Ketegaran Hati yang Diuji

Suasana musim kemarau di kawasan selatan Gunungkidul. Dok: KH.

“Pak, tolong saksikan ya, sebagai tanda cinta, saya akan mencium telapak kakinya…” kata-kata lelaki paruh baya itu terdengar lirih. Beberapa detik, pria muda berbaju hitam yang dipanggil “Pak” itu terdiam.

Ia terhenyak, sepertinya tak menduga suara itu akan keluar dari mulut lelaki itu. Matanya berkaca-kaca. Beberapa saat kemudian, ia menyaksikan kaki kaku dalam peti putih itu diciumi. Ia terlihat menahan nafas dan sekejap merekam pemandangan tak biasa yang terpampang di depan matanya.

Bacaan Lainnya

Setelah menciumi telapak kaki, lelaki paruh baya itu memegangi peti. Peti itu berisi tubuh nenek usia 70-an. Terbujur kaku, dingin, kurus dan keriput, namun wajahnya seteduh cahaya lilin putih yang menyala di samping peti itu.

Perempuan yang sepuluh tahun belakangan ini sakit-sakitan, kini tiada. Ia berjuang melawan stroke dan tidak bisa berbicara. Ia tutup usia meninggalkan dua anak laki-laki dan beberapa cucunya. Lelaki paruh baya yang menciumi kakinya itu adalah anak sulungnya.

Kejadiannya itu pada Mei tahun 2018 lalu…

Sebenarnya, cerita yang menguras air mata sudah ada di awal mula. Lelaki paruh baya itu sebelumnya kehilangan belahan jiwanya pada Januari, di tahun yang sama. Kanker yang diketahui dua bulan sebelumnya, telah memisahkan mereka dengan cepat dan mendadak. Padahal, tiga bulan silam, ayahnya meninggalkan mereka.

Lelaki paruh baya itu biasa dipanggil Yanto. Dia seorang warga sebuah desa di Tepus. Sehari-hari pekerjaannya bertani, di sela-sela itu ia menjadi koster atau penjaga dan perawat kebersihan sebuah gereja kecil di Tepus. Gedung gereja kecil yang menjadi tanggung jawabnya persis berada di samping rumahnya. Dulu, tanah gereja dihibahkan dari orangtuanya.

Peristiwa demi peristiwa dialaminya, mungkin bisa digambarkan seperti ombak besar yang menerpa perahu keluarga. Berat dan mungkin menakutkan. Dalam tujuh bulan ia harus merelakan tiga kekasihnya pulang menghadap Tuhan…

***

Pagi di akhir Oktober 2019, aku mengingat kenangan itu kembali. Suara ketegaran yang datang dari pria paruh baya itu kuputar ulang.

Sore nanti, aku akan menemani seorang bapak sepuh yang akan melepas kembali kepergian kekasihnya. Namanya pak Satino. Ia tinggal di Tepus. Pada Minggu pagi ia kehilangan istrinya yang sudah puluhan tahun ditemani strokenya. Bersama dua anaknya, ia tampak tegar mengiring kepergian kesayangannya.

Senin malam HP-ku bergetar. Kabar duka kembali datang. Anak sulung bapak sepuh itu berpulang menghadap Tuhan. Anaknya menyusul kekasihnya. Rasanya tak percaya, karena kemarin di makam kami ngobrol biasa. Ia, istri dan kedua anak kecilnya kami antar pulang berkendara Panther tua.

“Pak, titip bapak nggih…” pintanya kemarin. Kuanggukkan kepalaku tak ragu.

Kini, lelaki sepuh yang dititipkannya padaku akan mengantarmu. Mungkin derai airmata dari istrimu dan dua buah hatimu akan menggoyahkan ketegaran hatinya.

Dalam dua hari, lelaki berambut putih itu kehilangan istri dan anak sulungnya…

***

Hari itu, aku belajar dari hidup Pak Yanto dan Pak Satino. Tentang kesempatan dan sudut pandang.

Kawan, hidup ini adalah sebuah kesempatan, rasanya terlalu bising untuk mendengarkan kata-kata tanpa tindakan.

Kawan, hidup ini terlalu sederhana jika diisi hanya melawankan dua warna berbeda.

Facebook Comments Box

Pos terkait