Air bersih sampai saat ini masih menjadi isu yang seksi di Gunungkidul. Bagaimana tidak? Sudah puluhan tahun stigma sebagai daerah “larang banyu” telah disematkan pada Gunungkidul.
Foto dan video para warga yang mengais-ngais sisa air di telaga yang hampir kering saat memasuki kemarau selalu menghiasi media mainstream nasional. Tak luput hilir-mudik truk tangki air entah itu sedang dropping bansos air atau penjual air ke desa-desa yang kekeringan juga menghias media.
Setiap perhelatan pilkada Gunungkidul, isu air bersih juga menjadi amunisi saling-serang di antara para kandidat calon bupati. Sayangnya idealisme dan semangat yang “muntup-muntup” untuk menanggulangi problema air di Gunungkidul ini kembali meredup setelahnya. Semua kembali ke kenyataan yang dihadapi, mengurai dan menyelesaikan problema air bersih di Gunungkidul bukan perkara semudah membalik telapak tangan.
Toto Sugiharta Direktur Utama PDAM Tirta Handayani berkesempatan ngobrol blak-blakan tentang problematika “air minum” (baca: air bersih) di wilayah Gunungkidul. Bagaimana kondisi supply-demand saat ini dan ke depan diceritakannya secara gamblang.
Ia berujar, Gunungkidul memiliki potensi air bersih yang melimpah. Kualitas air bersih yang bagus karena terfilter alamiah oleh tanah bebatuan kapur. Namun, tantangannya tak kalah pelik karena potensi besar air bersih ini berada di sungai bawah tanah. Artinya butuh energi yang besar untuk mengangkat dan mendistribusikannya.
PDAM Tirta Handayani pada saat ini menjadi pengelola puluhan sumber air bersih di wilayah Gunungkidul dan mendistribusikannya ke masyarakat pelanggan. Debit sumber air bawah tanah yang tersedia cukup melimpah, bahkan ada sungai bawah tanah berdebit 100 – 900 liter/detik. Namun sekali lagi, energi besar diperlukan untuk mengangkat air bawah tanah ini.
Toto menggambarkan energi besar tersebut, saat ini sekitar 47% anggaran tahunan PDAM Tirta Handayani habis buat membayar listrik buat mengangkat air bawah tanah. Karena itu, optimalisasi air bersih menjadi strategi yang dipilih dan dilakukan PDAM Tirta Handayani.
Toto menyebutkan, optimalisasi itu dilakukan antara lain dengan menambah kapasitas pompa untuk meningkatkan debit terangkat, menata ulang sistem perpompaan pada beberapa sumber air untuk mereduksi biaya pemompaan, pemanfaatkan sumber-sumber sumur pompa tinggalan PSAB (proyek sarana air bersih) di beberapa desa yang selama ini tak termanfaatkan.
Toto juga menyatakan, optimalisasi juga menyentuh kualitas layanan dan distribusi. PDAM terus berusaha mengatasi keluhan keruhnya air saat musim hujan dengan menambah kapasitas instalasi pengolahan air sebelum didistribusikan. Demikian pula, ia dan jajarannya terus berusaha memperbaiki aneka keluhan pelanggan.
Toto terus terang mengakui, bahwa masyarakat telah mengapresiasi capaian PDAM Gunungkidul sampai saat ini. Namun, ia menggambarkan tidak semua apresiasi itu berupa dua jempol. Ada satu jempol, bahkan ada dua jempol itu justru jempol yang masih terbalik.
Dirinya mengaku, tugasnya bersama seluruh jajaran PDAM Gunungkidul untuk terus bekerja dan mengusahakan dua jempol terbalik itu menjadi jempol apresiasi yang menggambarkan kepuasan masyarakat pelanggan.