Tinggal di wilayah Gunungkidul sering dipahami pasti bebas dari risiko banjir. Alasannya klasik, sering terjadi percakapan, “Lha wong namanya saja Jogja Lantai 2, wilayahnya pegunungan, tidak seperti di daerah lembah seperti di Jogja, Bantul, Piyungan, Berbah, dan lainnya. Nggak mungkin bisa kebanjiran?”
Namun, fakta berbicara lain. Kejadian mencolok dua tahun terakhir sesungguhnya membuktikan “teori bebas banjir” di wilayah Gunungkidul itu tidak terbukti. Hujan lebat yang mengguyur wilayah Gunungkidul pada akhir 2017 lalu telah membuat beberapa wilayah terkepung genangan air. Mulai dari daerah sepanjang bantaran Sungai Oya, wilayah Gedangsari dengan anak-anak sungai Oya yang memang rentan risiko banjir dan tanah longsor, maupun permukiman lainnya di wilayah selatan yang tidak disangka-sangka justru terendam genangan air dalam beberapa hari.
Hujan deras pada awal Maret 2020 ini pun ternyata juga berdampak telah terjadinya genangan air yang cukup membuat kerepotan di beberapa wilayah di Gunungkidul. Juga dilaporkan ada beberapa permukiman yang tergenang air. Media lokal memberitakan genangan air memasuki rumah-rumah penduduk di Dusun Nglindur Kulon Desa Nglindur Rongkop dan di Dusun Sawah Desa Girisekar Panggang. Tim Tagana secara tangkas kemudian melakukan mitigasi dengan menyedot genangan air dari telaga Dusun Nglindur Kulon.
Salah satu media lokal menyuarakan pendapat pejabat berwenang dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul, bahwa kejadian genangan air yang terjadi di beberapa lokasi terjadi karena kerusakan lingkungan. Menurut analisisnya, salah satunya adalah kegiatan penambangan yang saat ini semakin banyak dan baru terasa dampaknya. Penambangannya di wilayah mana, lantas dampak kejadian genangan terjadi di mana tak dijelaskan secara gamblang.
Masih menurut pejabat tersebut, dengan adanya penambangan liar, juga berdampak pada berkurangnya jumlah pohon, sehingga ketika hujan deras, air banyak yang tidak terserap dan lantas mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Karena tidak banyak pohon, air tidak bisa tertahan, jadi longsor. Kemudian air tidak bisa diserap sehingga kemudian banjir atau menggenang.
Benarkah penambangan liar dan berkurangnya jumlah pohon menjadi faktor dominan terjadinya genangan pada beberapa permukiman di Gunungkidul? Tampaknya hal ini masih perlu kita cermati lebih mendalam untuk dijadikan “tersangka” penyebab kejadian.
Apabila kita mencermati beberapa titik wilayah yang tergenang, seperti di Dusun Nglindur Kulon dan Dusun Sawahan Girisekar, maka akan kita dapati kondisi topografi satuan permukiman yang justru bukan daerah dataran rendah. Bandingkan elevasi MDPL beberapa titik penting berikut: Wonosari 189 m, permukiman Nglindur Kulon 283 m, puncak bukit di tengah permukiman Nglindur Kulon 298 m, permukiman Nglindur Wetan 290 m.
Wilayah permukiman tersebut justru berkontur dominan berupa wilayah perbukitan, lebih khas lagi adalah perbukitan yang terdiri dari kerucut-kerucut bukit kapur. Sedulur-sedulur kawasan selatan sering menyebutnya perbukitan tersebut sebagai cempluk. Perbukitan pada umumnya telah dimanfaatkan sebagai ladang pertanian dengan dibuat sengkedan atau terasering, tersisa sedikit beberapa tanaman keras.
Di antara perbukitan tersebut terdapat hamparan dataran yang tidak begitu luas dan ceruk-ceruk dataran lebih rendah yang biasanya menjadi tampungan air hujan berupa telaga alami. Nah, permukiman masyarakat pada umumnya berada di hamparan dataran yang tidak begitu luas di antara perbukitan.
Jumlah rumah penduduk tentu saja makin bertambah, seiring sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Mendirikan bangunan baru untuk perumahan pada umumnya dilakukan dengan cara juga membangun rumah berdekatan dengan rumah yang telah ada di hamparan dataran yang tak begitu luas tersebut. Belum lagi kemudian berbagai tambahan fasilitas umum seperti balai desa/dusun, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Jelas kepadatan permukiman di dataran di antara perbukitan tersebut pasti bertambah.
Pengamatan visual dari peta citra satelit sangat terang benderang memperlihatkan, ciri desa atau dusun di wilayah karst Gunungkidul merupakan permukiman sporadis namun terlihat “padat” pada beberapa simpul dataran di antara perbukitan. Boleh dikatakan, permukiman dusun/desa di wilayah selatan justru lebih “padat” dibandingkan dengan permukiman di wilayah tengah dan utara.
Kepadatan permukiman yang semakin bertambah ditambah lagi peningkatan kegiatan masyarakat mau tidak mau menuntut adanya perubahan tata guna lahan. Pekarangan rumah satu keluarga yang tadinya masih luas, di sekeliling rumah masih bisa untuk bercocok tanam atau beternak, sekarang semakin tergerus berkurang, karena dibagi untuk membuat rumah buat anak-anaknya.
Yang paling mencolok, ceruk terendah permukiman yang dahulunya menjadi tampungan air atau telaga tersebut sekarang sudah semakin dangkal. Telaga yang telah menjadi rata dengan permukiman sering kali beralih fungsi menjadi lahan pertanian, bahkan tak jarang menjadi fasilitas umum seperti: lapangan bola, balai dusun, sekolah, TK, dan sebagainya.
Kita masih ingat, pada hujan lebat 2 tahun lalu, sebuah SMK di wilayah Tanjungsari benar-benar terendam genangan air dengan ketinggian genangan air lebih dari 1 meter. Bahkan perahu karet sampai digunakan untuk mengevakuasi orang dan peralatan di sekolah tersebut.
Jika kita mau jujur mengevaluasi diri, genangan air atau banjir yang pernah menimpa itu bukan perkara yang datang secara tiba-tiba. Tetapi justru kitalah yang menciptakan itu terjadi. Mengapa? Karena kita lupa, kita justru membangun hunian dan bangunan di “tempat air” atau “jalan air” di antara perbukitan.
Boleh dikatakan Gunungkidul saat ini sesungguhnya telah lebih ijo royo-royo. Vegetasi tutupan lahan dan perbukitannya tidak lagi gersang dibandingkan kondisi kerusakan lahan kritis di era 1950/60/70-an silam. Namun, di saat kondisi sumber daya manusia semakin membaik semakin unggul, kita terkadang lupa tidak mencermati pentingnya tata guna lahan dalam beraktivitas dan membangun wilayah.
***