Menengok Sistem Pilkada dari Masa ke Masa

Pilkada. dok: internet.

Semarak perhelatan Pilkada 2020 di Gunungkidul semakin tampak setelah dilakukannya Debat Publik Calon Bupati pada Selasa malam (27/10/20) lalu. Suasana pandemi Covid-19 tidak menghalangi para kandidat, timses dan pendukungnya untuk mengikuti seluruh tahapan yang digelar oleh KPUD Gunungkidul.

Tahukah Anda, bahwa Pilkada 2020 ini merupakan sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat yang ke-5? Pilkada langsung dipilih rakyat pertama kali dilakukan pada tahun 2005. Ini sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.

Bacaan Lainnya

Untuk Pilkada Serentak 2020 diatur dengan UU 6 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU.

Tetap Pilkada Langsung

Tahukah Anda, bahwa Pilkada Langsung yang digelar untuk memilih Bupati/Wakil Bupati pada tahun ini dan 5 tahun lalu pernah sempat akan dirubah menjadi Pilkada Tidak Langsung? Ya, pada tahun 2014 DPR telah sempat kembali merubah sistem pikada dari langsung menjadi pilkada tidak langsung melalui UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Saat itu, sistem politik Indonesia memasuki fase baru yang sebenarnya kembali ke cara lama sebelum era reformasi.

Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (UU Pemilukada) yang disahkan pada 26 September 2014 mengubah cara berdemokrasi bangsa Indonesia, terutama dalam menentukan pemimpin daerah. Sistem pemilukada langsung oleh rakyat yang berlaku selama sepuluh tahun, berganti menjadi pemilukada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Saat itu, sistem pilkada langsung yang dinilai demokratis, ternyata menyebabkan dampak tak baik bagi bangsa. Sistem yang berbiaya mahal itu dinilai telah melahirkan pemimpin daerah yang korup. Sistem baru dipandang juga demokratis, diyakini lebih menjamin mampu melahirkan gubernur dan bupati/wali kota yang amanat, meski dikritik sebagai kemunduran demokrasi.

Namun, pengembalian sistem ke pilkada tidak langsung tersebut mendapat penolakan dari masyarakat luas, sehingga dikeluarkan Perppu yang mengembalikan pilkada secara langsung. Artinya, pemilihan kepala daerah kembali dilakukan oleh rakyat dengan cara coblosan secara langsung. Perppu tersebut kemudian diundangkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 tetang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang.

Secara teoritis memang tak ada sistem pemilu yang benar-benar ideal, apalagi berlaku sepanjang masa. Pada dasarnya sistem senantiasa menyesuaikan dengan situasi zaman, beradaptasi dengan tradisi, sistem ekonomi-sosial-budaya, dan aspek-aspek lainnya. Sejarah Indonesia modern juga menunjukkan bahwa sistem pemilihan kepala daerah terus bermetamorfosis. Berikut ini kilasan sistem pilkada di Indonesia dari masa ke masa.

Masa Hindia Belanda

Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan daerah tak seperti sekarang ini. Hirarki pemerintahan dimulai dari paling atas, yaitu gewest (provinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang dipimpin residen, afdeling dipimpin asisten residen, kabupaten dipimpin bupati, lalu ada district atau kawedanan yang dipimpin wedana, dan onderdistrict atau kecamatan yang dipimpin camat.

Jaman Hindia Belanda tidak ada pemilu untuk menentukan pemimpin di tiap-tiap tingkatan, karena semua ditentukan Pemerintah Kolonial, yaitu Gubernur Jenderal. Itu pun, tiga jabatan tertinggi pertama diisi orang-orang Belanda. Bangsa pribumi hanya boleh menjabat jabatan bupati sampai camat ditambah kewajiban membayar upeti kepada Pemerintah Kolonial.

Pada masa pendudukan Jepang sistem itu berganti meskipun hanya sebagian saja. Pemerintah kolonial Jepang hanya mengubah istilah jabatan-jabatan, misalnya karesidenan disebut syuu dan dipimpin syuutyoo, kawedanan disebut gunson yang dipimpin guntyoo. Tak ada pemilu juga dalam sistem ini. Semua jabatan ditunjuk dan ditentukan Pemerintah kolonial Jepang. Jabatan di tingkat karesidenan diisi perwira-perwira militer Jepang, sedangkan pada level kawedanan ke bawah dijabat orang pribumi.

Masa Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, kembali dilakukan perubahan sistem pemerintahan daerah. Pada era itu, kepala daerah berfungsi sebagai pemimpin komite nasional daerah, sekaligus menjadi anggota dan ditetapkan sebagai ketua badan perwakilan daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.

Pada saat itu, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya. Alasannya karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan kala itu sedang tidak stabil.

Sistem ini disempurnakan pada tahun 1948. Istilah dalam tingkatan pemerintah daerah diperjelas, yakni provinsi, kabupaten atau kota besar, desa, dan nagari. Proses pemilihannya pun sedikit lebih demokratis, karena, misalnya, gubernur diangkat oleh Presiden setelah ada nama calon yang diajukan DPRD tingkat provinsi.

Di bawahnya, DPRD tingkat kabupaten mengusulkan calon bupati, lalu diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Kepala desa diangkat Gubernur setelah menerima nama calon yang diajukan DPR desa.

