Ngundha Layangan

Anak-anak Saptosari bermain layang-layang. Swara/Wage.
Anak-anak Saptosari bermain layang-layang. Swara/Wage.

“Dhel-ndhedhel kae muluk, lah layangane warna-warna dhapukane! Dhel ndhedhel kae mumbul, lah layangane mancawarna pulasane! A…. tobat becike, lah aku gumun. Kaya: kupu lan satelit, sekuter motor lan kinjeng, kae montore mabur jejer jaran sembrani. Aja nyangkut, bareng wae! Dimen awet ora pedhot benange.” [Lelagon, Ki Nartosabdo]

Setelah muluk, kemudian beberapa saat mencapai kondisi anteng, layangan sengaja dipanjer, dinikmati uluk dan liuknya oleh para pengunduh/pengunda dari eyuban; tempat yang sejuk tak tersirami terik matahari langsung, di bawah pohon rindang di tepi lapangan. Muluknya Si Layangan adalah hasil jerih-payah (buah) yang dipetik para pengunduh layang-layang.

Bacaan Lainnya

Barangkali, hanya barangkali, ini mengapa mereka disebut para pengunduh. Kerja amukti (menikmati) pala (buah) kehidupan dilakukan setelah kerja-keras mengusahakan layangan muluk. Yang satu memegang layangan, yang satu menariknya. Membuatnya naik perlahan.

Barangkali, sekali lagi hanya barangkali, ini mengapa mereka disebut para pengundha. Layangan berhasil naik undak-undakan ke tawang. Terkadang usaha dilakukan sambil berlari. Kadang sembari matau silau menantang matari. Kadang kala sambil memanggil angin.

Jika angin tak kunjung muncul, layangan tak muluk. Angin lantas dipanggil. Angin dibangunkan. Angin dimantrani. Angin ‘diperintahkan’ untuk hadir agar layang-layang bisa muluk. Pramodernisme meyakini bahwa alam bisa diajak berdialog. Alam berbahasa verbal nonverbal. Alam dan manusia berkomunikasi, dengan bahasa-bahasa yang khas. Mungkin semacam ‘username’ dan ‘password’: siapa yang membangunkan (memerintah dengan identitas) dan apa mantranya (kata-kata rahasia agar perintah dilaksanakan), demi angin yang berkenan hadir.

Mantra pemanggil angin kemudian dirapalkan: “Cempe, cempe, undangna barat gedhe, tak opahi duduh tape! Yen kurang njupuka dhewe!” Jika belum muncul, teman yang satu ikut mengucapkan mantra. Jika belum lagi muncul, mantra ditambahi: “Truk, anginmu mati, Truk, anginmu mati!”.

Mungkin, hanya mungkin, cempe dianggap benda (hidup) yang mampu memanggilkan angin karena cempe (anak wedhus) dengan kemurniannya memiliki kedekatan kepada angin (seperti kedekatan anak-anak desa dengan alamnya, yang kini mulai terkikis karena makhluk yang disebut ‘sekolahan’); cempe dan wedhus dingon oleh bocah angon di tanah lapang berumput bersamaan dengan para pengunduh layangan.

Opahnya, gantinya, semacam komboran gaplek dan sebangsanya yang para wangsa wedhus dan anak-anak wedhus suka. Dan mungkin, hanya mungkin, Mbah Petruk disebut karena Mbah Petruk adalah penggiring angin, penguasa angin.

Mantra ini lahir di dalam kebudayaan subjek (manusia) yang masing-masing unsur alam diimani ada pengurusnya; penguasanya. Yang akhirnya, memunculkan subjektifitas para pengunduh layangan (yang tani, yang angon, yang pengarit) terhadap kebudayaannya sendiri berdasar cara pandang dunia dan pengalamannya sendiri.

Subjektifitas manusia terhadap lingkungan alamnya bisa melalui prosesi penafsiran terus-menerus (literasi) terhadap: 1) bagaimana unsur alam membawa-serta adat-kebiasaannya kala hadir, 2) bagaimana manusia berstrategi dengan ilmu dan modalitasnya masing-masing menghadapi ketakterdugaan alam.

Kategori yang pertama dilakukan dengan mengucap mantra ketika tak ada angin; hasil dari ‘riset ilmiah’ (research, panaliten/titen) berulangkali terhadap berbagai fenomena alam termasuk barat/angin. Kategori yang kedua dilaksanakan dengan ‘mengakali’ (menggunakan akal) terhadap ketakterdugaan alam seperti ketakhadiran angin: si pengunduh harus memiliki kecanggihan ngundhuh layangan, tak hanya menggantungkan diri pada angin yang besar.

Facebook Comments Box

Pos terkait