Warimin Menjahit Kehidupan di Pasar Bedoyo

Warimin dan Warsi istrinya sedang mengerjakan jahitan pelanggan di Pasar Bedoyo Ponjong. | Kandar.
Warimin dan Warsi istrinya sedang mengerjakan jahitan pelanggan di Pasar Bedoyo Ponjong. | Kandar.

Dimensi kehidupan masyarakat perdesaan yang berbatasan langsung dengan wilayah lain, seperti di daerah Bedhoyo Ponjong seringkali mengalami persinggungan dengan masyarakat luar desa dan luar kecamatan, terlebih dengan luar kabupaten.

Wilayah administratif Bedhoyo Ponjong berbatasan wilayah Pracimantoro Kabupaten Wonogiri di sisi timur. Persinggungan atau kontak masyarakat terjadi dalam suatu ruang bersama, atau ruang kerja bersama, ruang itu ada sesuatu yang mengikat satu sama lain. Tempat kebutuhan memenuhi hidup, salah satunya adalah pasar. Pasar adalah titik pertemuan antara penjual barang dan jasa dengan pembeli.

Bacaan Lainnya

Tak bisa dipungkiri bahwa kehidupan masyarakat pedesaan banyak yang bergantung kepada keberadaan pasar tradisional. Pasar tradisionsl adalah roh kehidupan masyarakat pedesaan. Termasuk Pasar Bedhoyo. Pasar Bedhoyo terletak di Padukuhan Bedhoyo Kidul, Desa Bedhoyo, Kecamatan Ponjong.

Pasar Bedhoyo memiliki hari pasaran pahing. Biasanya aktifitas di Pasar Bedhoyo dimulai pukul 03.00 WIB dini hari hingga kurang lebih pukul 09.00 WIB pagi. Pasar Bedhoyo adalah pasar tempat persinggungan orang Bedhoyo (Rongkop), Ponjong, dan Pracimantoro, Baik pembeli maupun pedagang. Kebanyakan pedagangnya datang dari Praci, Ponjong, dan Bedhoyo (Rongkop) sendiri.

Para pedagang dan pembeli di Pasar Bedhoyo kebanyakan berjual beli palawija, makanan ringan, dan sayuran. Tersebut beberapa pedagang palawija di pasar ini misalnya Ibu Narsini dan Ibu Wasipu. Seperti halnya di pasar-pasar tradisional lain di Gunungkidul, palawija memang menjadi barang jual-beli utama. Apalagi kalau musim panen. Para pedagang menempati los dan kios pasar yang disediakan. Luas pasar yang tersedia bisa dikatakan hanya berukuran kecil.

Ada seorang penjual jasa di sebuah kios di Pasar Bedhoyo, menempati kios di ujung utara-barat, bernama Warimin (54). Ia beserta istrinya, Marsi, (47), menjual jasa menjahit pakaian. Marsi memiliki keahlian menjahit belajar dari suaminya. Jenis jahitan yang dilayani meliputi pakaian pria yang biasanya dikerjakan oleh Warimin sedangkan pakaian wanita biasanya dikerjakan oleh Marsi dengan segala mode yang diinginkan pelanggan. Selain itu Warimin juga menerima order permak jeans, serta membuat jas dan tas.

Karena usaha menjahitnya menempati kios pasar, maka banyak pelanggannya merupakan orang-orang yang beraktifitas di Pasar Bedhoyo. Selain itu para pelanggan di kios jahitnya meliputi pegawai, pelajar, among tani, pedagang, dan masyarakat umum.

Ia membuka usaha kios jahitnya tak hanya di hari pasaran saja bahkan dapat dikatakan setiap hari. Meskipun pelanggan yang datang cenderung lebih banyak saat hari pasaran saja. Ia sebenarnya bukan asli orang Bedhoyo. Warimin merupakan pendatang dari Karangwuni, Rongkop. Profesi menjahit pakaian ia lakukan demi menghidupi keluarga. Dirinya mengisahkan, dulu ketika ia masih muda memutuskan keluar dari desanya, meninggalkan orang tuanya yang berprofesi sebagai petani. “Saya ingin mengadu nasib”, ucapnya menegaskan tekadnya yang kuat.

Kira-kira tahun 1982 Warimin mengikuti kursus menjahit yang diselenggarakan oleh Kementrian Sosial. Kursus berlangsung selama tiga bulan di Solo, Jawa Tengah. Pada waktu mengikuti kursus itu Warimin satu-satunya peserta dari Gunungkidul. Ia tergolong cakap di tempat kursus. Ia memperoleh informasi, peserta kursus yang berprestasi akan mendapatkan hadiah mesin jahit. Karena Warimin termasuk peserta kursus berprestasi, akhirnya ia mendapatkan hadiah mesin jahit. Mesin jahitnya kala itu bermerk “buterfly”, jenisnya “alam-raya”, meskipun jenis ini bukan yang kualitas bagus.

Purna mengikuti kursus dan berbekal keahlian menjahit ia ‘ngenger’ (magang) di tempat seorang penjahit di Sragen. Yang ia lakukan di Sragen untuk mendapatkan pengalaman langsung sebagai penjahit. Kurang lebih setahun ia menjalani ‘ngenger’ menjahit ini. Tahun 1983 ia pindah ‘ngenger’ menjahit di Wonogiri. Meskipun tak begitu lama, hanya sekitar 6 bulan.

