Wajah angkutan pelosok perdesaan Gunungkidul adalah wajah sejati kita. Para birokrat, aparat kepolisian, para ahli dan pengamat transportasi, dan mungkin juga masyarakat umum memandang, mengangkut orang dengan kendaraan truk itu jelas tindakan melanggar undang-undang yang berlaku.
Melanggar kaidah hukum positif, mengabaikan kaidah teknis, mengabaikan faktor keselamatan dan keamanan berlalu-lintas. Jika dibeber lebih lanjut, temuannya adalah melanggar dan melanggar ketentuan lainnya.
Tetapi, nalar masyarakat perdesaan dan kebutuhan riil mereka terkadang memang tidak selalu bisa sejalan dengan nalar para birokrat juga para legislator. Terkadang produk peraturan hukum yang dibuat tidak “mewadahi” kebutuhan, permasalahan, dan tantangan riil yang terjadi di tengah masyarakat.
Kegiatan mengangkut penumpang dengan kendaraan truk jelas menyalahi peraturan.Tetapi, bagaimana masyarakat hendak bepergian ketika di pelosok-pelosok perdesaan tidak tersedia angkutan penumpang. Bagaimana mereka mau pergi ke pasar, njagong, berobat ke puskesmas, melayat, tilik sedulur ke rumah sakit?
Ini masalah yang tentu lebih rumit untuk diurai dan dicarikan jalan penyelesaian. Tentu saja maslah ini sesungguhnya menjadi domain pemerintahan, karena konstitusi kita mengamanatkan, bahwa tujuan membentuk negara dan pemerintahannya adalah untuk hadir melindungi warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Apabila sampai saat ini masih ada banyak lalu-lalang kendaraan truk antar perdesaan yang mengangkut warga untuk aneka keperluan mereka, maka itu adalah solusi sementara ketika negara melalui pemerintahannya belum bisa hadir “melindungi” warganya. Penegakan hukum yang telah, sedang, dan akan selalu dilakukan boleh jadi tidak akan pernah membuat kapok warga perdesaan menumpang truk atau mobil bak terbuka.
Nalarnya sederhana saja. Warga perdesaan yang bepergian menumpang truk adalah bagian dari keberlangsungan hidupnya. Tanggung jawab negara yang sebenarnya adalah justru menyediakan angkutan perdesaan atau menginisiani kebijakan agar terselenggara angkutan perdesaan, entah itu dikerjakan oleh badan usaha negara, swasta, atau masyarakat itu sendiri.
Sekali lagi, wajah angkutan pelosok perdesaan Gunungkidul adalah wajah sejati kita. Wajah kita yang ambigu. Di satu sisi kita ingin memenuhi dan menegakkan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain kita belum bisa memenuhi kebutuhan dasar agar masyarakat bisa bertahan hidup sesuai ketentuan peraturan perundangan.
Saat ini, yang pasti bisa kita lakukan adalah pengharapan: “Tansah rahayu pamujine, sing numpak lan sing ditumpaki.”
***