Siapa menanam bakal memetik itulah kata kata motivasi yang diajarkan para orang tua jaman dulu. Ya istilah itu sangat dekat dengan dunia pertanian. Lha.. ya wajar begitu, wong bangsa kita bangsa agraris kok.
Kabeh wong biyen iku padha olah tani. Lalu kita dikenalkan dengan budaya industri dan berdagang yang menurut saya sangat kapitalis, lalu kita dikenalkan dengan alat tukar bernama uang. Uang telah berubah, dari sekedar sarana alat tukar berganti menjadi sebuah barang yang punya nilai. Berubahlah orientasi orang tidak saja mencari sebanyak-banyaknya barang, tapi sebanyak mungkin mengumpulkan uang.
Tapi, petani tetaplah orang yg masih terus menerus berorientasi pada barang, yaitu hasil panen. Namun, yang biasa ditemui, petani tidak kuasa menentukan harga, pasarlah yang menentukan harga. Di sisi lain, keadaan inilah yang membuat para petani tegar, karena terbiasa ngrekasa.
Petani adalah penghasil makanan. Sistem peradaban yang katanya modern inilah yang justru telah menjerumuskan kaum tani pada strata sosial yang rendah dan rapuh tidak mandiri. … Semoga kalimat ini tidak masuk kategori KIRI.. Hehehe…
Pandemi corona membuka mata kita semua. Ternyata dunia yang kokoh dengan industri dan kapitalisme global tergopoh gopoh menghadapi wabah . Dampak pendemi memaksa sistem berjalan terseok-seok seakan mau berhenti.
Lalu orang memalingkan muka kepada pertanian yang tampak gagah menghadapi wabah. Petani tetaplah petani, dengan hasil panennya. Petani tidak galau, karena sawah dan kebonnya adalah mesin produksi yang selama ini mensuplai energi. Hidup bersahaja dengan gaya buluk penuh lumpur. Terbiasa dengan panas matahari, tapi justru dijadikan rekomendasi penanggulangan wabah.
Bertanilah agar ceria menghadapi wabah ini. Lihatlah linimasa medsos, para petani yang sungguh bahagia dengan posting hasil panennya.
Cukupkanlah keluh kesah tentang masa depan dan rejeki. Bukankah dulu sebelum jadi bakul, jadi manager, jadi pelaku wisata kebanyakan ya pada bertani?
Ingat nenek moyang kita tidak hanya pelaut, tetapi juga petani!
***