Mengalami PTSD Bukanlah Akhir Hidup

Tidak ada seorangpun yang steril dari masalah, begitupun tidak ada seorangpun yang benar benar bebas dari trauma. Namun bila trauma itu begitu dalam dan bermakna berisiko, artinya seseorang tersebut sedang dilanda PTSD.

Apa Itu PTSD?

Post traumatic stress disorder (PTSD) atau stres pasca trauma merupakan respon anxietas yang berlanjut dalam waktu cukup lama setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik. Gejala yang dialami mirip dengan stres akut namun paling tidak harus berlangsung satu bulan. Gejalanya bisa datang kapan saja paska kejadian traumatik. Bisa berbulan bulan atau bahkan bertahun tahun sesudahnya.

Munculnya gejala dipicu oleh situasi yang mengingatkannya akan peristiwa tersebut. Misal seseorang yang pernah mengalami bencana alam, pengalaman pahit dalam berumah tangga (KDRT, perpisahan dan masalah rumah tangga lainnya), pelecehan seksual, kecelakaan, penyakit, musibah kehilangan dan sebagainya. Gejalanya bisa muncul saat mengingat, berhadapan dengan situasi yang mirip atau diasosiasikan mirip, mendengar, membaca atau melihat. Bisa saja secara obyektif kejadian yang memicu ingatannya tidak berbahaya tetapi hal itu cukup menjadi trigger munculnya gejala stres akut.

Hal ini karena otak kita memiliki kapasitas menyimpan memori sebanyak 1 petabyte atau setara dengan 10 juta gigabyte. Jumlah itu diperkirakan setara dengan internet masa kini. Secara sederhana, memori terbentuk ketika protein merangsang sel-sel otak kita untuk bertumbuh dan berkoneksi satu sama lain membentuk membentuk sirkuit ingatan yang disebut longterm memory (memori jangka panjang).

Memori tersebut bisa dikunjungi bahkan dibangkitkan kapan saja dengan atau tanpa sengaja. Itulah sebabnya reaksi stres pasca trauma bisa juga muncul kapan saja saat mengingat atau mengalami kejadian serupa atau bahkan kejadian yang diasosiasikan serupa. Misal seseorang yang pernah mengalami trauma karena gempa bumi. Reaksi stres akut bisa muncul ketika naik bis dan melewati jalan bergelombang yang menyebabkan guncangan keras pada mobilnya. Hal ini bisa memicu timbulnya gejala. Padahal secara obyektif ia tahu situasi tersebut tidak berbahaya.

Gejala PSTD

Gejala PTSD terdiri atas: bayangan atau kilas balik peristiwa traumatik, menghindar dari hal hal yang mengingatkan akan peristiwa itu, amnesia terhadap sebagian aspek penting pada peristiwa itu, timbul anxietas dan kesiagaan berlebihan jika terpapar pada hal hal yang mengingatkan akan peritiwa itu. Mood depresi, irritable (sensitif dan mudah marah), menarik diri, sulit berkonsentrasi, mudah tertegun, mimpi buruk dan tidur terganggu.

Tiga Prinsip Pengelolaan PTSD

1. Informasi dan Edukasi

Seringkali penderita tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya. Seolah ada pertentangan antara logika dan perasaan. Secara logika ia tahu hal ini sudah berlalu dan tidak berbahaya bahkan mungkin sudah memaafkan tetapi secara persepsi dan perasaan ia merasakan ketakutan dan emosi negatif yang tidak bisa dikendalikan. Dengan memiliki pengetahuan tentang PTSD (seperti membaca artikel ini) setidaknya mereka lebih bisa mengerti dan menerima kondisinya. Penerimaan itu penting karena akan membuatnya lebih bisa mengendalikan diri.

2. Rasa Aman

Mereka yang mengalami PTSD dilanda kecemasan dan ketakutan yang tidak sepadan dengan pencetusnya saat ini bahkan tidak realistik. Ia membutuhkan perasaan aman. Hal sederhana untuk menolong diri sendiri saat serangan itu muncul mencoba bernapas relaks, pusatkan perhatian pada nafas, sugesti diri sendiri dengan mengatakan berulang ulang, “Semua baik baik saja dan akan berlalu”. Fokuskan pandangan pada obyek yang menenangkan atau pejamkan mata dan bayangkan obyek atau situasi yang menenangkan dan menyenangkan. Hubungi orang terdekat, sampaikan kondisimu.

3. Dukungan

Dukungan yang dimaksud disini adalah dukungan emosi, persahabatan, dukungan nyata dan dukungan akses. Penting orang dekat memahami situasi ini ia tidak menyalahkan bahkan meremehkan pikiran dan perasaan penderita dengan mengatakan misalnya, “Ah…nggak apa apa, gitu aja kok sensi, jangan lebay, kamu cuma mengada ada.” Apalagi membandingkan dengan mengatakan, “Orang lain saja tidak apa apa bahkan banyak yang masalahnya lebih berat dari kamu dan mereka baik baik saja.” Ini akan membuat penderita semakin tidak merasa dipahami. Mengakui bahwa yang dirasakan penderita itu nyata akan melegakan. Mengakui bukan berarti menyetujui atau menguatkan pikiran negatifnya.

Dukungan akses dapat dilakukan dengan menghubungkan kepada profesional (dokter, psikiater dan psikolog) untuk mendapatkan penanganan terpadu.

Apa yang Dilakukan Profesional?

Profesional akan melakukan pemeriksaan psikiatris dan psikologis untuk menggali latar belakangnya, penyebab dan dukungan sosial apa yang bisa dioptimalkan untuk membantu. Dokter atau psikiater akan memberikan medikasi bila diperlukan untuk mengelola kecemasannya apabila dirasa berisiko bagi dirinya dan orang lain serta mengganggu fungsi peran dan sosialnya. Selanjutnya bisa dilakukan psikoterapi yaitu suatu bentuk terapi dengan diskusi dan program terstruktur agar penderita PTSD memiliki mekanisme penyesuaian yang menguntungkan untuk dirinya, merubah cara pandangnya, bisa berdamai dengan masalahnya syukur syukur bisa memaafkan. Salah satunya dengan terapi cognitive behaviour therapy (CBT). CBT adalah terapi dengan untuk memperbaiki kognisi yang salah, sedangkan pendekatan perilaku bertujuan untuk mengurangi gejala melalui paparan pengingat peristiwa traumatis.

PTSD Bukan Harga Mati

“Ingatlah selalu, jika Anda pernah didiagnosis sebagai PTSD, bukanlah tanda kelemahan, tetapi adalah bukti kekuatanmu, karena kamu selamat! ” (Michel Templet).

***

Penulis Ida Rochmawati. Psikiater di RSUD Wonosari dan di RS PKU Muhammadiyah Wonosari, Gunungkidul Yogyakarta. Penggiat Suicide Prevention LSM Imaji di Gunungkidul Yogyakarta.

***

Loading

Facebook Comments Box
Spread the love