Pengetahuan manusia modern, utamanya diri saya sendiri, yang semakin menuju hiper tak ketulungan, serta menjauh dari filsafat ilmu pengetahuan tradisional pramodern, terdesak gerak ‘iptek modern’ yang menawarkan kecanggihan dan kepraktisan (efektif efisien). Wilayah kurasi (ketika seseorang sakit) lebih mendominasi nalar berfikir manusia modern seperti saya dibanding wilayah promosi (sebelum sakit/tidak sakit/sehat). Wilayah sadar, yang ‘hanya’ bermakna: sadar bahwa sang diri sedang sakit bukan sadar untuk selalu berusaha tidak sakit, menguasai wilayah prasadar. Wilayah sadar-sakit secara auto terhubung dengan/ke rumah-sakit.
Antara Rumah Sakit, Usada, Hospital, dan Hospitality
Konsep rumah-sakit mewakili mesin kesehatan modern (rumah sakit diadaptasi dari bahasa apa ya? Mungkin Bahasa Belanda (baca: zikkenhuis), namun konteksnya pada waktu itu diperuntukkan bagi para korban perang). Rumah-Sakit merupakan penampung Yang-Sakit. Yang-Sakit dilayani dengan metode usada agar ‘kembali’ tidak sakit (waluya). Maka, menejemen rumah sakit berhubungan dengan bahasa ‘hospitality’: keramah-tamahan dan kesediaan (rasa) memberikan pelayanan prima (pelayanan kepada yang dikategorikan pasangan biasanya dilakukan dengan prima, ultima, kecuali yang tidak) kepada Yang-Sakit.
Pelayanan yang ramah-tamah (nyumanak-nyumadulur) kepada pasien (Yang-Sakit) merupakan standar operasional, yang lazim distandarinternasionalkan, bukan malah digunakan sebagai piranti untuk mengeruk keuntungan pribadi/kelompok/yayasan/badan sebanyak-banyaknya.
Penamaan omah/rumah bagi si sakit dengan Panti Rini, Panti Usada, Panti Rapih, Panti Nugraha, dan sebagainya, menurut saya, perlu dimunculkan dan dipropagandakan spirit dasarnya agar yang dirasakan oleh masyarakat tak hanya suasana ‘penguasaan’ pengetahuan (teknologi dan sekolah berbiaya tinggi) oleh salah satu golongan, namun juga suasana paseduluran (hospitality) yang lazim ditempatkan sebagai landasan bangunan omah/panti.
Suasana paseduluran (hospitality) antara dhukun-usada/dokter dengan pasien (Yang Sakit) adalah usada/obat tersendiri. Suasana yang nyumanak dan nyumadulur diciptakan oleh kedua pihak di dalam sebuah panti/omah ketika proses ngusadani berlangsung.
Berharap Rumah Sakit yang Sumanak atau Sumadulur
Mungkin manusia modern hanya butuh semacam legalisasi, atau argumentasi saintis, dari pihak-pihak yang di struktur sosial dinobatkan sebagai ‘ajar’ di bidang kesehatan: bahwa benda-benda atau istilah-istilah totemik seperti panti, usada, sumanak, sumadulur, dhukun, ritual, dsb. yang dimiliki oleh masyarakat tradisional itu (melalui riset ilmiah akademik di bidang psikoanalisis, mikrobiologi, dan biokimia misalnya) merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan penyakit tertentu.
Mungkin yang dibutuhkan adalah kesediaan kesehatan/kedokteran modern untuk membuka diri: ia merupakan keturunan langsung kesehatan/kedokteran pramodern. Ia bersama dengan kesehatan pramodern tradisional alternatif bisa mewujudkan kondisi sehat: tubuh, pikiran, bahkan jiwa, dan ruh.
Dari Pramodern Menuju Kesehatan Modern
Perlu kita ingat: Ia, di Eropa, lahir (tercerahkan) dari rahim (mitos) kesehatan pramodern.
Akhirnya, kebuntuan jawaban yang ditemukan di sepanjang prosesi kesehatan/kedokteran modern dikembalikan oleh masyarakat modern (yang sebenarnya masih memiliki ciri pramodern tradisional di banyak sudut) kepada gendongan rahim alam, ibu alam, yaitu kepada berbagai jenis usada tradisional (batra) di lokalitasnya masing-masing (etnomedisin).
