SEPUTARGK.ID – “Pak, kenapa makam di sini ukurannya sangat besar?” Sekilas saja kudengar pertanyaan ini dari Kidung dan tak kuhiraukan. Ya, gimana, selain karena suasana di makam masih berlangsung proses nguruk pasir ke liang lahat oleh mas-mas pekerja juga terasa badan ini sangat capek. Jadi ya ndak sempat mikir.
Kulirik kanan-kiri berderet makam-makam berukuran jumbo nan megah. Dilihat sekilas, ukurannya bisa lima kali lipat dari makam biasa. Lalu spontan saja kujawab pertanyaannya, “Bapak juga belum tahu mbak… nanti kita sama-sama cari jawabannya ya?”
Kemarin kami mengiring sekaligus melayani pemakaman seorang Tionghoa. Namanya Tio Pin Nio, sedangkan “nama Jawa-nya” Supiningsih. Nama almarhumah kukenal begitu. Dalam keseharian nenek 92 tahun ini biasa kupanggil Nyah Peni. Beliau ibu dari Nyah Tan “Si Burung Gagak”, seorang ibu yang sering mengirim makanan jawa pada kami, ada bothok manding, sayur lodeh, tempe mlanding, dan sejenisnya. Boleh dibilang kami cukup dekat dengan keluarga ini.
Nyah Peni sudah dua bulan berbaring di ranjang karena usia. Dua tahun sebelumnya nenek ini masih sangat semangat untuk bepergian, berjalan ke sana-sini bahkan naik bus sendirian ke rumah anak-cucunya di Sleman. Perempuan sepuh ini juga masih sangat ingat pada orang yang dikenalnya.
Beliau dipanggil Tuhan pada minggu pagi sekitar jam 07.00 WIB. Lalu atas kesepakatan anak-anaknya, pada siang jam 14.00 WIB dimakamkan di Bong Cino, Tawarsari, Negeri Kahyangan.
*
Pagi ini kami bangun kesiangan. Jam 07.30 baru memelekkan mata. Setelah ngopi tetiba kuingat lagi pertanyaan anakku kemarin. Rasanya agak menyesal karena nyuekin pertanyaannya. Lalu diam-diam ku-Googling “Mengapa makam Tionghoa berukuran besar?”
Kutemukan laman yang singkat menggambarkan bahwa makam besar Tionghoa terkait dengan konsepsi orang meninggal berpindah ke dunia lain yang mirip dengan dunia ketika masih hidup. “Jiwanya membutuhkan apa-apa seperti di dunia fana.”
“Mbak, ini baca ya?” Kusodorkan hape-ku.
Bocah itu meraihnya lalu memelototi foto dan barisan kata-kata di laman itu.
“Pertanyaanmu membuat penasaran bapak juga lho mbak, bertanya itu memintarkan diri dan orang lain!” sergahku. Kucoba mengapresiasi kembali pertanyaan yang kemarin diajukan. Lalu kusampaikan kita perlu mencari rujukan lain juga.
*
Bertanya seringkali dimaknai negatif. Apalagi kebanyakan nanya, ah, nyebelin!
Pagi ini kuendapkan kelakuan bocah kesayanganku. Kemarin, ia tengah melihat bangunan fisik yang menyolok mata. Ku petakan pertanyaannya kira-kira ia sedang bertanya apa terkait informatif, interpretif, atau kreatif.
Kini, bagiku pertanyaannya mengandung penasaran yang besar sekaligus bermakna besar. Ia sedang mencaritahu arti bangunan fisik… dan mungkin saja pertanyaannya menjadi penanda rasa terbuka mencari makna yang melampaui yang terlihat mata.
Sugeng tindak Nyah Peni…
**