Membeli Gengsi

Jual beli sayur laris di masa pandemi. Foto: Iwan.

Mendadak saya suka tema jual-beli di masa pandemi ini. Alasan utamanya karena barang yang dijual kebanyakan urusan pemenuhan perut. Itu yang kini menghegemoni, dan rasanya kok penting dibeli agar roda ekonomi memutar tak henti.

Sekarang ini barang tampak begitu telanjang. Barang-barang jualan tak seperti tiga bulan yang lalu, kebanyakan pakaian dan hiasan. Saat itu, barang jualan tak sekadar guna, namun lebih dari separo berisi gengsi. Misalnya secangkir kopi seharga 40 rebu. Alamak, berapa seruput gengsi terasa di lidah dan masuk ke perut?

Bacaan Lainnya

Ah, gengsi itu mesti dilucuti, yang betul prioritas dapur tetap ngebul.

Saya suka tema jual-beli di masa pandemi ini. Alasan kuatnya, karena kegiatan jual beli senada slogan “dedonga lan makarya” yang jadi slogan diri. Meski mirip motto institusi, kata-katanya sederhana saja.

Dedonga sebab manusia merasa diri lemah tak berdaya dan merindukan sang penguasa sehingga tunduk mengiba berdoa. Itu kan bahasa yang katanya tertanam sejak lama. Di sisi lain, manusia mengada karena makarya, bekerja.

Maka, tahap demi tahap, ya dijalani dengan gumbira.

Alkisah, pada suatu hari… ada beberapa warga di sekitar saya yang punya warung ini-itu. Usaha online maupun offline harus didukung. Ini-itu itu ada abon, rempeyek, nuget, nasi bungkus, dan ini-itu lainnya.

Niatku mau membeli satu dua ini-itu itu, dan ikut melancarkan roda ekonomi. Lha, ternyata yang terjadi berbeda, niat mau beli, eh malah diberi berkali-kali.

Mau gimana lagi. Tanpa menutup gengsi kuterima, “Uuu, enaknyooo dijubeli!”

Facebook Comments Box

Pos terkait