Gerak manusia modern sudah seharusnya kembali kepada khasiat benda-benda hidup dan ‘benda mati’ yang tumpah ruah di sekeliling tubuh/omah/panti/tempatnya sendiri. Yang mudah. Yang murah. Pekerjaan rumah manusia modern adalah kembali ke puser, ke pancer, ke omah, ke panti, ke tubuhnya sendiri; kepada nalar berfikir manusia modern sebagai keturunan manusia pramodern sendiri, yaitu kembali ke kesehatan sebagai cara berfikir sehat, bahwa ia dilahirkan oleh unsur-unsur bios-nya sendiri (puser, plasenta, sel, organel, mineral, tanah, air, apuy, udara), yang hidup kekal dalam tubuhnya, dengan tak henti mencari ‘alternatif-alternatif baru’ dalam rangka memperkuat sistem pertahanan kesehatan kulawangsanya; kulawangsa manusia beserta alamnya itu.
Belajar dari Tapa Ngrowot dan Proses Detoksifikasi
Proses kurasi sebelum kurasi, yaitu menapaki proses panjang (dawa) ngusadani secara mandiri (tubuh, omah) menggunakan usada tanpa didampingi dhukun-usada/dokter dengan alon-alon (pelan-pelan; bukan ‘jreeengng’ langsung sembuh), menggunakan ‘wewaton’ (metode, prosedur, sistem, taracara), akhirnya bisa mencapai kondisi sehat (waluya) seperti yang diangankan (kelakon).
Sulit untuk demikian memang. Ada perbedaan (menyolok) antara farmasis dan dokter yang di logika kesehatan modern cenderung dituntut menggunakan waktu singkat serba cepat dibantu teknologi (logika operasi), sementara formulator dan herbalis (yang umum; meskipun ada formulator lokal yang ‘sangat cepat’ menyembuhkan suatu penyakit) lazim menggunakan rentang waktu yang lebih panjang penuh ketekunan dan ketelatenan. Pun demikian, farmasis dan dokter mulai membangun integrasi dengan sistem kesehatan lokal (batra, etnomedisin). Meskipun setengah, meskipun terengah.
Gerak etnomedisin, tanpa tedheng aling-aling, tak bisa seprogresif yang dimaksudkan pemangku kebijakan; etnomedisin telah diundang-undangkan oleh pemerintah, tetapi tampaknya belum benar-benar disejajarkan dengan pengobatan modern. Etnomedisin hanya pupuk-bawang. Bawang-kothong/kopong. Timun-wungkuk jaga imbuh: kala sistem kesehatan modern yang menawarkan konsep ‘kedokteran’ (untuk sehat=didokterkan) buntu.
Tak bisa ditolak, memang hal itu merupakan akibat agresi pencerahan Eropa yang menggempur jantung Pribumi dalam segala lini. Tapi minimal, dengan hadirnya batra dan etnomedisin kita tidak melupakan begitu saja khasanah ilmu pengetahuan leluhur wangsa atau kulawangsa atau kulawarga kita sendiri tentang sistem kesehatannya. Sistem kesehatan yang bukan melulu dikuasai oleh nalar dokter (kurasi), namun juga menjalani laku-sehat yang panjang, dan tentu saja dengan berfikir yang sehat.
Alih-alih akan sehat, lha wong cara berfikir saya saja sering tidak sehat: banyak makan gorengan, ndak pernah berpuasa dari rakus kepada makanan (lupa ngrowot atau kalau orang modern menyebutnya detoks), menumpuk dan membakar sampah nonorganik (plastik) terus-terusan, mengonsumsi minuman sampah seperti sprite dan coca-cola, keterlaluan makan nasi lupa thiwul dan sega jagung, di kebun simbok ada tela-pohung dan tela-pendhem/rambat tapi lupa bahwa mengonsumsi mereka secara kontinum adalah usada yang manjur sebelum fase ‘sakit’. Cara berfikir saya tidak berpusat pada makanan dan minuman yang bernutrisi cukup, bermineral dan bervitamin, yang ketiganya merupakan prasyarat regenerasi (rekreasi).