Masa Republik Indonesia Serikat

Sistem pemilihan kepala daerah kembali berubah bersamaan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat tahun 1950. Itu terjadi karena konstitusi berubah dari Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Sementara tahun 1950.

Pada era ini, istilah dalam tingkatan pemerintah daerah diubah: di tingkat provinsi disebut daerah tingkat I yang dipimpin gubernur, di tingkat kota/kabupaten disebut daerah tingkat II yang dipimpin bupati atau walikota, dan tingkat kecamatan disebut daerah tingkat III yang dipimpin camat.

Setelah konstitusi negara kembali pada Undang-Undang 1945, terbit undang-undang yang mengatur mekanisme dan peraturan pengangkatan kepala daerah. Kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri. DPRD hanya mengajukan nama, dan yang menentukan adalah Presiden atau Menteri Dalam Negeri sesuai tingkatan masing-masing.

Posisi pemerintah pusat atas pemerintah daerah semakin kuat setelah terbit Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965, menyusul Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri melalui calon-calon yang diajukan DPRD.

Pemerintah pusat makin mengendalikan daerah setelah status kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara. Waktu itu, seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh DPRD. Pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh Presiden untuk gubernur, dan Menteri Dalam Negeri untuk bupati atau wali kota.

Masa Orde Baru

Pemerintah pusat pada era Orde Baru mengukuhkan dominasi atas pemerintah daerah. Rezim Soeharto mengontrol penuh kepala daerah di seluruh tingkatan, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kepala daerah diangkat oleh Presiden, yang mekanisme pemilihannya di DPRD juga dikontrol oleh Presiden.

Maka, kepala daerah sesungguhnya bukan hasil pemilihan DPRD, karena patut atau tidak seseorang menjadi kepala daerah, bergantung sepenuhnya pada penilaian Presiden. Aturan tersebut terkait kepentingan Pemerintah Pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerja sama.

Misalnya, DPRD provinsi memiliki dua calon gubernur, yang salah satunya didukung lebih banyak legislator. Jika Pemerintah Pusat menghendaki calon yang memiliki lebih sedikit dukungan DPRD, Presiden berhak mengangkatnya. Begitu juga pemberhentiannya, dapat dilakukan tanpa persetujuan DPRD.

Masa Reformasi

Tahun 1998 adalah tanda berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang sentralistik. Setelah itu, semangat berbangsa dan bernegara berubah menjadi desentralistik atau pemerataan kekuasaan di daerah-daerah, tidak berpusat di Jakarta. Terbit Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pada 7 Mei 1999 segera mengubah penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah, yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Pada masa itu, kepala daerah dipilih sepenuh oleh DPRD. Tidak ada lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan sistem sebelumnya, yaitu kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang diajukan atau diusulkan oleh DPRD.

Pada era ini, sempat dilakukan evaluasi yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD mengandung kelemahan. Karena dalam mekanisme rekrutmen calon ditemukan banyak praktik politik uang. Calon kepala dareah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan. Selain itu, mengumbar uang untuk membiayai kelompok-kelompok tertentu sebagai cara menciptakan opini publik.

Undang-Undang itu kemudian direvisi setelah banyak dikritik karena dianggap menyuburkan politik uang dan tak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Lalu, terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemilihan umum kepala daerah secara langsung.

Meski begitu, pemilukada langsung tak serta-merta diterapkan karena Undang-Undang itu terlebih dahulu diuji materi (judicial review), lalu diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun 2005, yang berimplikasi pada perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pedoman pelaksanaan pemilukada langsung menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005.

Setelah itu, pemilukada dilaksanakan secara langsung. Para calon adalah pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh dukungan minimal 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada Pemilu Legislatif.

Undang-Undang itu direvisi yang kemudian diganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan terhadap Undang-undang mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Ada perubahan mencolok dalam perubahan ini, yaitu diperbolehkan calon perseorangan, artinya tidak hanya calon yang diusung partai politik yang bisa menjadi calon kepala daerah dalam pemilukada secara langsung.

Pernah Akan Menjadi Pilkada Tak Langsung

Pada tahun 2014 sistem Pilkada sempat berubah kembali ke pilkada tidak langsung. Berdasarkan UU No 1 Tahun 2014, kepala daerah kembali dipilih DPRD. Kepala daerah dan wakil kepala daerah tak lagi ditentukan di tempat pemungutan suara oleh rakyat yang kadang digelar di tempat terbuka dengan risiko kehujanan atau kepanasan. Pemimpin daerah akan ditentukan di ruang-ruang rapat paripurna DPRD provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia. Sistem baru itu diklaim lebih efisien dibanding pemilukada langsung menguras anggaran hingga ratusan miliar rupiah.

Sistem pilkada tidak langsung tersebut tidak sempat diimplementasikan, karena terdapat penolakan dari masyarakat luas. UU No 1 Tahun 2014 belum pernah diimplementasikan dan diganti dengan Perppu, dan kemudian diundangkan melalui UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU.

UU tersebut kembali mengatur pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian Pilkada 2015 dilangsungkan kembali dengan coblosan oleh pemegang hak pilih untuk memilih bupati dan wakil bupati. Demikian pula dalam Pilkada tahun 2020 ini sistemnya tetap Pilkada secara langsung.

***

Ditulis ulang dari berbagai sumber.

 

Facebook Comments Box

Pos terkait