Pagi tadi kami jalan santai dari Trimulyo 1 ke arah Siraman. Ternyata berjalan waktu pagi jam 7 pagi tidaklah nyaman.
Trotoar adalah hak pejalan kaki. Setiap pemda harus membangun jalan yang dilengkapi trotoar selebar sepertiga jalan. Mungkin itu bunyi beberapa pasal, jika saja Republik ini memiliki Undang-undang Pejalan Kaki. Saya berharap, Undang-undang itu akan ada di Indonesia.
Namun, apakah wakil rakyat yang duduk di kursi empuk memikirkan hal ini? Entahlah. Siapa tahu mereka sudah lupa rasanya kepanasan saat berjalan. Siapa tahu malah sudah lupa atau tidak berani berjalan di tepi jalan-jalan kota.
Ya, Wonosari kota tercinta kita sedang tumbuh untuk mendukung sektor yang diunggulkan Pemkab, yaitu: Pariwisata. Yang katanya akan menjadi lokomoyif penarik gerbong ekonomi seperti kuliner, hotel, kerajinan tangan, agensi perjalanan.
Konon hanya dengan pariwisatalah uang dari luar Gunungkidul akan tertarik masuk ke daerah. Sebagaimana seperti hujan, masyarakat akan dapat bagian dari “hujan uang” sektor ini.
Lantas, apa hubungannya dengan trotoar yang baik? Ada beberapa kota di Indonesia dengan jalur pedestrian yang baik, walaupun masih seruas jalan. Kota Yogyakarta dengan Jalan Malioboro, Solo dengan Jalan Slamet Riyadi, Bandung dengan Jalan Asia Afrika-nya, Surabaya punya banyak jalur pedestrian.
Dengan memiliki jalur pedestrian yang baik berarti Pemerintah mendorong warganya untuk senang berjalan. Dampak kesehatan dan sosial pun akan didapat. Geliat UMKM penyedia kuliner jalanan juga memberi lapangan kerja. Pejalan kaki akan nyaman, tidak khawatir diseruduk kendaraan.
Trotoar yang ada di kota Wonosari saat ini lebar 1 – 1,5 meter. Itupun harus berbagi dengan berbagai utilitas, seperti tiang telpon, tiang listrik, pot bunga. Trotoar di Jalan Veteran misalnya, tidak lagi nyaman, karena pejalan harus naik turun pada ruas trotoar yang terpotong. Jelas tidak ramah bagi warga lanjut usia.
