Ditodong Bu Dukuh Ikut Lomba Sesorah

Mendapatkan mandat untuk ikut lomba sesorah. Foto: Ninik.

“Kula nuwun.” Terdengar suara ketukan di pintu rumahku. Sambil menjawab salam, suamiku bergegas membukakan pintu dan mempersilahkannya duduk. Setelah selesai dzikir petang, aku pun segera menemui 2 tamu tadi yang ternyata Ibu Kadus bersama seorang kader PKK.

Njanur gunung, ada kepentingan apa, Bu?” Sambutku sambil berjabat tangan.

Bacaan Lainnya

” Jenk , kami datang untuk nyuwun kawelasan“. Kata Bu Kadus sambil menyodorkan satu bendel kertas.

Mak dheg, hatiku sedikit bergetar. Tapi aku segera menepisnya dan bertanya, “Maksudnya apa Bu?”.

“Begini, jenk, aku mohon kesediaanmu untuk mengikuti lomba sesorah . Dalam rangka peringatan Hari Ibu, di Balai Desa Gading besok Minggu”, jelasnya.

“Tolonglah kami ya jenk. Karena menurut pengamatan kami, hanya Jenk Ninik dan Bu Sukini, yang layak untuk mewakili Dusun Gading 3 ini. Kami sudah sowan Bu Sukini, tetapi beliau tidak sanggup karena harus momong cucunya. Jadi panjenengan yang ketiban sampur“. Kata Bu Kader diplomatis.

“Masih ada waktu 3 hari untuk mempersiapkan diri”, kata Bu Kadus sambil menyodorkan juknis yang dipegangnya itu.

“Wah, berarti sudah tidak ada kesempatanku untuk mingkuh?”. Sambil tersenyum kuterima bendelan itu.

“Baik Bu, kuterima tugas ini. Aku tidak bisa berjanji untuk menang, namun aku akan berusaha menampilkan yang terbaik. Selama ini aku belum pernah ikut lomba sesorah“.

Setelah berpamitan, kuantar kedua tamuku sampai di depan teras. Saat mengenakan sandalnya, Bu Kadus bergumam, “Alhamdulillah, akhirnya dapat orang juga”.

Gumannya lega. Mendengar hal itu berdirilah bulu kudukku, membayangkan betapa beratnya tugas Bu Kadus dan Bu kader kali ini. Ia selalu terngiang-ngiang kata Bu Kades saat briefing kemarin. “Masak iya, mencari satu orang peserta saja tidak ada dalam satu dusun. Cobalah kenali dan gali potensi ibu-ibu PKK dusun masing-masing.”

Setelah mereka pulang, aku langsung berpikir keras dan mencoba menghubungi 3 temanku yang ahli di bidangnya. Kukirim pesan singkat yang isinya: Pak, tolong aku dibuatkan naskah untuk lomba sesorah, dengan tema “Sumbangsih para wanita ing pambangunan desa“.

Sambil menunggu jawaban, aku membuka google, youtube, dan mengumpulkan naskah sebanyak-banyaknya. Setelah kupilah dan kupelajari, aku mulai paham arah dan tujuannya.

Kling, HPku berdenting. “Maaf Bu, aku tidak bisa membuatkan sesorah, sekarang masih di perkuliahan”. Pesan singkat dari Pak Yunan, salah seorang penulis dan budayawan dari Gunungkidul.

Tak lama kemudian, kling, HPku berbunyi lagi, “Bund, aku sedang menunggui istriku di RS, maaf ya!”. SMS temanku yang lain, Pak Bambang namanya, seorang pemerhati kebudayaan di Yogyakarta.

“Ya, tidak apa-apa”, batinku. Mungkin saya harus membuatnya sendiri. Kulanjutkan membuat kerangka berpikir hingga kubawa dalam mimpi.

Alarmku berbunyi tepat jam 03.00. setelah berdoa, kubuka WA. “Jenk, tolong kirimkan emailmu, nanti aku kirim naskah sesorahnya setelah selesai acara siraman“. Pesan singkat dari Bapak Sarijo, temanku yang sekarang pindah tugas di Kulonprogo, dan menjadi seorang kepala sekolah serta nyambi menjadi dalang manten. Ia membalas WA-ku pukul 21.30.

“Alhamdulillah” tuturku. Pukul 06.00 dia menepati janjinya, seraya berpesan agar teksnya direvisi sesuai situasi dan kondisi desaku.

Setelah ku-print, segera kubawa dan kupelajari. Subhanallah, mataku terbelalak saat menatap kata demi katanya. Sungguh begitu indah dan santun bahasanya. Belum pernah aku berbicara dengan bahasa Jawa seindah ini. Mulutku berulang kali berdecak kagum.

