kalah dengan nafsu angkara murka yang bersemayam dalam hati terdalamnya, yang akhirnya tak dapat ditutupi lagi. Akhirnya kebohongannya terungkap juga oleh temannya sendiri dalam melakukan kejahatan itu. Hidup saling bermusuhan, hidup saling menjatuhkan, dan akhirnya sama-sama menjalani hidup di hotel prodeo.

Nama besar yang pernah disandangnya sebagai wakil rakyat, tumbang sudah. Jabatan tinggi yang disandangnya hancur sudah, bahkan nama keluarga dipertaruhkan. Berjalanpun tidak lagi bisa dengan muka tegak. Akan tersiksa di setiap jengkal langkahnya, menanggung rasa malu sepanjang masa. Tak ada lagi arti kekayaan yang pernah dimilikinya karena semuanya hanya semu belaka. Kekayaan yang dimiliki dari mencuri uang negra dengan menggunakan jabatannya. Semua bukan hal yang sesungguhnya.

Telah banyak kejadian nyata dalam kehidupan sehari-hari bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan kemanusiaan yang seharusnya dilenyapkan. Karena korupsi telah menyebabkan kehidupan rakyat sengsara karena dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan ternyata dinikmati oleh segelintir orang dengan berbagai topeng yang tidak jelas. Korupsi menjadi penyebab kesengsaraan rakyat, korupsi menjadikan harga diri jatuh bahkan hilang kepercayaan dari siapapun  bahkan dari diri sendiri hilang rasa percaya diri.

Betapa inspiratif budaya lokal ‘ berangus sapi’ yang tiap pagi lewat jalan becek depan rumah ketika masa kecil itu. ‘Berangus sapi’ merupakan kearifan budaya lokal yang dapat menginspirasi  kita untuk menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan korupsi  mulai dari diri sendiri, kalangan keluarga, sampai kalangan pejabat tinggi bahkan urusan internasional. Menolak melakukan tindakan tak terpuji yang pada hakikatnya antikorupsi adalah gerakan untuk menolak membohongi hati nurani yang sebenarnya selalu mengajak manusia berbuat benar. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Penulis: Endang Pudji Dwi Rahayu, S.Pd. (Guru SMP Negeri 1 Demak)

Tulisan ini dinobatkan sebagai juara 1 lomba penulisan feature bertema anti korupsi yang digelar Forum Penulis Negeri Batu (FPNB).

Facebook Comments Box

Pos terkait