Ngluku dan Nggaru

Alat bajak modern dengan mesin penggerak. Foto: Riswanto.

Pada era modern saat ini mungkin peralatan seperti luku dan garu hampir-hampir tidak dikenal oleh kalangan anak muda milenial. Tanpa bermaksud untuk menyalahkan jaman dan kahanan, memang karena perkembangan jaman yang begitu hebat, dimana manusia dapat membuat peralatan pertanian yang modern dan mumpuni untuk digunakan di segala pekerjaan pengolahan tanah pertanian.

Untuk daerah tumpah darah aku, tempat aku dilahirkan ke dunia ini, mempunyai tanah yang kebanyakan bertipe tegalan yang jauh dari aliran sungai. Mangkane hampir-hampir jauh atau tidak pernah mendapatkan banjir kiriman atau banjir tahunan.

Bacaan Lainnya

Nah untuk tipe tanah seperti ini maka yang diperlukan adalah luku dan garu guna mengolah tanahnya. Untuk luku sendiri harus yang berjenis singkal, karena hal ini cocok dengan tempat atau daerah di mana daerah tersebut tidak mendapatkan banjir tahunan. Desain Luku singkal memungkinkan penetrasi yang lebih dalam sambil mengangkat tanah dari bagian dalam agar menuju ke permukaan dan tanah di bagian permukaan menjadi turun dengan cara membaliknya.

Hal ini semata-mata untuk mengembalikan kesuburan tanah, maka tanah harus dibalik secara berkala agar kesuburan dari tanah bagian dalam naik ke atas, sehingga bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan.

Jaman cilikkanku mbiyen, nak ana sambatan nggaru apa mluku senengnya tidak njamak. Bayangkan, seusia aku yang masih berusia sekitar 9 atau 10 tahun sudah bisa mbantu wong tuwa menuntunkan sapinya Mbah Kung untuk disambatke mluku atau nggaru di tegalan orang. Perasaan di dada membuncah penuh kebanggaan, apalagi suka denger ibu-ibu yang suka ngrasani tapi agak kecengan ngomongnya atau celatu, “Wih sregeb men Le, cilik-cilik wis dhamang nuntun sapi”. Duaarrr…. Minta ampun rasane jadi ngleleng wis kaya yak-iyak’a wae.

Mbah Kung punya sapi yang cukup besar dan sehat. Karena seperti orang daerahku pada umumnya mempunyai sapi itu seperti sebuah keharusan. Ketika itu Mbah Kung masih menjabat sebagai Dukuh, untuk jabatannya itu beliauh mendapatkan sebidang tanah garapan di daerah Sirapan, maka sapi yang dipelihara Mbah Kung amat sangat membantunya.

Pada suatu hari, sapi Mbah Kung disambat buat nggaru di tegalan Pak Warno tukang kembang. Seingat aku, pategalannya ada di daerah Tawarsari. Isuk-isuk umun-umun, aku sudah mempersiapkan sapi Mbah Kung. Seperti biasa aku kebagian untuk nuntun sampai lokasi pategalan Pak Warno. Semua berjalan lancar dan tibalah saat untuk nggaru atau meratakan tanah yang tempo hari wis diluku. Aku tidak langsung pulang, karena kiriman sarapan belum datang. Jadi disuruh nunggu sebentar.

Mengko sik baline ya Le, nunggu Mboklek-mu ngirim sarapan.”

Aku menuruti saja apa yang dibilang pak Warno. Sambil nunggu, aku minta naik garu yang sedang meratakan tanah. Eee.. kok ndilalah pak Warno tidak keberatan atas permintaanku. Sambil nunggu kiriman sarapan, aku naik garu ngiras pantes buat bot-bot biar hasil nggaru-nya bagus.

Putaran pertama kedua dan selanjutnya lancar jaya. Ndumadakkan garu oleng, dan hal itu menyebabkan aku njlungup dengan keras. Lebih apes lagi hampir-hampir my ndas ke-garu. Tentu saja akoh menangis meraung-raung dan membuat aku trauma. Jjiiiiaahhh… ngadel men.

Belumlah lama aku menangis meraung-raung, ndumadakkan dan sepertinya sudah di-jam-i saja, Mbok Lek Warno datang dengan tergopoh-gopoh. Tentu saja beliau sambil membawa kiriman sarapan. Setelah aku digendongnya dan dikasih sarapan ketan yang ada kacang tholo-nya, maka seketika diamlah aku. Ndak menangis maraung-raung lagih.

Untung’e, my ndas nggak jadi ke-garu. Kalau kejadian lah bakalan peang…..

Dah gitu aja.

Tertanda : Penggemar Tongseng Pasar Argosari.

***

Facebook Comments Box

Pos terkait