Dewan pambiji ingkang satuhu pantes kinurmatan. Sagung para rawuh, kakung sumawana putri ingkang satuhu suka-basuki. Sumangga langkung rumiyin panjenengan sami, kula dherekaken ngaturaken puja puji syukur wonten ngarsaning Gusti Allah, Gusti ingkang Maha Wikan …… ”

Sungguh terasa nyaman dan damai hati ini saat aku membacanya. Setelah kurevisi, teks itu segera kuhapal.

Masya Allah, walaupun hanya satu setengah halaman ternyata untuk menghapalkannya tidak semudah ketika aku menghapalkan naskah cerita berbahasa Indonesia yang jumlahnya tiga halaman. Lidahku terasa kaku dan kelu. Betul betul belajar “nekuk ilat” kali ini.

Anehnya, meskipun sulit, aku tidak merasa bosan, tetapi malah semakin tertantang untuk menguasainya. Banyak kosakata baru yang harus aku pelajari. Aku tidak mau dikatakan “wong Jawa singĀ  kelangan Jawane“.

Artinya, sebagai orang Jawa, saya harus berusaha menguasai dan memaknai sesorah yang adi luhung ini. Baik wicara (cara bicara), wirama (ketepatan nada), maupun wiraga-nya (gesture).

Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari banyak ibu-ibu di Gunungkidul, terutama ibu muda saat ini lebih bangga jika anaknya bisa berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Alasannya bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan lebih mudah.

Menurutku, sebenarnya hal itu disebabkan karena mereka kurang menguasai bahasa daerahnya sendiri yaitu Bahasa Jawa, yang terdiri krama inggil, krama madya dan ngoko. Akibatnya menjadi kurang paham akan unggah-ungguh. Andaikata mereka mau belajar pasti bisa. Sayangnya pula, generasi sekarang lebih suka FB-an, WA-nan, dan internet-an.

Oleh karena itu, di era globalisasi ini mari kita tumbuh suburkan lagi penggunaan Bahasa Jawa sesuai kaidahnya agar tidak tergerus kemajuan jaman.

Hari itu, Minggu, 15 Desember 2019 saatnya untuk berlomba. Aku disambut Bu Kadus dan teman teman kader PKK yang sudah siap di tempat. Kemudian dipersilahkan untuk menempatkan diri. Setelah itu bersalaman dengan Ibu Kades, panitia dan para peserta yang telah datang terlebih dahulu, yaitu Bu Bekti guruku ketika SPG, Bu Subiartini sang dukun paes, ibu guru TK, dan ibu PKK lainnya.

Saat aku duduk, dadaku berdegup kencang. Aku demam panggung. Sungguh aku merasakan musuh terberatku bukan peserta lain, namun diriku sendiri. Ketika pengundian aku mendapat nomor 8 dari 10 peserta. Waktu menunggu giliran tampil, kugunakan untuk jalan-jalan dan relaksasi menghilangkan ketegangan.

Ketika nomor undianku disebut panitia, aku segera menuju panggung unjuk kebolehan. Pada bagian pembukaan sesorah berjalan lancar, sampai ditengah atau isi sebagaian teks aku lupa, sehingga aku melakukan improvisasi.

Sesorah pun kututup dengan pantun. “Jago kluruk neng ngisor sukun. Abang ireng buntute dawa. Ayo urip guyub rukun. Bareng-bareng Bagya Mulya“.

Tepuk tangan penonton menggema. Alhamdulillah, waktunya tepat 10 menit.

Bagiku, dalam perlombaan kalah dan menang adalah hal yang biasa. Yang terpenting ialah bagaimana usaha kita dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang telah dipercayakan pada kita untuk memantaskan diri menjadi juara.

Tepat pukul 13.00, pengumuman disampaikan oleh seorang juri dengan hasil: Juara 1 Ibu Bekti dari Gading 2. Juara 2 Ibu Ninik dari Gading 3. Juara 3 Ibu Subiartini dari Gading 4. Kami pun mendapatkan piala dan uang pembinaan. Meskipun tidak berhasil meraih juara 1, aku sudah cukup puas.

Dari lomba sesorah ini banyak sekali pelajaran yang aku peroleh, yaitu bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Allah pasti mengirimkan seseorang untuk membantu mengatasi masalah kita. Dengan mengatasi kesulitan, maka kita serasa naik kelas. Pada hakekatnya belajar itu seumur hidup. Dan yang terpenting adalah menambah teman dan persaudaraan.

Terimakasih kepada Pemerintah Desa Gading atas terselenggaranya acara ini. Semoga desa-desa lain di Gunungkidul yang tahun ini belum dapat menyelenggarakannya bisa mengadakan tahun depan.

Salam paseduluran….

Ninik Suparyani. Gading, 060220

Facebook Comments Box

Pos terkait