Tong Stand

Ternyata namanya TONG STAND. Bukan TONG SETAN sebagaimana yang saya dengar sewaktu pertama kali nonton Pasar Malam Perayaan Sekaten di Alun-Alun Utara Yogya waktu masih SMP tahun 1985 dulu. Tong Stand adalah pertunjukan uji ketrampilan, uji nyali, juga uji kecerdasan berupa atraksi keahlian dan kelincahan mengendarai motor di bidang lingkaran miring hampir tegak 90 derajat.

“Ngueng-ngueng-nguenggggg…..” begitulah suara sepeda motor (sepertinya RX King) meraung-raung. Sang pengendara memulai aksinya menyusuri sirkuit balap berupa lingkaran bidang miring menyerupai “tong” itu.

Begitu menuruni anak tangga dari tribun penonton, anak saya berucap, “Bagus Pak. Hebat banget pembalapnya. Di akhir lep ia sempat los stang segala, dan mengajak penonton bertepuk tangan.”

Sembari menunjukkan foto jepretannya untuk tugas ekskul fotografi saat SMA, anak saya memperlihatkan foto kelihaian dan kenekatan sang pembalap di arena “tong stand” tersebut.

Dalam hati saya berguman. Mungkin ada benarnya nama pertunjukan itu dahulu “TONG SETAN”. Setan di sini tidak “baen-baen”. Setan yang disematkan pada sebuah pertunjukkan yang bagus di mata pemain dan penonton. Setidaknya di arena tersebut, setan diasosiasikan dengan sebuah keberanian, kenekatan, kelihaian, dan juga kecerdasan pembalap motor yang menghibur puas para penonton.

Ini jelas berbeda dengan paradigma umum. Karena setan biasanya disematkan pada sebuah tindakan kejahatan, niat jahat, bisa pula permufakatan jahat. Setan terkadang juga diasosiasikan dengan kuasa makhluk astral nan jahat yang menyebabkan orang mengalami sakit penyakit baik fisik maupun mental.

Wis gak usah cerita tentang setan. Wong saya ya bukan ahli tentang setan. Nanti malah dikira penistaan ajaran agama atau ujaran kesukaan atau kebencian sama si setan. Yang jelas, pertunjukan di arena pasar rakyat ini namanya bukan TONG SETAN tetapi TONG STAND.

Ngomong-ngomong tentang Pasar Malam Sekaten Yogyakarta, sebenarnya ada banyak hal yang membawa kenangan manis pada masa lalu, seperti: wahana Ombak Banyu, Wedang Ronde, simbah-simbah sepuh yang setia dodolan cethen, kapal othok-othok, wayang kardus, mainan anak, ataupun aneka stand pakaian serta barang kebutuhan rumah tangga.

Dulu, pertama kali saya nonton Sekaten itu tahun 1985. Waktu itu saya diajak kawan sekolah, namanya Mas Suparyanto. Itu juga pengalaman saya pertama pergi ke “negara” secara sendirian, tidak bareng orang tua. Oya, “negara” itu cara khas kami wong nggunung (orang dari Gunungkidul) untuk menunjuk Kota Yogyakarta. Ya, Kota Yogya memang pusat kerajaan dan juga pusat pemerintahan propinsi.

Saya masih ingat, dulu dari Wonosari naik angkutan kol diesel ke Jogja itu turun di Terminal Shopping Center sebelah selatan Pasar Beringharjo. Jalurnya dari jalan raya Wonosari -Jogja, sesampai di prapatan Jowinangun terus belok ke utara, sampai di prapatan Gedong Kuning terus lurus ke arah barat, melewati Mbiroloka, prapatan Saridele, TMP Kusumanegara, Pura Pakualaman, lanjut ke barat sampai di Shopping Center. Dari situ langsung lanjut jalan kaki ke Tukangan.

Teman saya Suparyanto sejak kecil memang sudah terbiasa wira-wiri pergi ke Jogja. Itu karena ia tinggal bersama kakek-neneknya di kampung, sementara orang tuanya buka wirausaha bakso di daerah Tukangan. Begitu ia mengajak nonton Sekaten saat liburan, saya langsung mengiyakan. Siap jalan.

Kembali saat nonton Sekaten 2016 lalu, saya bersama anak dan istri berusaha mengitari semua stand yang ada. Namun, yang sekarang sudah tidak ada adalah pertunjukan doger atau barongan. Istri saya punya pengalaman masa kecil, pertunjukan doger atau barongan menurutnya terasa sangat menakutkan. Ia mengaku, rasa menakutkan melihat barongan itulah impresi yang ia dapatkan dari pertama nonton Pasar Malam Sekaten bersama rombongan satu desa tempat keluarganya tinggal di Ngalang Gedangsari jaman dulu.

Satu lagi, yang juga saya cari adalah arena pertunjukan Ndangdut Sekaten yang ternyata sudah tidak ada. Dulu waktu masih kuliah, dengan cara umpet-umpetan kakak ipar swargi (menantunya Mbokdhe) pernah mengajak nonton pertujukan ndangdut Sekaten. Pulangnya beli roti Bolang-Baling alias roti Galundeng pabrikan Populair sebagai oleh-oleh (tepatnya sogokan) agar tidak dimarahi mbakyu.

Senyatanya, sesampai di rumah, mbakyu tetap menginterogasi setengah marah, “Iki mau kok suwi timen nonton Sekaten, mesti nonton ndhangdhut ya!”.

***

Loading

Facebook Comments Box
Spread the love