Merasa telah memiliki kemampuan yang cukup di bidang menjahit pakaian, ia berkeyakinan mampu menjadi seorang penjahit, mendirikan usaha secara mandiri, maka pulang lah ia ke Karangwuni. Ia kembali ke orang tuanya setelah beberapa waktu meninggalkan desa mencari ilmu. Ia nyatakan msksudnya kepada orang tua untuk membuka jasa penjahit pakaian. Tak selang beberapa lama usaha sebagai penjahit ia lakoni di desa. Tepatnya bertempat di Pampang, Karangwuni.

Suatu saat di tahun 1984 Warimin memiliki kesempatan menggunakan salah satu kios di Pasar Bedhoyo untuk membuka jasa menjahit pakaian. Ia berkesempatan menjadi penjahit di tempat yang lebih ramai dikunjungi oleh orang-orang dibanding di Pampang, yaitu pasar. Kios yang ia gunakan di Pasar Bedhoyo yang pernah direhab tahun 1970 ini pada waktu itu belum bersertifikat. Toh ia memiliki hak memakai kios. Mesin jahit merk “butterfly alam raya” hadiah kala ia berprestasi di tempat kursus menjahit ia ganti dengan jenis “RRT” yang konon lebih tangguh dan tak cepat rusak.

Kios jahitnya semakin ramai. Kurun waktu antara tahun 1984 hingga 2000 bisa ia katakan sebagai masa “jaya”nya. Seingatnya di Bedhoyo baru ada 3 penjahit waktu itu. Kios jahit Warimin di Pasar Bedhoyo akhirnya mendapat sertifikat hak pakai dari Kantor Pengelolaan Pasar Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2008. Saking ramainya pelanggan Warimin sampai memiliki “rewang” (rekanan) hingga 12 penjahit. Teknisnya, pesanan jahitan setelah diterima Warimin dilemparkan ke teman penjahit untuk digarap. Tahun 2011 mesin jahit “butterfly” ia ganti “Juki”. Harapannya agar mempercepat pengerjaan pesanan.

Seiring berjalannya waktu dan perubahan jaman, ditambah adanya jumlah penjahit pakaian yang semakin menjamur, kios menjahitnya di Pasar Bedoyo menyepi. Warimin mengatakan bahwa kini rerata pendapatan kotor dari pekerjaannya sebagai penjahit memperoleh 10 juta pertahun. Jika dikurangi untuk pembelian bahan pendapatannya hanya kecil. Untuk modal pengerjaan pesanan pelanggan sering kesusahan. Terlebih jika mendapatkan pesanan borongan yang banyak, dari sebuah sekolahan misalnya. Karena operasional masih dikurangi lagi untuk ongkos transportasi mencari bahan jahitan ke kota, yang biasa ia dan istri lakukan ke Toko Niagara di Wonosari atau bahkan lebih jauh ke Pasar Bringharjo di Kota Yogyakarta.

Meskipun di Pasar Bedhoyo juga ada pedagang bahan pakaian (kain) yang berasal dari Pracimantoro, namun kainnya jenis kodian yang kualitasnya dipertimbangkan kurang bagus. Ia berusaha menjaga kualitas. Pendapatannya dari menjahit pakaian dirasa tak cukup untuk ‘menjahit’ kebutuhan hidup keluarganya.

Maka dari itu pekerjaan sebagai penjahit sering ia lakukan di rumahnya, di Karangwuni. Pagi hari Warimin dan istri di kios, sore pulang. “Jika pesanan pelanggan masih banyak, kami selesaikan di rumah,” ungkapnya.

Jika pekerjaan menjahit agak longgar, ia lakukan pekerjaan serabutan apa saja untuk menambal kekurangan kebutuhan keluarga. Ia juga bercocok tanam: padi, jagung, kacang, dan lainnya. Dengan keuletannya, ia telah mengentaskan satu putrinya lulus dari SMK dan sekarang telah berumah-tangga di Bandung Jabar. Sementara itu anaknya yang kedua baru kelas 3 SMP. Kadang kala mereka berdua menginap di kios untuk menyelesaikan pesanan pelanggan.

Ditemani Resan Bulu yang rindang, di sebelah utara kios pasarnya, yaitu di sisi utara Pasar Bedhoyo, yang oleh para sesepuh Bedhoyo resan ini dikabarkan dijaga oleh Nyai Gadhung Mlathi, Warimin beserta istrinya tak lelah menjahit harapannya: berharap kios jahitnya benar-benar menjelma menjadi “benang mas”.

Kehidupannya sekeluarga akan memperoleh terang dan kilau seperti emas. Tentu dengan semangat ketekunan, kemudian nrima rejeki dari Tuhan atas kerja kerasnya menjahitkan pakaian para konsumen dengan benang. Ia menggantungkan kehidupan keluarganya pada sebuah kios sederhana di Pasar Bedhoyo, juga pada benang.

Lha niki kios napa, Mas?”

Benang, Mas!”, jawabnya.

Kata “mas” menerangkan bahwa ia mampu membelikan “mas-masan” (perhiasan) untuk sang istri itu berkat peran “benang”. Benang lah yang menjadikannya berhasil menjahit pakaian, menjahit kehidupan. Begitu Warimin menceritakan asal-usul nama kiosnya.

Facebook Comments Box

Pos terkait