Setelah mengalami gemblengan hebat di kawah candradimuka Kecamatan Panggang kurun waktu 1978 – 1981 dan dipandang cukup, Bupati Gunungkidul mempertimbangkan saya dipindahtugaskan menjadi PLP Kecamatan Ngawen terhitung mulai Juni 1981. Wilayah Kecamatan Ngawen kondisinya alam lingkungannya jauh berbeda dengan zona Pegunungan Sewu yang waktu itu masih sangat kritis.
Solum tanah di wilayah Kecamatan Ngawen masih relatif tebal untuk budidaya pertanian. Ketersediaan sumber air dari sungai atau sumur gali dan tingkat kekritisan pada lereng bukit tidak separah zona selatan Gunungkidul. Dengan demikian perasaan hati menjadi sangat girang, tentu sebaliknya jika PLP dari kecamatan zona utara dimutasi ke zona Pegunungan Sewu.
Kepala P3RPDAS DIY merupakan sosok pemimpin yang memperhatikan anak buah selaku petugas lapangan yang berhadapan langsung dengan para petani penghijauan. Beliau juga sangat concern terhadap kegiatan penghijauan, sehingga tidak segan-segan turun kelapangan dan bertemu dengan para petani secara langsung. Dengan demikian, nama Yudastowo Mangunsarkoro selaku Kepala P3RPDAS DIY sangat familiar bagi petani penghijauan di Gunungkidul.
Dalam suatu rapat dinas di Kantor P3RPDAS Jl Argolubang 19 Yogyakarta yang dihadiri semua PLP Daerah Istimewa Yogyakarta, beliau mengatakan, “Tugas Saudara-Saudara sebagai PLP memang tidak ringan, tetapi juga merupakan tugas penting dan mulia, karena membantu masyarakat miskin yang berada di hulu dan pelosok dengan Proyek Inpres Bantuan Penghijauan.”
Pak Yudastowo melanjutkan, “Oleh karena itu, saya ingin PLP menjadi petugas lapangan yang mumpuni dan tahu berbagai ilmu pertanian dalam arti luas sehingga tidak terpaku hanya tahu tentang penghijauan saja. PLP harus mengerti budidaya perikanan, budidaya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan dan lain sebagainya. Jangan sampai kalau ditanya petani di lapangan tentang permasalahan selain penghijauan lalu dijawab maaf pak saya Ini PLP tidak tahu, jadi ketemu saja dengan petugas yang berkompeten…”
Saya kagum dengan pemikiran beliau demi keberhasilan tugas PLP di lapangan untuk kegiatan penghijauan. Tidak ego sektoral, dan sangat peduli dengan petani miskin di perdesaan.
Dan untuk mewujudkan cita-cita itu, P3RPDAS DIY bekerjasama dengan Fakultas Psikologi UGM melakukan penilaian untuk mengetahui seberapa jauh IQ para PLP. Hasil tes psikologi ini dirahasiakan oleh P3RPDAS DIY. Bagi PLP yang memiliki kecerdasan tinggi dan di atas rerata akan menjadi prioritas utama diikutsertakan dalam berbagai macam diklat untuk membekali PLP menjadi Petugas Penyuluh “polyvalen” dan mumpuni.
Sementara saya di Kecamatan Ngawen memiliki wilayah kerja Desa Jurangjero dan Sambirejo dengan kegiatan pembuatan tanaman masing masing seluas 25 hektar. Atas dasar pengalaman di Kecamatan Panggang yang kondisinya lebih berat, maka pelaksanaan kegiatan di Ngawen nyaris tidak ada masalah, apalagi gagal proyek penghijauan saat dievaluasi.
Barangkali apa yang dikatakan Pak Yudastowo Mangunsarkoro betul-betul terjadi. Saya ditunjuk untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Di antaranya pelatihan Petugas Lapangan Percontohan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (UP UPSA) 1982, Dasar- dasar Penyuluhan 1983, Pembiakan Curinus Coeruleus M 1987. Meski mengikuti berbagai diklat tersebut tetap belum terjawab berapa angka IQ saya.
Sementara, kelembagaan di pusat mengalami perubahan, yakni dibentuknya Departemen Kehutanan (1986), artinya terpisah dengan Departemen Pertanian. Dengan demikian, P3RPDAS dihilangkan, dan untuk mengurusi penghijauan dibentuk Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (SBRLKT) Opak Progo, dengan wilayah kerja DIY ditambah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah.
Perubahan kelembagaan di pusat berdampak hingga di daerah. Mulai tahun 1990, PLP yang memenuhi persyaratan ditunjuk sebagai koordinator setingkat Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dengan sebutan Petugas Madya Penghijauan (PMP), dan tahun 1991 ada Koordinator PLP tingkat kabupaten Gunungkidul dengan sebutan Penyuluh Kehutanan Spesialis (PKS).
Tahun 1991, saya dialihtugaskan menjadi PMP di kecamatan Patuk, dan juga ditunjuk sebagai duta Provinsi DIY mengikuti peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke 11 di Kabupaten Karawang Jawa Barat, dan berpeluang ikut temu wicara dengan Presiden RI Soeharto waktu itu jika memenuhi persyaratan tertentu.
