Aja Padha Nelangsa

Mengenalkan tembang lawas pada anak milenial. Foto: Iwan.

“Ja padha nelangsa jamane jaman rekasa… Urip pancen angel kudune ‘ra usah ngomel…”

Petikan lirik lagu berbahasa Jawa ini berasal dari Koes Plus. Grup band-nya Tony Koeswaya bersaudara plus Murry merupakan grup pop legenda di Indonesia dengan paket komplit.

Bacaan Lainnya

Grup tua ini tidak hanya menelorkan album berbahasa Indonesia taste nusantara. Mereka juga punya beberapa lagu andalan berbahasa Inggris, “Why do you love me?” misalnya, bahkan lagu berlirik Jawa.

Nah, “‘Ja padha nelangsa” adalah salah satunya. Petikan lirik itu kurang lebih berarti: “Janganlah merasa nelangsa bin prihatin di jaman krisis ini. Hidup memang tak gampang alias sukar, namun jalani dengan riang plus tak usah bersungut-sungut.”

Pesannya sungguh tak hanya memacu kadar kegigihan dalam menjalani hidup. Namun juga menjadi semacam obat oles yang meredakan rasa linu paska berjalan di tanjakan.

Tentu saja ini dihayati bagi para penggemar di jamannya. Lha wong kalau seleranya lagu-lagu Koes Plus ini, orang itu akan tampak jelas kok usianya. Haaaa……

Eits, sik sik… Yang mendadak menggetarkan hati itu, sebenarnya bagaimana respon anak jaman milenial mendengar lagu Jawa yang lawas macam “Ja padha nelangsa ini”?

Nah, beberapa hari ini, kunyanyikan lagu jaman baheula itu dengan iringan Ukulele. Biasanya, meskipun saling dekat duduk di kursi, anakku Kidung ogah-ogahan dan tak memerhatikanku saat menyanyi. Ia asyik mantengin Youtube-nya.

Kemarin malam, kucoba meminta anak jaman “Kisah Kasih di Sekolah” ini merekam audio dan video-nya. Ia mengangguk pelan. Lalu kunyanyikanlah lagu itu diiringi petikan kentrung yang kumainkan. Tangannya memegang hape sambil berjalan pelan, maju mendekat, kadang mengambil video dari samping.

Tak sampai lima menit, kami sudah bisa memelototi hasilnya. Kami duduk bersebelahan.

Ajaib, malam itu, begitu melihat campuran video-audio, kulihat mukanya merona dan matanya webinar eh, berbinar.

Ia melebarkan mulut tertawa. Kuduga ia suka campur geli. Maklum alat musik ukulele bentuknya kecil dan suaranya pun tak tenar seperti alat musik yang lain. Begitu pula lirik berbahasa Jawa yang terasa lucu-lucu bagi anak se-usianya.

Mujizatpun kembali terjadi. Pagi begitu memelekkan mata, ia seperti lupa dengan gadget-nya. Mak jenggirat langsung mengambil ukulele dan memetik dengan jari-jari mungilnya.

“Pak, ajari main inii!”

Wah, tentu saja aku riang bukan kepalang. Kutulis lirik di papan, dan kugambar akord D, A, G di bawahnya. Kupegangi jarinya mengepaskan kunci-kunci yang tengah dicobanya. “Mbak, dikentrung sambil nyanyi ya!”

Ia senang. Berulang-ulang anak sembilan tahun itu menyesuaikan jari dan mulutnya, lirik dan akord persis tulisan di papan.

Pancen kabeh pada pengin urip mulya, wiwitan rekasa pancen nyata…

Ajaib kuadrat-nya. Sekitar 24 jam lirik dan kunci dengan nada dasar D sudah bisa dihafalkan. Hampir tak ada yang meleset.

***

Bapaknya senang. Ia merasa jadi pahlawan dan berguman, “Untuk mendampingi anak menjadi manusiawi, jangan pernah sepelekan lagu lawas, kerja keras, dan bapak yang cerdas.” Uhuui.***

Facebook Comments Box

Pos terkait