Ini cerita pengalaman sewaktu masa kecil hidup di desa. “Nggaplek” dan “nggapleki” itu cuman beda hurup “i”, tapi maknanya sungguh sangat berbeda.
“Nggapleki” berkonotasi negatif. Suatu gambaran perilaku yang negatif, menyebalkan, njelehi, membuat orang lain tidak nyaman meskipun si pelaku tetap merasa oke-oke saja. Wis, sebaiknya nggak usah “nggapleki” lah. Urip nambah sedulur lebih baik, daripada nggawe kisruh.
Berbeda dengan adanya imbuhan “i” tadi, kata “nggaplek” justru berkonotasi positif, produktif, lan migunani. “Nggaplek” dapat dimaknai sebagai usaha memanen singkong di ngalas (ladang), mengonceki (mengupas), menjemur, dan menyimpannya sebagai gaplek (singkong yang sudah dikupas dan dikeringkan).
Gaplek selanjutnya bisa diolah jadi sembarang kalir sesuai keinginan si pemilik. Gaplek “ditutu” (ditumbuk) dengan lesung-alu bisa menjadi tepung gaplek. Nama kerennya disebut tapioka, selanjutnya bisa dijadikan nasi tiwul, dan berbagai olahan panganan lainnya.
Ada petani yang menyimpan gaplek sengaja dibiarkan tidak ditumbuk. Dibiarkan begitu saja sebagai singkong kupasan kering. Cara menyimpan gaplek biasanya ditaruh dalam karung bagor atau goni. Hanya saja penyimpanan model kayak gini biasanya mengundang mungsuh, yaitu kutu yang kadang memakan gaplek sehingga tahu-tahu sudah menjadi bubuk atau sering disebut “bladhegan”.
Ada kalanya para petani menjual gaplek karena yang keterak aneka kebutuhan. Entah untuk beli beras, beli bumbon, mbayari SPP atau seragam anaknya yang sekolah, mbayar piknik sekolah, atau buat persediaan nengok orang sakit atau njagong ewuh tetangga/saudara.
Di Wonosari, sentra penjualan gaplek ada di Pasar Mbesole Baleharjo. Kios-kios di sebelah selatan Polres Gunungkidul itu merupakan pusat jujugan para pedagang atau tengkulak gaplek yang telah membeli dari rumah para petani di perdesaan atau dari pasar-pasar di perdesaan. Menurut informasi yang didapat, gaplek yang di-pool para juragan hasil bumi di sentra gudang gaplek Mbesole tersebut kebanyakan diekspor ke Cilacap. Membawanya dengan truk-truk besar yang kadang-kadang muatannya sampai munjung-munjung melebihi dimensi yang diijinkan. Dulu, tak jarang ada kejadian truk pengangkut gaplek yang nggoling di Irung Petruk atau di Bokong Semar karena kelebihan muatan.
Sekitar sepuluh tahun lalu, di Semanu pernah ada gudang gaplek atau tepung tapioka yang konon bekerjasama dengan pabrikan tepung Bogasari. Produk yang dihasilkan katanya berupa bahan thiwul instan. Tapi entah mengapa, gudang tersebut sekarang menjadi puing-puing bangunan yang tak terurus.
Kemudian sekitar 5 tahunan lalu, pemerintah setempat gencar membangun proyek sentra pengolahan gaplek menjadi tepung mocaf (modified casava) di beberapa kecamatan. Namun, bagaimana perkembangannya, saya kurang begitu terinformasi. Apakah kini bisa benar-benar menjadi sentra pengolahan gaplek yang mampu menaikkan perekonomian petani?
Media-media Gunungkidul kayaknya kurang minat mengeksplorasi perkembangan gaplek ini. Mungkin kalah seksi dengan berita hingar-bingar para tokoh yang mencalonkan diri menjadi bopati dan wakil bopati. Padahal, membicarakan gaplek senyatanya membicarakan nasib mayoritas para petani Gunungkidul.
Kembali ke soal “nggaplek”. Dulu sewaktu masih kecil, saya sering diajak bapak ibu dan simbah untuk memanen singkong baik di kebun maupun di ngalas yang jauh dari rumah. Panenan singkong biasanya di bulan Juli sampe Agustus, maju mundurnya bergantung pada kapan musim tandur dilakukan. Dulu, kegiatan memanen singkong dilakukan secara beramai-ramai. Berkelompok dan bergiliran dengan tetangga, sehingga pekerjaan berat berasa jadi ringan. Dulu masih jarang menggunakan sepeda motor, kol atau truk untuk mengangkut gaplek ke rumah. Mengangkutnya ya dengan dipikul memakai salang pikulan dan tomblok, atau paling pol diangkut dengan sepeda kayuh dengan memakai kronjot di boncengan.
Setelah selesai panenan, kemudian dilakukan pemilihan banggal (batang pohon) untuk dijadikan bibit tanaman singkong untuk musim tanam berikutnya. Pemilihan banggal yang baik akan menghasilkan panenan di periode berikutnya. Cara menyimpan banggal untuk bibit adalah dengan ditata sedemikian rupa di pinggir kebun dengan cara dibalik. Ujung batang bagian bawah ditaruh di atas. Setelah banggal ditata, kemudian larikan batang tersebut diikat.
Batang pohon yang tidak terpilih atau sortiran biasanya dibawa pulang untuk dikeringkan dan dijadikan kayu bakar. Oya, para petani orang tua dan simbah-simbah kita itu orang yang ubet, gemi nastiti istilahnya. Istilah jaman now barangkali hemat-efektif-efisen. Sebelum batang sortiran tadi dikeringkan dan dijadikan kayu bakar pasti “dikekreki” dulu. Kulitnya dikupas untuk dijadikan tambahan makanan ternak.
Kegiatan yang dilakukan setelah memanen singkong adalah melakukan “oncek tela”. Ini juga kegiatan yang biasanya rame-rame dilakukan di rumah sembari ngrungokke siaran radio. Lagi-lagi anak jaman sekarang mungkin sudah jarang ngonangi situasi oncek tela. Bekerja sembari ngrungokke siaran ketoprak atau wayang kulit dari radio. Sekarang adanya ya jelas uwak-uwik merhatiin gajet atau ketawa-ketawa sendiri nglihat yutub.
Oncek tela itu selain menghasilkan singkong yang dikupas dan siap dikeringkan juga menghasilkan limbah kulit singkong. Lagi-lagi para orang tua kita itu memang punya kelebihan perilaku gemi nastiti. Meskipun jadi limbah, kulit singkong yang disebut “jengki” itu dapat menjadi pakan ternak, baik sapi maupun kambing. Tapi ada syaratnya, kulit singkong tadi harus dikeringkan dulu. Apabila buru-buru diberikan kepada ternak terutama kambing sebelum benar-benar kering, maka bisa-bisa mengakibatkan ternak kambing mengalami kondisi “mendem jengki”. Si kambing menjadi sakit karena keracunan, lemas, perutnya kembung, bisa berakibat fatal kematian pada ternak.
Demikian sekelumit pengalaman tentang “nggaplek”. Apabila ada sedulur-sedulur ingin menambahkan kisah yang pernah dialami terkait dipersilakan. Yang ingin memberikan pandangan dan ulasan juga dipersilakan.
Terima kasih.