Karena tema HPS saat itu adalah Tree for Life, sehingga aparat kehutanan dan mitra kerjanya menjadi peserta utamanya. Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam (KPSA) Gunungkidul merupakan organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan hidup, sehingga menjadi mitra pemerintah dalam kegiatan RLKT. Seingat saya, ketuanya Pak Sukar dari Ponjong. Beliau juga ikut serta dalam acara tersebut.
Kepala Kanwil Departemen Kehutanan DIY waktu itu Pak Dradjad Soepomo berpesan, agar duta dari Jogjakarta membawa nama baik, dan diusahakan tampil terbaik dalam acara temu wicara dengan Presiden RI. Amanah yang berat sebenarnya untuk bersaing dari 150 peserta seluruh Indonesia, hanya dipilih 40 orang terbaik sehingga layak ikut temu wicara dengan orang nomor satu di republik ini. Alhamdulillah saya bisa lolos masuk 40 orang terbaik, sehingga berhak ikut temu wicara dengan Pak Harto.
Bangga dan senang rasanya karena menjadi duta DIY, seorang penyuluh kehutanan dari Kabupaten Gunungkidul mampu bersaing dan menunjukkan prestasinya. Ketika di depan audiens, saya memperkenalkan diri Penyuluh Kehutanan dari Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Waktu itu, audiens seperti terhipnotis, mereka serentak memandang cah Gunungkidul hingga selesai menyampaikan cerita tentang keberhasilan penghijauan lahan kritis di Gunungkidul. Mereka terkesima.
Tahun 1992, saya di percaya untuk menduduki kursi PKS Kabupaten Gunungkidul, dengan berkantor di Cabang SBRLKT Opak Progo di Wonosari, setelah sejenak merangkap jadi PMP di BPP Bandung Kecamatan Playen.
Akhir tahun yang sama, saya dipercaya menjadi duta Provinsi DIY untuk maju lomba penyuluh kehutanan tingkat nasional dan menjadi peserta temu nasional penyuluh kehutanan dalam rangka peringatan Pekan Penghijauan Nasional (PPN) ke-32 berkolaborasi dengan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) di Gorontalo Sulawesi Utara. Dalam lomba pidato penyuluh kehutanan tersebut, saya mengangkat tema Upaya Penyelamatan Hutan Tanah dan Air (PHTA) di Kabupaten Gunungkidul.
Naskah pidato wajib dibuat hanya dalam waktu singkat, dan saat itu komputer belum familiar, sehingga harus diketik manual. Insya Alloh pengalaman ini akan saya tulis tersendiri.
Pidato penyuluh kehutanan dengan tema Upaya PHTA di Gunungkidul. Lagi-lagi ternyata membuat kagum dan campur bertanya-tanya bagi para pemirsa di ruang sebuah Perguruan Tinggi di Gorontalo itu, karena popularitas wilayah Gunungkidul sebagai daerah kering, gersang, tandus dan kritis sangat kuat melekat di benak mereka.
Seolah tak percaya dengan apa yang saya sampaikan dengan jelas dan meyakinkan itu. Saya tantang mereka yang ingin membuktikan bahwa Gunungkidul saat itu telah jauh berbeda dengan tahun 1960-1970-an, silakan datang berkunjung ke Gunungkidul untuk melihat dan belajar bagaimana bisa menghijaukan lahan kritis dengan sukses. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyatakan siap studi banding tentang penghijauan lahan kritis di Gunungkidul dalam waktu dekat mengajak pejabat Bupati dan Walikota.
Alhamdulillah, juri lomba pidato memutuskan saya menjadi juara 1 tingkat nasional, sehingga berhak memperoleh thropy, piagam penghargaan, dan uang pembinaan. Dalam acara Temu Nasional Penyuluh Kehutanan (TNPK), panitia juga mendaulat saya sebagai ketua tim perumus, yang rumusan tersebut akan dijadikan bahan pertimbangan penyusunan kebijakan penyuluhan kehutanan secara nasional ke depan.
Kebanggaan tersendiri rasanya di saat resepsi dengan para pejabat pusat dan daerah secara nasional saya bisa membacakan rumusan TNPK dan menyerahkannya kepada Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap. Pada puncak acara PPN-HKSN ke-32, saya juga berkesempatan ikut temu wicara dengan Pak Harto lagi yang berlokasi di atas Danau Limboto Gorontalo, 24 Desember 1992. Semuanya ini berkat motivasi Pak Yudastowo Mangunsarkoro, Bupati Gunungkidul Pak Soebekti Soenarto, Ka Kanwil Departemen Kehutanan DIY Pak Dradjad Soepomo, Kepala Sub BRLKT Opak Progo Pak Eddy Rismono Jaffar, teman teman PLP, dan tentunya masyarakat Gunungkidul umumnya.
Tidak ada perjuangan yang sia-sia jika dilakukan secara tulus dan setiap keberhasilan merupakan proses panjang penuh dengan tantangan dan hambatan. Benar kata pepatah, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
Mau tahu dan ingin membaca naskah pidato yang mengantarkan menjadi juara 1 nasional dan mengangkat nama baik Gunungkidul secara nasional di bidang penyelamatan hutan tanah dan air?Tunggu tulisan berikutnya.
Bersambung ….. Artikel ini merupakan lanjutan dari Pengalaman Dipanggil Bupati Gegara Penghijauan Gagal.
****
Klaten, 15-10-2020