Api Empati dalam Tradisi Purak di Negeri Kahyangan

Ilustrasi pemotongan daging sapi. Dok: KH.
Ilustrasi pemotongan daging sapi. Dok: KH.

Tetiba saya ingin nulis tentang purak. Tradisi ini sedang dianggap menjadi biang kerok penyebab kasus kematian akibat penularan antraks ke tubuh manusia di Negeri Kahyangan.

Minggu lalu beritanya sempat viral, kebetulan lokasi kejadiannya sekitar lima kilomateran dari tempat tinggal saya alias di daerah satu kecamatan. Bahkan beritanya sangat heboh karena ditulis, “bangkai sapi yang telah dikubur digali lagi dan ‘dipurak’ lalu dimakan.” Wow, kok beritanya lebih ngeri dari mendengarkan sandiwara radio Gerandong bin Mak Lampir zaman dulu.

Bacaan Lainnya

Purak atau brandu adalah tradisi warga dusun menolong warga lain yg sedang mengalami musibah karena kematian mendadak hewan ternaknya akibat tersengat kalajengking, ular, atau sakit. Caranya kira-kira, menyembelih sapi atau kambing yang sekarat atau sudah mati lalu warga dusun membeli semampunya dengan harga seiklasnya lalu mereka membawa pulang bagiannya dengan daun jati. Hal ini dilakukan untuk sekadar menolong yang terkena musibah agar tidak ‘banget-banget rugine” supaya sedikit terhibur dan masih merasa ada sedulur yang peduli. Menurutku, ini semacam perasaan empati yang masih dihidupi.

Sekitar sepuluhan tahun yang lalu saya baru mendengar ini. Ketika itu, saya diceritani kalau ada seorang warga gereja mengalami musibah kematian sapi. Menurut saya, ini mekanisme pertolongan yang luar biasa meski agak asing bagi saya. Tentu saja hal ini hanya sangat dipahami oleh masyarakat agraris dan sulit dinalar bagi yang lain.

Bayangkan saja, sapi atau kambing adalah subjek yang sangat berharga bagi Lik Arjo, Kang Giman, dan para petani umumnya. Tak hanya dianggap tabungan bernilai puluhan juta saja, namun bisa jadi ia didudukkan bak separuh nyawanya. Ya, kalau orang kota atau yang bukan petani akan sulit memahami.

Wis, gini aja, ini adalah rasa duka mendalam ketika orang sedang kehilangan yang sangat berharga dalam hidupnya. Ia sedang ada di masa krisis luar biasa. Bisa jadi seperti seorang pedagang yang mengalami musibah warungnya hangus dilalap api. Bisa juga seperti olahragawan yang tiba-tiba cedera dan divonis tak bisa melanjutkan prestasinya. Atau barangkali seorang pegawai yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja dan tidak mendapat pesangon semestinya.

Siapa yang peduli? Apa wujud kepeduliannya?

Saya tidak sedang memandang dari sudut pandang kesehatan, teologis, atau ekonomis. Ini sekadar refleksi saja dan jauh dari analisis utuh. Pertanyaanya gini, bukankah seseorang tak luput dari masa krisis dalam perjalanan hidupnya dan ia sangat membutuhkan ‘malaikat-malaikat penolong’? Dan ‘malaikat-malaikat’ itu adalah orang-orang terdekat. Bayangkan saja, jika orang terdekat tidak mau peduli dan mewujudkan empati lalu siapa lagi? Bukankah kecenderungan melihat masa krisis seseorang seringkali tak menyulut api empati? Bukankah tak lebih dari berkirim WA “dherek bela raos” saja?

“Ya, sing bisa nulungi awakke dewe kie ya sedulure dewe!”

Spirit memberi perhatian yang ada dalam tradisi purak saya kira merupakan bentuk kepedulian yang ditunjukkan orang-orang terdekat dalam masyarakat agraris termasuk di Negeri Kahyangan. Bahkan tak terpikir resikonya adalah nyawanya harus melayang.

Facebook Comments Box

Pos terkait